Kinanti tampaknya tidak tertarik dengan isyarat Dimas.
“Kasih saja aku pendapat kamu, Pak Dimas. Nggak ada waktu untuk masuk ke kamar.”
“Hm….” Dimas menggumam sejenak, lalu tertawa kecil mendengar kata-kata Kinanti yang terkesan sok. Tawa yang bernada sarkas. Sikap Kinanti menurut Dimas tak ubahnya seperti wanita-w************n yang sok menolak tawaran, tapi sangat ramah di ranjang. Dimas mengerutkan dahinya sambil mengusir rambut di dahinya dengan jari-jari panjangnya, mencoba menampakkan ketampanan wajahnya ke hadapan Kinanti. Dimas tatap tajam wajah Kinanti.
“Kamu bilang nggak punya waktu … tapi datang kepadaku hanya untuk mempertanyakan masalah sepele ini? Kinanti, alasanmu benar-benar nggak masuk akal.”
Dua alis mata Kinanti bertaut, agak bingung atas tuduhan Dimas. Entah kenapa dia menyadari sikap Dimas yang seolah menyiratkan sesuatu yang dia belum yakin.
“Besok adalah pertama kalinya aku akan bertemu calon Papa mertua kamu, Pak Dimas. Aku tidak ingin menyulitkan Pak Arsa karena kecerobohan dan kurangnya perhatianku. Jadi aku datang ke kamar kamu khusus meminta saran … pakaian yang mana yang lebih baik aku kenakan besok. Hm … tapi kalo kamu terlalu sibuk, aku bisa memilihnya sendiri. Maaf mengganggu … Selamat malam.”
Kinanti segera berbalik dari hadapan Dimas sambil mendekap penuh setumpuk pakaian di lengannya, melangkah pergi kembali ke kamarnya.
Dimas terdiam sesaat. Beberapa detik kemudian dia memanggil Kinanti dari belakang.
“Tunggu,” serunya tertahan. Suara Dimas dalam dan kuat. Dimas selalu merasa berkuasa dan ingin orang lain tunduk dengan perintahnya.
Kinanti menghentikan langkahnya.
Dimas melangkah menuju Kinanti dan berdiri di samping Kinanti.
“Baju-baju ini yang kamu ingin aku pilihkan untukmu?” tanya Dimas seraya menunjuk beberapa helai baju di lengan Kinanti.
“Am….” Keraguan menerapa Kinanti sejenak. Dia mundur selangkah dari Dimas karena tidak tahan dengan suhu dingin.
Dimas yang tampak tidak senang dengan sikap aneh Kinanti, mencekal lengan Kinanti. “Kenapa kamu mundur?” Dimas melirik Kinanti dengan lirikan sinis, tapi nada bicaranya sangat pelan.
Kinanti hentikan langkah mundurnya.
Karena suhu AC kamar Dimas yang terlampau rendah dan terbawa oleh tubuh Dimas membuat Kinanti memundurkan langkahnya. Tapi tangan Dimas yang memegang lengan Kinanti justru terasa hangat, kulit mereka yang bersentuhan cukup lama menghangatkan suasana. Kinanti yang merasa tidak nyaman, sedikit memutar lengannya dari genggaman tangan Dimas.
Ada memang beberapa orang yang selalu memiliki tubuh panas, meskipun mereka berada di tempat yang sangat dingin sekalipun. Mereka bak sumber panas, yang sangat cocok untuk menghangatkan suasana di atas ranjang misalnya. Entah kenapa Kinanti beranggapan bahwa Dimas, seperti halnya Jeffrey, adalah salah satu di antara orang-orang yang secara alamiah membawa kehangatan.
"Nggak papa, Pak Dimas, menurut kamu baju mana yang paling cocok untuk aku kenakan besok?"
Dimas melepaskan lengan Kinanti dari cekalan lemahnya dan dengan cepat memindai pakaian yang Kinanti pegang. Secara terpisah dia mengambil tiga pasang pakaian yang hampir serupa, berupa jaket kasual dan rok panjang. Namun, tentu Dimas merasa kesulitan menilai pakaian yang mana yang cocok tanpa Kinanti mencobanya. Dia hanya bisa membayangkan seperti apa penampilan Kinanti saat memakai baju yang akan dia pilih.
