Dengan sengaja Hanna menikmati ice creamnya dengan cara yang membuat beberapa temannya memandang tanpa berkedip.
Hanna menyadari sikap temannya yang begitu terpesona melihatnya sehingga ia semakin menggodanya. Sayang, ia tidak bisa melakukan nya berlama-lama karena Geery dengan lancang memukul jidatnya dengan sumpit yang masih terbungkus diikuti oleh matanya yang melotot galak.
"Jangan norak dan bikin malu! Kau tahu sikapmu itu seperti pts yang sedang menawarkan barang."
Mata Hanna balas melotot. Bagaimana bisa Geery menyamakan dirinya dengan pts. Tapi, apa itu pts? Penilaian tengah semester atau apa?
"Gee, pts itu apaan sih? Memangnya kita masih pts? Bukannya kita harus mempersiapkan ujian akhir?" tanya Hanna polos yang membuat mereka tertawa.
"Itu singkatan untuk wanita yang ga bener?" jawab Ary.
Hanna mengerenyitkan dahi, setahunya julukan atau panggilannya bukan pts.
"Aku ga tau. Gee, ayo kasih tau aku!" perintah Hanna semakin kesal.
Geery yang mendengar desakan Hanna hanya bisa mendesah. Ia menyesal kenapa juga harus beritahu Hanna. Sementara mereka semua tahu Hanna adalah gadis remaja yang terlindung dari informasi bobrok yang bisa mengotori otaknya.
"Geery...apa, ayo kasih tahu aku," rengek Hanna sembari menggoyangkan tubuh Geery.
Setelah berkali-kali didesak Hanna, akhirnya Geery menjawab pertanyaan tersebut. .
"Pts itu singkatan dari perawan tukang s**u," bisik Geery.
Sesaat hening,mereka semua tidak ada yang bicara sampai suara tawa Hanna terdengar lantang diikuti oleh gerakan tangannya yang memukul Geery.
"Wooi, ngasal aja loe. Ada juga gadis penjual korek api. Itu gue pernah baca ceritanya."
Semua yang mendengar ucapan Hanna tertawa geli, tidak perduli perbuatan mereka menarik perhatian beberapa orang yang berada di restoran. Meskipun mereka berada di bagian out door.
Hanna oh Hanna yang otak dan pikirannya masih bersih. Dia tidak bisa menerima kiasan lain dari namanya sugar baby.
Bukan tanpa alasan Geery mengatakan kalimat seperti itu. Sudah sejak tadi beberapa pasangan menikmati makan siang tidak jauh dari meja mereka.
Geery, Diaz dan teman-temannya sudah mulai risih dengan kelakuan gadis yang masih memakai seragam seperti mereka.
Ia tahu para gadis yang menikmati makan siang bersama dengan para lelaki berusia setengah baya, bukanlah pelajar SMA yang sesungguhnya. Siapa pun mengetahui bahwa setiap hari kamis waktunya pelajar memakai seragam sekolah yang berasal dari sekolah mereka. Pakaian putih abu-abu hanya dipakai pada hari selasa saja.
"Eh Han, loe serius nunggu jemputan dari kakak loe?" tanya Diaz setelah mereka semua sudah menyelesaikan makannya.
"Serius. Itu kakak gue udah datang," jawab Hanna menunjuk seorang pria yang berjalan mendekat menuju meja mereka.
Tanpa dikomando, mereka semuanya berdiri begitu melihat Angga yang mereka kenal sebagai atlet menembak.
"Siang Kak," sapa mereka yang dibalas dengan cengiran Angga.
"Siapa yang traktir?" tanya Angga.
"Ga ada Kak," jawab Diaz.
"Kenapa kalian ga minta traktir sama Hanna? Dia baru dapet transferan loh. Makanya aku sengaja nemenin dia belanja."
Ucapan Angga sontakan membuat mereka menatap Hanna dengan tatapan menuntut.
Dalam hati Hanna mengumpat Angga 'dasar ga ada akhlak'.
"Yee, kenapa kalian ngeliatin aku seperti itu?" ucap Hanna mengelak.
"Ga apa-apa. Besok jum'at bisa traktir kita dong," kata Boomke semangat.
"Terus, gue mesti nunggu-in kalian jum'at-an dulu?"
"Ya udah, Senin aja kita kumpul di sini. Gimana?" kata Diaz sambil mengerling ke arah Hanna.
Kesepakatan untuk makan siang bersama pada hari Senin sudah disetujui oleh Hanna karena informasi dari Angga.
"Kamu mau beli apa Dek?" tanya Angga ketika mereka berada di toko khusus yang menjual perlengkapan olahraga.
"Sebenarnya adek mau beli busur Kak. Tapi lupa bawa kartu anggota PERPANI nya," jawab Hanna nyengir.
"Busur kamu memang nya kenapa? Bukannya baru 4 bulan lalu beli bareng mom?"
"Engga kok. Waktu itu cuma nganter mom beli sarung senjata," jawab Hanna pelan.
"Jadi mau beli apa?"
"Kita cari baju atau sepatu aja yok."
Tanpa menunggu jawaban Angga, Hanna menarik tangan kakaknya menuju bagian lain dari mall yang menjual pakaian dan juga tas, sesuai dengan yang mereka inginkan.
Hanna dan Angga sudah diajarkan oleh kedua orang tua mereka untuk mengatur keuangan dengan cara yang efektif dengan membeli sesuai kebutuhan saja.
Hanna sedang duduk di samping Angga yang sedang mencoba sepatu yang akan dia beli.
"Selesai SMA mau kuliah dimana?"
"Sama seperti Kak Angga. Adek mau jadi pengacara yang bisa membela kepentingan orang yang tidak mampu," jawab Hanna.
"Bagus, tapi adek juga perlu ingat bahwa bekerja sebagai Advocate and legal consultant selalu mempunyai aturan tersendiri," kata Angga memberi pengertian pada Hanna.
"Hem...kak, boleh tanya gak, kenapa ada bahasa perawan tukang s**u?" tanya Hanna membuat Angga menghentikan kegiatan nya yang sedang memakai sepatunya kembali.
"Siapa yang bicara?" tanya Angga tajam.
"Geery."
"Anak itu mulutnya harus di kasih saringan," kata Angga menggerutu.
"Aku yang bertanya. Lagi pula bukankah bagus adek jadi bisa mengenal dan mengetahui apa yang terjadi di sekitar? Sekarang coba kaka pikir apa yang harus adek lakukan kalau ada yang bicara seperti itu di depan adek lalu adek hanya diam saja?"
Angga berusaha menahan diri. Ucapan Hanna ada benarnya juga, tidak mungkin ia membiarkan adiknya menerima ucapan dan perkataan dari orang lain kalau dia tidak mengerti artinya.
Beberapa tas belanja sudah ada di tangan mereka kini saatnya untuk pulang sebelum kedua orang tua mereka tiba di rumah.
Sejak kedua kakak mereka memiliki keluarga sendiri, Angga mendapat tugas untuk memantau kegiatan adiknya. Pergaulan yang terjadi karena kurangnya pengawasan dari keluarga tidak jarang membuat anak perempuan yang tadinya baik-baik dan menjadi anak manis dikeluarga secara tiba-tiba bisa berubah dengan menjadi salah satu pts atau pun sugar baby.
Angga tidak sepenuhnya mengawasi kegiatan Hanna karena ia cukup percaya kalau Hanna akan bertanggung jawab sebelum dengan semua yang dia lakukan. Ajaran dan pesan dari kedua orang tua mereka mampu menjadikan Angga dan Hanna lebih pengertian dalam menggunakan kebebasan yang diberikan.
"Neng, tadi ibu pesan, kalau sudah pulang katanya disuruh balas pesan dari ibu," suara bibik yang bekerja di rumah mereka membuat Hanna memandang Angga dengan tatapan bertanya.
"Pesan yang mana? Mom ga ada kirim pesan apa pun?" tanya Hanna setelah mengeluarkan ponselnya.
"Sama, di ponsel kaka juga ga ada pesan yang masuk," baritahu Angga.
"Bik...bibik, mama bilang ga pesan dimana?" tanya Hanna.
"Maaf Neng, kata ibu pesan yang ditempel di dalam lemari Eneng," jawab bibik yang sukses membuat kening Angga dan Hanna berkerut.
"Mama ngapain sih kirim pesan kaya gitu. Ada ponsel buat apa coba."
Sambil menggerutu Hanna berjalan menuju kamarnya.
Tidak berapa lama kemudian terdengar suara Hanna yang berteriak girang hingga mengagetkan Angga yang baru berniat masuk ke dalam kamarnya.