10. Sepuluh

1521 Words
Note: Jangan kaget, nama TOKOH diganti menjadi LOKAL. Altariksa Sehun Lorenzo = Altariksa Lorenzo (Al) Rahee Dinata = Raheema Dinata (Rahee) Jaehyun Jeperi Bianto = Jaelani Jeperi Bianto (Jae) Suho Harta Wijaya = Samudra Harta Wijaya (Samud) Xiumin Algazali = Umin Algazali (Umin) Abyansah Chanyeol Gerhana = Abyansah Chandra Gerhana (Chan) Malikai Jongin Edowardo = Malikai Zul Edowardo (Kai) Jaemin Adylan Ramadan = Jaem Adylan Ramadan (Jaem) Baekhyun = Baekarsa Banyumas (Banyu) Lay = Lei Dio Penicylin Kusuma = Penicylin Dion Kusuma (Dion) Chen = Chendrapatih (Chen) Sisanya nyusul *** *** *** Menikah. Bagi Dion itu hubungan keramat, yang mana tidak bisa dikata sederhana, bukan tempatnya orang-orang macam Altarik dan Rahee yang kenal saja baru beberapa hari, bertemunya pun gara-gara lowongan abal-abal di koran, terjadi atas butuh sama butuh dalam kategori memanfaatkan, tidak berlandaskan cinta. Yang seperti itu ... mana bisa Dion dukung, kan? Hubungan seserius menikah, tapi mereka buat jadi acara pemenuh surat wasiat serta ajang mendapatkan uang. "Sinting, ya, kalian?" katanya. Mulut pedas Dion berkumandang pertama setelah sebelumnya Altarik memperkenalkan Rahee di sana, di depan semua tim kesebelasan keluarga mereka. Rahee meringis saja. Dia kembali di pertemukan dengan abangnya Marine yang itu. Ah, semua ini gara-gara Mr. Altarik YTH yang datang ke kamar kosnya, lalu ngobrol sejenak dan ujungnya nyeret Rahee ke kediaman utama setelah mendapatkan pesan bahwa seluruh abang-abangnya Marine sudah berkumpul di sana. Hingga Rahee merasa sekarang dia sedang dieksekusi. "Tenang, Yon, tenang. Sekarang mah gini aja, hayuk lah urang serahkan kepada Bang Umin. Beliau yang paling tuwir di sini. Maneh bacotnya entaran aja," ujar Banyu. Satu-satunya duda di sana. Samudra menyeruput teh dengan cangkir emasnya, dari bagaimana cara dia mengambil dan meletakkan cangkir itu ke meja sungguh elegan sekali. Menatap Rahee yang jadi pemerhati di setiap geraknya Samudra. Kagum dia. Lelaki saja bisa seanggun itu, tapi kok Rahee sendiri tidak? Belum lagi wajah rupawan Banyu yang membuat sisi kewanitaan Rahee meraung-meraung, merasa gagal jadi cewek. Mendadak salah fokus kepada fisik nyaris sempurna seluruh abangnya Marine di sana. Gila, sih! "Kamu beneran mau menikah sama Rahee, Al?" selidik Umin memulai sesi interogasi. Rahee kontan melirik Mr. Altarik yang mengemut bibirnya sendiri. Ugh tea! Sedang Marine yang menjawab, "Kalian tuh kenapa sih, Bang?! Rahee ini temen aku, kenapa terus-terusan dipandang 'nggak banget'?" "Bukan gitu, Sayang," jawab Lei lembut sekali diiringi senyum yang sukses membuat Rahee berdecak dalam hati, kenapa nggak abangnya Marine yang ini saja yang butuh istri? "Jelas-jelas abang kamu yang itu mau nikah demi wasiat dan nyari cewek asal nemu, Marine. Inget gak Abang pernah cerita kalau temen kamu ini nyium pipi pacarnya Abang? Lesbi dia, Rin!" Tahu lah ya dia ini siapa, dendam kesumat kepada Rahee yang gagalkan acara nemu jodohnya. "Wasiat, wasiat, wasiat! Kenapa gak kita bakar aja sih itu wasiat?!" si Bungsu Marine mengerang keki. Gara-gara wasiat semuanya jadi seperti ini. "Rin—" "Kalo kalian nggak setuju Rahee sama Bang Altarik, ya udah bilang! To the point aja, nggak perlu jelek-jelekin temen aku!" Sebab mereka tidak tahu saja kebaikan apa yang Marine dapat dari Rahee, satu-satunya teman yang benar-benar teman yang Marine miliki. Samud letakkan cangkir tehnya, menatap Rahee seraya berkata, " Altarik bayar kamu berapa?" Rahee terkesiap. Lalu Marine kembali murka. "Abang!" Dan Rahee tersenyum kepada kawannya, bertelepati seolah berucap: nggak apa-apa, santai, Rin. Yang kemudian menjawab, "Satu juta dolar." Detik itu juga langsung Banyu semprot adiknya dengan kalimat, "b******n maneh, Al! Emangnya situ mampu?!" Rahee kaget. Untung tidak ada riwayat lemah jantung, kalau ada mah sejak tadi sepertinya dia wafat sebab wajah-wajah tampan di depannya itu cukup mengguncang. Beda dengan yang lain, tidak ada kaget-kagetnya sama sekali. Seakan suara melengkingnya Bang Banyu itu tidak berefek. Kini Mr. Altarik YTH mendapatkan seluruh perhatian orang-orang yang mengelilingi meja bundar, termasuk Rahee. "Perusahaan Percetakan lo kan cuma segede upil, berani bayar satu juta dolar dari mana?" imbuh Dion diiringi seringaiannya. Dia adalah orang nomor satu yang mendukung batalnya pernikahan tersebut. "Saya ada bisnis lain kok," jawabnya tenang. Tapi mau seelok apa pun jawaban itu, mata Rahee sukses memicing mencurigai. Benar juga, bayar DP saja cuma satu juta rupiah, dicicil pula. Nah, loh! Mendadak tidak yakin kalau Mr. Altarik ini kaya. "Bisnis apaan yang bisa dapet satu juta dolar?" Banyu turut menimpali, sebelum kemudian mata sipitnya melotot tidak sempurna, "Jangan-jangan maneh bisnis prostitusi?!" "Terus Abang ini gigolonya?" imbuh Jaelani. "Wah, bener tuh. Pasti laku," komentar Chandra. Membuat Rahee pening seketika. Para abangnya Marine ini ternyata kalau ngomong asal bunyi saja. Mungkin itu yang jadi ciri khas. Oh, ayolah ... dihadapkan oleh satu dari tim kesebelasan saja kewarasan Rahee sudah lemah, bagaimana kalau sekarang coba? "Pokoknya saya mau nikah sama Rahee, dengan dan atau tanpa restu kalian. Saya bawa Rahee ke sini cuma mau ngenalin aja, biar kalau nanti ketemu sama cewek ini kalian tau bahwa Rahee itu istri saya." "Al—" "Permisi. Kami mau cari gaun pengantin, keburu sore soalnya." Ucapan Samud dipangkas oleh pamitnya Altarik yang menarik tangan Rahee, membuat keduanya hengkang dari ruang perundingan. Samudra memilih menghabiskan teh hangatnya. Kasus pun ditutup. Perundingan resmi dibubarkan. *** "Jawab jujur, Bapak beneran punya uang buat gaji aku nggak?" Di perjalanan menuju butik, Rahee memulai sesi tanya jawabnya. Jangan sampai, ya, nanti dia melahirkan anak laki-laki tapi bayarannya tidak ful satu juta dolar. Meski dipikir-pikir, ibu macam apa dia?! Tapi ya bodo amat lah, Rahee nggak peduli soal anaknya kelak yang akan dia tinggalkan setelah urusan satu juta dolar itu selesai. Nggak apa-apa, sejak awal Rahee hidup tanpa keluarga. Di panti pun dia sendirian. Iya, begitu. Harusnya begitu. "Kamu denger saya ngomong, nggak?" Rahee terkesiap. Lalu menyengir kuda, pertanda bahwa telinganya tidak berfungsi seketika hingga omongan Mr. Altarik entah apa isinya. "Ya sudah, kita bahas itu lagi nanti." "Loh, emang Bapak ngomong apa?" Altarik melirik Rahee sekilas dari fokus mengemudinya. "Nggak ada." Rahee mencibir saja, lalu memandang ke luar jendela. Pikirannya berkelana pada hari kemudian bila dia jadi menikah dengan Altarik. Kira-kira bagaimana kehidupannya nanti? Bagaimana dengan kuliahnya yang sekarang sedang cuti? Apa semester depan dia harus cuti lagi? Ah, tapi yang lebih penting dan wajib dia pikirkan sekarang sebelum tiba hari H, yang mana mengenai malam pertama, membuat pipi Rahee merona tapi ngeri di saat bersamaan sebab merenungkan suatu hal sejenis ... "Katanya kalo pas pertama itu sakit banget." "Apa?" Rahee tersentak. Jangan-jangan keceplosan? Waduh, gawat. Kenapa Rahee selalu melakukan hal yang serba gawat bila berkaitan dengan cowok ini? Tapi, pura-pura bego saja. "Apanya yang apa?" Altarik menaikkan sebelah alis matanya. Menghentikan mobil di saat lampu merah. Menatap Rahee. "Katanya kalo pas pertama itu sakit banget," kata Altarik mengulang apa yang Rahee ucapkan. "Ah ... itu." Rahee gelagapan, merutuk dalam hati, awas nanti mulutnya akan dia kutuk jadi seksi. "Bukan apa-apa kok." "Saya cuma pura-pura gak tau," balas Altarik. Rahee menggaruk tengkuknya. Jiwa barbarnya ke mana, sih? Kok hilang ketika dibutuhkan? "Tapi katanya emang sakit banget." Hal yang membuat Rahee menoleh, tanpa sadar memelas tatapannya. Seolah bicara: Tuh, kan, nanti aku gimana? "Punya Bapak nggak serius sebesar itu, kan?" Rahee melotot setelahnya. Si bego malah diomongin! Ya Allah, Rahee! Mati saja sana! Yang cepat-cepat Rahee ralat di detik tatapan Altarik kian lekat, "Itu loh anu ... maksud aku bukan anu yang itu—eh, nggak! Aku gak ngomong apa-apa, sumpah!" Sudah lah, mending Rahee mingkem saja. Mulutnya terlalu comel dan nggak ada patokan kalau ngomong, sepertinya jauh lebih parah daripada mulut punya abang-abangnya Marine. Dia lebih asal bunyi dari mereka. Rahee mengusap-usap pipinya, panas, lalu matanya menatap jelalatan ke mana saja asal bukan di Altarik. Mobil pun kembali melaju. "Nggak sebesar di pikiran kamu sepertinya, tapi nggak bisa dibilang kecil juga." "Pak!" Ya ampun! Kok ngomongnya santai banget? "Udah jangan dibahas." Memangnya Mr. Altarik YTH itu nggak malu? Ah, bukan! Tapi memangnya Bapak Altarik Lorenzo ini punya malu? Kok dengan begitu santuynya beliau gibahin kepunyaan sendiri? "Saya cuma jawab aja kok," melirik Rahee, "kamu terlalu kepo soalnya." "Dih, nggak!" Enak saja! "Padahal nanti pun kamu ngerasain sendiri." "Iya, udah jangan dibahas lah, Pak." Rahee misuh-misuh tanpa suara. Dia berdecak karena kebodohan natural nggak pergi-pergi dari otaknya. Lain kali kalau bicara kudu cermat, jangan asal mangap. "Saya kadang merasa nggak adil." "Maksud?" Mereka pun tiba di tempat tujuan, yang mana mobilnya sedang Altarik parkirkan. Lalu Rahee melepas sabuk pengaman di detik Altarik tanyakan, "Berapa ukuran d**a kamu?" Woi, ah! Kalau ngomong suka nggak pakai saringan! Rahee kontan menyilangkan tangannya di depan benda pusakanya wanita. Memandang ngeri Mr. Altarik yang terkekeh karenanya. Ini orang nggak waras, nih. Sama kayak Rahee. "A-aku masih kecil—" "Tau kok, makanya itunya pun kecil." Rahee melotot dan kian melindungi barang berharga yang semena-mena Mr. Altarik sebut kecil. "Bukan itu, maksud aku—" "Mending kita turun aja, cari gaun pengantin, cincin kawin, biar cepet nikah dan bisa buktiin keingintahuan masing-masing." "Dasar otak m***m!" "Kamu nggak ngaca?" "Bapak nyebelin, ya?" Yang ada Altarik malah tertawa sambil kemudian berkata, "Nggak apa-apa, saya lebih suka kamu yang kayak gini daripada kamu yang ngomong 'bertahan sama saya karena kamu butuh uang'." Hal yang membuat Rahee diam sebab berikutnya entah siapa yang menggerakkan, tubuh Altarik condong ke depan, menjatuhkan sebuah kecupan di pojok atas bibir Rahee sebelum kemudian hengkang lebih dulu keluar dari mobil. Jangan baper, jangan baper, Rahee ... jangan baper. Begitu nyanyian batinnya. Mengerjap. Rahee menggeleng. Lalu bergegas turun dari mobil mengikuti Mr. Altarik YTH yang sudah berdiri menunggunya di luar. Iya, jangan baper. Tapi ... bagaimana bisa di saat mata Rahee melirik dan mendapati wajah Altarik merah sampai ke daun telinga. Aih, gemasnya! "Bapak malu, ya?" Altarik diam, memulai langkahnya. Rahee mengekori. "Cie, malu. Malu, kan?" Jadi, tolong jangan tanya lagi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD