" Bapak, kalau becanda mbok, ya, jangan kelewatan donk! Masak Anye bakalan nikah sama om-om! Pokoknya tidak. No way! "
Tolak Anyelir ketika ayahnya kembali mengingatkan perjodohan mereka yang tak masuk akal baginya.
Kategori jodoh, bagi Anyelir adalah, pria tampan, muda, imut, dan satu yang pasti adalah pria itu berasal dari Korea Selatan, titik.!
Anyelir adalah KPOPERS garis keras, sekeras mantan ngajak balikan. Ehh! Enggak ding. Barang bekas-kan sudah masuk tong sampah.
" Anyelir, kowe itu, mbok nurut sama Bapak sekali-kali ngopo to. coba aja almarhum ibumu masih ada, pasti sudah di cubit kamu, kalau ngelawan gini..." Ujar Mandaru Sentano sembari melipat koran dan menyeruput kopi sore yang di buatkan oleh pembantu rumah tangga mereka.
" Tapi, Pak. Yang jadi permasalahan itu, umur Anye sama om Langit itu beda jauh, jauh banget malahan. Sejauh kemungkinan kita berdua, bakalan jodoh pak. Bapak ndak mau toh, nantinya Anye menyesal setelah menikahi Om Langit dan minta cerai..." Tolak Anyelir lagi, sembari memainkan rambutnya.
" La tapi-kan, kamu yang sedari kecil merengek minta di nikahi Nak Langit. Sampai-sampai Om Andono melarang nak Langit membawa wanita pulang kerumah, hanya demi memenuhi keinginanmu. Kamu itu tahu-kan, betapa sayangnya Om Andono padamu. Mosok iyo kamu mau menghianati Om-mu?"
Bujuk sang ayah lagi, sembari menghisap dalam-dalam rokok tembakau buatan dengan bau yang khas.
" Bapaak…waktu itu, Anye masih piyik Pak, baru netas. Masih SD! Mana mungkin Anye paham menikah itu apa, lagian Om Langit di Jakarta pasti punya pacar banyak. Hidup orang Jakarta itu, ndak seperti kita yang di kampung ini lo Pak! Om Langit itu pasti perempuannya dimana-mana..." Anyelir mencoba menghasut sang ayah dengan segala jurus yang dia miliki. “ Pak, orang kota itu, pacarannya sudah di luar jangkauan! Anye gak mau barang bekas! Lagian barang bekas kok di kasih ke anak, bukannya di jual di marketplace…”
“ Kowe ngomong opo toh, Nye. Bapak ndak paham, sampe bawa-bawa marketplace segala, marketplace ki opo?” Ucap sang ayah sembari memperbaiki posisi letak kacamata miliknya.
“ Intinya, pak. Anyelir tidak bisa menikah dengan Om Langit, dia bukan jodoh yang baik untuk Anye!” Suara Anyelir mulai meninggi
" Kamu dari tadi, Bapak dengar manggilnya Am-Om...Am-Om. Gak inget kamu dulu nangis kalau Nak Langit ndak datang menemuimu. Sampe Bapak nyariin dukun buat ngobatin kamu..." Jawab sang ayah mengingatkan Anyelir pada masa lalu.
“ Zaman jahiliyah jangan di bahas Pak…malu sama teknologi. Lagian, ngapain juga Bapak pake ngedukun segala. Udah tobat belom pak…” Anyelir berusaha mendiskriminasi sang ayah. Sang ayah terdiam sejenak, berfikir apa dirinya sudah taubat akan perbuatan salah di masalalu. Lamunannya buyar setelah suara putri tunggalnya kembali mendominasi.
" Pokoknya, apapun yang terjadi. Anye gak mungkin nikah sama pria setua itu. Lagian Anye mo nikah sama orang Korea. Biar Anye kenalin calon mantu Bapak yang sesungguhnya..." Sambung Anyelir sembari merogoh ponsel dari saku trainingnya dan menunjukkan gambar sekelompok Boy Group pria dengan rambut warna-warni.“ Nih calon mantu Bapak yang sesungguhnya…”
Sontak membuat Mandaru Sentano melotot tajam dan membuang rokok tembakaunya.
" Anyelir! Mau jadi apa kamu? Laki-laki kok kayak gitu, pakai lipstick pakai pensil alis segala koyok opo wae. Lah, di tambah rambut warna-warni wes koyok preman wae! Gak beretika sama sekali..." Ucap sang ayah membuat Anyelir membelalakkan matanya dengan sempurna.
