Pikiran Dimas

1008 Words
Setelah membeli barang-barang mewah di beberapa toko yang mereka berdua kunjungi, termasuk tas mewah salah satu di antaranya, Andrea mengajak Dimas ke kafe kelas atas untuk beristirahat sembari menikmati kopi di sebuah mall mewah di sana. Andrea dengan semangat menceritakan perjalanannya selama berada di Eropa belum lama ini. Namun, Dimas tidak terlalu tertarik mendengar cerita Andrea yang berapi-api. Matanya berkeliaran ke beberapa titik di sekelilingnya cukup lama, seolah ada yang sedang dia pikirkan. Sadar melihat kebingungan yang tampak di raut wajah Dimas, Andrea meletakkan sendok kecilnya di atas piring kecil kopinya, hingga menimbulkan bunyi dentingan kecil. “Dimas. Kamu melamun ya? Apa yang kamu perhatikan?” Andrea bertanya seraya melempar pandangannya searah dengan pandangan Dimas. Dia merasa tidak puas dan terabaikan. "Maaf, Andrea." Dimas meminta maaf dengan suara lembutnya. Andrea sangat menyukai barang-barang mewah, dan Dimas beberapa kali menemaninya berbelanja di mall mewah, sampai dia pun mengenal toko-toko di mall tersebut. "Hm ... itu toko baru ya? Kok aku nggak pernah liat di sini sebelumnya," ujar Dimas bertanya yang tampak tertarik dengan salah satu toko yang menjual kaca mata hitam. “Apa?” Andrea memastikan tatapannya ke toko yang dimaksud Dimas, yang berada di seberang sebelah kanan kafe. Andrea heran karena setahunya Dimas sangat jarang tertarik dengan kacamata hitam. “Emangnya kamu mau beli kacamata hitam?" tanyanya kemudian. "Nggak. Aku baru saja mendengar papaku menyebut merek kacamata hitam itu tadi pagi," “Jadi….” Andrea mengalihkan pandangannya ke cangkir kopinya yang masih penuh. “Itu merek murah. Aku lihat banyak anak-anak muda yang menyukai merek ini. Apa Om Arsa menyukainya?” Dimas tidak menanggapi pertanyaan Andrea dan hanya mengangguk kecil. Andrea menganggap kacamata merek tersebut hanya kacamata biasa dengan harga terjangkau. Tapi karena sepertinya Arsa menyukainya, Andrea tergerak ingin membelikannya, untuk menyenangkan calon mertuanya itu. "Setelah minum kopi, kita ke sana yuk?" ajak Andrea. "Oke." Dimas menyetujui ajakan Andrea setelah menyeruput kopinya. Andrea terpana mengamati tunangannya yang tampan dengan jas rapi dan elegan, ditambah tubuhnya yang tinggi dengan tangan dan kaki yang enak dipandang. Ingin rasanya dia ajak Dimas bermalam bersamanya. "Dimas, apakah kamu ... malam ini --" “Kamu tau nggak kenapa kacamata hitam itu lagi trend? Apa karena mereknya yang punya arti khusus?” Seolah tahu arah pembicaraan Andrea yang menginginkannya bermalam bersamanya, Dimas menyela kata-kata Andrea yang belum selesai. Mereka belum menikah. Papa Andrea tidak mengizinkan keduanya sering bertemu hingga bermalam. Indra wanti-wanti mengingatkan Dimas untuk tidak berhubungan badan dengan Andrea sebelum sah menikah. Dimas sebenarnya tidak terlalu tertarik secara seksual terhadap Andrea. Dengan adanya peringatan Indra, dia tentu bisa menjalankan keinginan Indra tersebut dan terus berusaha menghindari ajakan ataupun petunjuk Andrea yang mengarah ke hubungan seks. Wajah Andrea merona menahan malu. Dulu ajakannya juga pernah ditolak Dimas. Untungnya kali ini dia belum menyelesaikan ucapannya dan mengira Dimas tidak menyadarinya. “Aku nggak tau persis sih. Tapi aku pernah dengar bahwa merek tersebut diambil dari nama gunung di Swiss yang sulit didaki, Eiger,” Andrea sedikit ragu menjelaskan, tapi cukup meyakinkan. Tidak terasa waktu pun berlalu dan hari semakin senja. Kopi serta kudapan pun sudah habis. Dimas dan Andrea dengan cepat