Matahari hangat menyinari bumi, pertanda gelap sudah terbilas waktu dan berganti. Aku menatap Anjar yang masih tergeletak di atas tempat tidur. Ia terlihat begitu kelelahan dan lupa diri.
Sejak percintaan beruntun semalam hingga subuh, aku baru menyadari jika selama ini kerinduannya kepadaku bukanlah isapan jempol belaka.
'Hebat, bahkan ia bisa terus menjagaku tetap aman dan terhormat di matanya. Meskipun ia tahu bahwa aku tidak lagi suci.' Ucapku tanpa suara sambil tersenyum menatap Anjar yang tampak manis dan manja.
Jika suatu saat nanti aku mengatakan bahwa ada waktu yang lebih baik daripada waktu bersama Anjar, pasti aku sedang bohong.
Jika aku melihat ada cinta yang lebih indah daripada cinta ini, pasti aku tengah berpura-pura.
Jika aku mengatakan ada ketenangan lain, selain dari ketenangan ini, pasti aku sedang marah.
Cinta Anjar terasa sangat nyaman dan tentram. Aku harap hubungan ini tidak akan pernah berakhir, kecuali Tuhan yang memisahkan lewat maut yang sudah ditakdirkan.
"Sayang!" Anjar menyapa dalam posisi mata yang masih tertutup.
"Ya?"
"Hemh."
"Kenapa, Anjar?"
"Kapan kamu akan memanggilku dengan kata sayang?" keluh Anjar yang sejak dulu memang sangat ingin sekali dipanggil dengan sebutan itu.
"Iya, Sayang."
"Gitu dong." Anjar tersenyum sambil membuka matanya perlahan. "Malam yang hebat. Bagaimana menurutmu, Cantika?"
Aku hanya bisa tersenyum dan tertunduk malu karena apa yang dikatakan Anjar adalah benar dan aku sangat bahagia. "Kamu laki-laki yang luar biasa, Anjar."
"Itu pujian yang hebat. Mau lagi?"
"Sayang, kita baru menambahkan jumlahnya subuh tadi."
"Ha ha ha ha ha, tidak apa jika kamu ingin. Celengan rinduku masih banyak."
"Dasar, Anjar. Usil."
"Cantika."
"Ya."
"Cinta dan sayang aku ke kamu itu, seperti power rangers kalau lagi nggak ada monsternya, Sayang."
"Emh, maksudnya?"
"Nggak akan berubah."
"Anjar, ha ha ha ha ha. Ada-ada aja deh kamu. Gombalin aja aku terus ya! Kan sekarang sudah gratis."
"Ha ha ha ha ha, jangan bosan ya!"
"Tidak mungkin bosan, karena aku juga sangat menyukai kepiawaianmu itu, Anjar."
"Sarapan yuk! Atau kamu mau makan di kamar aja?"
"Eemh, terserah aja deh."
"Kok gitu?"
"Soalnya kalau sama kamu, mau makan dimana aja musti enak."
"Aaak, mati anak muda. Itu baru gombalan maut."
"Ha ha ha ha ha, siapa yang gombal? Aku serius tahu?"
"Benarkah?" tanya Anjar sambil menatap penuh hasrat.
"Anjar, iiih," kataku sambil mendorong wajah Anjar agar menjauhi diriku. "Kamu maunya makan di mana, Njar?"
"Kalau aku maunya di kamar aja. Jadi bisa sambil peluk, gigit, kecup dan ... ," ucap Anjar, tapi aku menghentikan ucapannya dengan jari tangan yang aku tempelkan di bibirnya. "Sayang, kenapa kok ditutup?"
"Kalau gitu kita makan di luar aja," jawabku sambil menatap mata Anjar yang penuh cinta dan kenakalan.
"Hemh, tadi nanya padahal."
"Soalnya nggak nyangka kalau jawabannya akan seperti itu. Sayang, aku nggak mau kamu kelelahan ya!"
"Siapa yang kelelahan? Lagian ini cuma maju mundur ditempat tidur aja kok. Biasanya lari-lari keliling lapangan besar, terus push up dan jalan jongkok ratusan kali, Cantika."
"Iya, benar. Tapi itu kan nggak ngeluarin protein kamu, Sayang. Kalau ini?"
"Seperti Ular Kobra tipe penyembur ya?"
"Sudah ah, ayo sarapan!"
"Ha ha ha ha ha, dia kabur."
"Siapa yang kabur? Aku ingin memesan sarapan."
"Lah, katanya mau makan di luar?"
"Iya, benar. Luarnya itu di sini, Anjar." Aku menunjuk ke arah balkon karena sejujurnya aku juga belum ingin keluar dari kamar yang terasa hangat ini. "Aku juga masih ingin sekali berduaan saja denganmu, Sayang. Jadi bagaimana, mau sarapan di sini?"
Anjar berdiri dan mendekatiku yang sudah berada di dekat telepon untuk memesan makanan. "Nanti saja memesan makanannya, Cantika!" perintah Anjar sambil menutup telepon yang baru saja aku angkat.
"Kenapa?"
"Aku mau kamu. Jadi, abaikan saja dulu sarapannya!"
"Sayang, kamu nggak ada lelahnya ya?"
"Lelah? Lihat ini!" ujar Anjar sambil menarik celana boxer yang ia kenakan. "Dia ingin kamu, Sayang. Jangan menolak!"
"Anjar."
Kecupan manis Anjar berikan berkali-kali sambil memberikan lumatan yang terasa lembut di bibirku. Napasnya terasa hangat bagaikan api unggun di malam dingin, ketika berdiri di atas gunung tertinggi.
Aku mulai menggelora dan semakin hanyut dalam alur permainan yang Anjar ciptakan. Dia adalah laki-laki yang biasa menyentuh dengan cinta, sulit didobrak dan digoda oleh perempuan lain. Lalu, bagaimana aku tidak merasa beruntung dan bahagia? Aku terus berkata sambil mengatur napas yang mulai terengah-engah.
"Anjar, baru dua jam yang lalu kamu memporak-porandakan tubuhku, 'kan? Dan malamnya, kamu berhasil membuat aku menggila serta kelelahan. Lalu bagaimana mungkin kamu melakukannya lagi?"
"Semua itu karena kamu adalah hidupku," ujar Anjar sambil meletakkan tanganku pada miliknya yang sudah membatu. "Dulu, aku pernah bilang kan? Kamu harus bersiap untuk percintaan dan anak yang banyak, Sayang."
"Anjaaar," ucap ku sambil merintih kecil, padahal ia belum menyentuh bagian sensitif milikku. "Jika kamu mau, aku akan mencoba untuk menenangkannya, Anjar."
"Bagaimana caranya?"
Aku menunduk dan mengelus milik Anjar dengan penuh perasaan. Kemudian aku mengatakan sesuatu yang membuat Anjar malah semakin meroket. "Sayang, jangan nakal ya dan tenanglah!"
"Cantika, dia malah semakin berontak kalau kamu sentuh gitu. Nakal ya, sengaja ngerjain aku?"
"Nggak kok. Aku cuma nenangin dia aja."
"Sayang, ini namanya bukan nenangin. Tapi bangunin," ucap Anjar dengan cahaya matanya yang tampak semakin penuh dengan keinginan.
"Ha ha ha ha ha."
"Tuh kan, sengaja kamu ya."
"Apa? Jangan menatapku seperti itu Anjar!"
"Kemarilah, Sayang! Ada yang ingin aku perlihatkan kepadamu," ujar Anjar sembari menarik tanganku di depan cermin besar tidak jauh dari tempat tidur.
Aku menatap cermin dengan sangat serius. Sementara Anjar yang berada di belakangku juga tampak serius menatap cermin. Tak lama, Anjar menggeser rambut panjang milikku ke kiri sembari memberikan kecupan kecil di telingaku.
"Anjar, Sayang." Aku mulai merintih dan gelisah akibat sentuhan Anjar tersebut.
"Sekarang, coba lihat matamu itu! Penuh warna dan kilauan kan, Sayang? Itu adalah pelangi kecil ciptaan Tuhan yang diberikan untukku. Lebih tepatnya lagi, hanya aku yang dapat melihat dan menikmatinya," ucap Anjar dengan napas yang mulai terputus-putus.
"Hoh, Sayang. Anjar, jangan telinga!" larangku saat lidah dan bibir Anjar memainkan telingaku. "Sayang, jangan leher!" timpalku dengan suara yang jauh lebih manja lagi.
"Heeemmh ... ." Anjar menahan suaranya dan berusaha bersabar serta mengikuti permintaanku.
"Tidak, jangan pundakku!"
"Terus, bolehnya apa?"
"Nggak tau, semuanya sama-sama menyiksa."
"Begitupun denganku, Cantika. Nggak lucu kan kalau lihat cowok yang tubuhnya atletis, tapi merengek minta jatah?"
"Sayang."
Anjar menaikan baju yang aku kenakan dan melepaskannya perlahan, "Jangan bilang tidak ataupun jangan! Ini adalah milikku, Cantika."
"Ohhh," rintihanku bahkan berhasil membuat tubuhku bereaksi sendiri hingga membangkitkan bulu-bulu halus di sekitar leher.
"Aku akan memulainya dalam posisi ini?"
"Berdiri?"
"Ya."
Anjar mulai memainkan tubuhku hingga membuat desiran darah di dadaku bergejolak hebat sampai ke kepala. Aku hanya bisa menahan kegelisahan di seluruh bagian tubuh yang ia sentuh.
Saat melihatku melemah, Anjar langsung memberikan spesial servis yang memang hanya ia persembahkan untukku. Permainan yang sangat berenergi dan aku begitu menikmatinya.
Bersambung.
Halo-halo para pembaca kesayangan ku. Jangan lupa tinggalkan komentar, tab love dan follow authornya ya karena tiap bulannya akan ada cerita yang menarik dan manis.
Oh iya, jangan lupa buat baca season 1 nya dalam judul Hot Baby 1 ya. Supaya nggak bingung dan tahu bagaimana perjuangan cinta antara Anjar dan Cantika. Makasih.