" Bapaak! Tega Bapak nyakiti hati Anye, dan ngata-ngatain pacar Anye dengan kejam. Bapak jahaaat.!"
Anyelir berlari kekamar dengan bibir merat merot karena menggerutu. Anyelir tidak terima Oppa-nya di bilang seperti itu oleh sang ayah.
Duh! Kenapa sih hampir semua orang di sekitarku gak ngerti estetika! Masak Oppa di bilang, plastik-lah, mereka yang ngomong gak paham era modern. Idol berwajah cerah, apa salahnya, lihat saja, gimana karya mereka, sekeren itu. Oppa….mianhe!
Sementara sepeninggal sang anak membuat Mandaru Sentano kebingungan melihat tingkah putrinya yang tiba-tiba marah hanya karena ucapannya.
" La salahku ki opo to, jale? , aku bener kok, pria rambut di warnai pake bedak pake lipstik, mau jadi opo? Ngeneki kalau anak sudah lama ndak dapat kasih sayang ibunya, hmm... apa harus aku menikah lagi? Tapi karo sopo? Aku sreg nya yo cuma sama mendiang istriku..." Gumam Mandaru kepada diri sendiri.
Mandaru Sentano memang sudah lama kehilangan istri, hal ini dalam artian Anyelir sudah tanpa ibu sejak masuk kelas 1 SMP.
Mandaru menoleh kearah tukang kebun yang bekerja untuknya selama puluhan tahun. “ Jang…sinio, aku mau tanya…”
Ujang adalah pria tua yang umurnya tak berbeda jauh dengan Mandaru.
“ Baik, Ndoro…” Ujang berjalan mendekat kearah sang majikan. “ Ada apa, Ndoro?”
“ Jang, aku mau nanya, kalau misalnya kamu melihat bocah remaja dengan rambut di warnai macem-macem, apa menurutmu itu bocah baik-baik?”
Ujang berpikir sejenak, membayangkan apa yang di maksud majikannya. “Rambut di warnai, yang mirip pengamen jalanan itu bukan, yang ndoro maksud?”
Sontak Mandaru terkekeh, merasa pendapatnya benar. Tentu saja mereka akan berpikiran sama, usia mereka hampir sama.
“ Anak-anak jaman sekarang itu, sejak mainan-nya handphone, pada mulai melupakan tradisi…” Ucap Mandaru.
Sementara di dalam kamar, Anyelir sembari memandangi poster Oppa, tengah berfikir keras.
Kalau bapak masih ngotot jodohin aku, bisa-bisa aku ga bakalan bisa kuliah di Seoul. Gagal dech semua impian dan cita-citaku selama ini. Lagian, zaman serba canggih gini, masih ada tradisi perjodohan, kalau sampai terdengar sama temen-temen bisa jadi bahan tertawaan aku ini. Nasib-nasib!
Anyelir membolak-balikkan tubuhnya bergelimpangan kesana-kemari di atas tempat tidur itu.
Trus, kalau bapak masih sekeras itu, gimana aku bakalan nonton konser, bisa kena hukum lagi donk! Tiga bulan lagi. Ayoo, Anyelir! Berfikir keras mencari jalan keluar.
***
Tiga bulan telah berlalu sejak perselisihan antara Anyelir dan sang ayah.
Tapi kali ini terpaksa Anyelir melunak dan merendahkan harga dirinya dengan merayu sang ayah. Maklum saja, waktu konser sudah tinggal menghitung hari. Tak ingin rencananya gagal, Anyelir mengelurakna semua jurus yang dia miliki.
" Pak, Bapak mau Anye pijitin ndak? " Rayu Anyelir mendekat kearah sang ayah yang tengah duduk di taman seperti biasa, menjelang sore, sang ayah akan menikmati secangkir kopi dan menghisap rokok tembakau di taman.
" Bapak ndak capek, kamu pasti ada maunya-kan? Terus terang saja sama Bapak. Watakmu kalau punya keinginan-kan harus tercapi, harus di laksanakan…”
Anyelir sontak tersenyum mendengar ucapan sang ayah. Dalam hati dia melonjak kegirangan karena mendapat lampu hijau.
" Jadi gini Pak. Kan Anye sudah gede, udah 19 tahun. Sudah mau tamat sekolah, dan tinggal nunggu Ijazah. Anye rencana mau ke Jakarta Pak, boleh ya?" Ucap Anyelir sembari memainkan jarinya menggemaskan.