Kinanti menyadari Dimas menatap dirinya, membuat sketsa tubuhnya dengan gerakan matanya yang gelap dan tajam. Entah kenapa ada sedikit dorongan dari dalam diri Kinanti untuk melarikan diri. Dia merasa aneh dengan tatapan Dimas. Namun, Kinanti sangat pandai menutupi keresahannya.
Tatapan Dimas menyapu lengan, d**a, pinggang, dan perut Kinanti, sebelum turun ke kaki Kinanti yang panjang lagi ramping. Sayangnya, hari ini Kinanti mengenakan celana panjang yang menutupi kakinya yang indah
"Yang krem ini kayaknya bagus," kata Dimas.
"Maksudmu yang ini?" ucap Kinanti menegaskan dengan nada tanya.
"He eh."
Kinanti hela napas lega.
"Besok Bu Erni akan menyetrika pakaian ini. Terima kasih atas sarannya, Pak Dimas," ucap Kinanti sopan dengan mengangguk pelan ke arah Dimas. Melihat tatapan berat Dimas yang masih melekat padanya, dia merasa tertindas. "Selamat malam, Pak," ucap Kinanti kemudian, lalu melangkah menuju kamarnya.
Saat hendak menutup pintu, Kinanti mendengar suara rendah dari Dimas.
"Selamat malam."
***
Keesokan paginya, keluarga kecil Arsa sudah terlihat rapi dan siap-siap pergi ke rumah keluarga Andrea. Dimas membawa oleh-oleh kecil khusus untuk Andrea yang dia beli dari perjalanan dinas terakhirnya ke Korea Selatan. Kinanti terlihat sangat cantik dengan jaket kasual berwarna krem yang dipilihkan Dimas semalam, dipadu rok panjang putih.
Arsa dan Kinanti duduk di kursi belakang mobil, sedangkan Dimas yang menyetir mobil. Saat mobil melewati gerbang perumahan, tampak Jeffrey duduk berjongkok sambil merokok. Ada setumpuk puntung rokok dan minuman kaleng bir di dekat posisi jongkoknya. Sikap Jeffrey sama seperti sebelumnya, selalu berdiri dan mengawasi ke arah mobil yang melewatinya.
Jeffrey hanya melihat Dimas yang duduk di depan setir dan tidak melihat ke bagian belakang mobil. Kecewa karena tidak melihat target yang ingin dia temui, Jeffrey menggaruk kepalanya seakan tidak sabaran, lalu berjalan kembali ke posisi jongkoknya.
Saat mobil melewati pos keamanan, Dimas bertanya kepada salah satu satpam mengenai sosok Jeffrey yang tidak dia kenali.
“Dia bilang dia sedang menunggu seseorang, tapi dia tidak mengatakan siapa yang dia cari. Dia memang sering jongkok di sekitar sini agak lama. Karena dia jongkok di sana dan bukan di wilayah perumahan, kami nggak bisa mengusirnya. Tapi jangan khawatir, Pak Dimas. Kami tetap mengawasinya.” Satpam dengan jelas menceritakan tentang gerak terik Jeffrey.
Dimas mengangguk sejenak ke arah satpam pertanda dia memahami penjelasan satpam, lalu melajukan mobilnya ke luar dari area vila. Selang beberapa saat, tanpa sengaja dia melirik ke kaca spion dan melihat Kinanti yang duduk di belakangnya. Meski berkacamata hitam, Dimas bisa melihat wajah Kinanti yang sudah pucat pasi. Dahi Dimas spontan berkerut dan tentu bertanya-tanya.
"Kenapa kamu memakai kacamata hitam? Di luar tidak terlalu terang."
Pikiran Kinanti yang tertuju ke Jeffrey membuat Kinanti sedikit kurang fokus dan hampir mengabaikan pertanyaan Dimas. Butuh beberapa saat baginya yang kemudian baru menyadari bahwa Dimas sedang bertanya kepadanya. Kinanti relaks sejenak sambil membasahi bibirnya yang kering, dan melepas kacamata hitamnya, lalu meletakkannya di atas pangkuannya. "Nggak, ini hadiah dari Pak Arsa. Aku ingin memakainya sekarang," ujarnya sekenanya.
Arsa tersenyum puas. Dia senang sekali karena Kinanti menyukai pemberian khususnya. Dia menoleh ke arah Kinanti. Ini kedua kalinya Kinanti memakai kaca mata hadiahnya. Dia pikir Kinanti sangat tertarik dengan kaca mata tersebut.
Bersambung