melangkah memasuki toko kaca mata hitam. Andrea dengan semangat memilihkan kaca mata terbaik dan membelikannya, membungkuskannya dengan rapi, lalu meminta Dimas membawakannya untuk Arsa. Setelahnya, mereka mencari restoran untuk makan-makan. “Hm, kamu suka Kinanti?” tanya Dimas setelah hidangan sudah tersedia di meja makan. Mereka memilih restoran stik sapi terkenal. Andrea termenung sejenak, memikirkan jawaban yang tepat. Andrea potong stik sapi dan melahapnya. “Nggak. Hanya saja calon Mama mertua tiri mudaku itu dingin dan sulit didekat.” Pandangan Andrea tertunduk ke piring stiknya sambil membayangkan wajah Dimas. Dia berusaha menyembunyikan keresahannya. Dimas jarang sekali menyebut nama seseorang dengan sengaja apalagi dengan sengaja membicarakannya. Andrea lalu memberanikan dirinya kembali mengamati ekspresi Dimas saat menyinggung Kinanti. Entah kenapa perasaan curiga kembali mencuat. “Mama tiri kecilmu itu dingin. Tapi dia sangat cantik. Hm … Om Arsa sangat beruntung….” Tangan Andrea yang memegang garpu dan pisau sepintas terlihat bergetar. Andrea ragu apakah ucapan barusan mengenai kecantikan Kinanti bertujuan ingin menguji Dimas. Tetapi dengan memuji kecantikan Kinanti sepertinya membuat Dimas sedikit kurang nyaman. Dimas mengerutkan keningnya seraya memandang wajah Andrea dengan seksama. “Kenapa kamu seperti membanding-bandingkan? Kamu adalah tunanganku dan Kinanti adalah istri sah papaku.” Dimas tampaknya enggan menanggapi ucapan Andrea mengenai Kinanti. Menurutnya dia tidak perlu menanggapi ucapan yang membosankan itu. Andrea sepertinya cukup puas akan jawaban Dimas. Andrea sadari bahwa ada banyak wanita di sekitar Dimas selama bertahun-tahun. Mereka kebanyakan hangat, cerah dan ceria. Pria seperti Dimas tidak tertarik dengan wanita cantik yang dingin seperti Kinanti. Dimas tidak menyukainya dan membencinya. Melihat reaksi Dimas barusan, Andrea menyimpulkan bahwa apa yang diceritakan Kinanti benar, Dimas memang tidak menyukainya. "Dimas, apa kamu nggak suka Kinanti?" tanya Andrea yang ingin tahu alasan Dimas membenci Kinanti. Dimas mendelik heran. Andrea bertanya seolah dia tidak tahu apa-apa. Tapi Dimas juga tidak yakin kenapa Andrea bertanya seperti itu, seolah dia sudah tahu bahwa dia tidak menyukai Kinanti. Lagi pula sekarang Dimas tidak lagi membenci Kinanti seperti sebelumnya. "Kamu dengar dari siapa?” tanya Dimas. Andrea meneguk air minum sejenak, "Hm ... dia sendiri yang mengatakannya." Sejenak Dimas hela napas pendek. “Sebelum aku bertemu dengannya, aku pikir Kinanti adalah seorang mahasiswi yang akan melakukan apa saja untuk menopang gaya hidupnya. Tapi setelah bertemu dan melihatnya sekarang, aku pikir dia tidak seburuk itu. Jadi mungkin kamu bisa bergaul dengan Kinanti, calon Mama mertuamu yang sangat muda.” Mendengar kata-kata Dimas yang tidak menyinggung hal buruk tentang Kinanti, Andrea berusaha untuk ikut mengatakan sesuatu yang baik tentang Kinanti. Seperti Dimas, Andrea juga awalnya berpikir bahwa Kinanti menikah dengan Arsa karena sebuah tujuan, harta misalnya. Dia juga yakin bahwa Kinanti tidak tulus dengan pernikahannya. Beberapa saat kemudian Dimas kembali bersikap biasa, tapi masih saja terlihat tidak begitu peduli. *** Dimas mengantar Andrea pulang kerumahnya di awal malam, lalu kembali ke Alam Sutra. Dalam perjalanannya menuju Alam Sutra, Dimas bukannya memikirkan saat-saat dia menghabiskan waktu bersama Andrea, akan tetapi dia merenungkan saat-saat terakhir yang dia habiskan bersama Kinanti. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD