Warning!
Dibutuhkan pekerja wanita dengan kriteria sebagai berikut:
1. Single
2. Sehat
3. Berkepribadian baik
4. Bisa mengurus anak
5. Profesional (tidak baperan)
Minat? Langsung saja, segera hubungi kontak Altarik: 081223456789
Yang Rahee ulang-ulang bacaan tersebut, tertera di koran eksklusif milik abang dari sahabatnya. Kebetulan hari ini dia sedang main di sana, kediaman Marine yang biasa mereka jadikan markas. Dengan Rahee yang duduk di sofa, lalu Marine lesehan di atas karpetnya.
"Ini asli?"
"Apanya?" sahut Marine menanggapi Rahee. Dia sedang mewarnai kukunya sendiri. Masing-masing kuku pada jemari lentiknya dia poles dengan warna dan motif berbeda, Marine merupakan seseorang yang sangat menyukai kuku campernik.
"Ini loh," ucap Rahee seraya menunjukkan isi koran yang baru saja dibacanya. "Lowongan kerja. Aneh banget gak, sih?" Sebab kriteria yang tertera di sana begitu umum dan sedikit mencurigakan, menurut Rahee.
Sejenak menunda aktivitasnya, Marine melongokkan pandangan demi membaca lowongan pekerjaan di koran yang Rahee sodorkan.
"Kriterianya gampang banget, paling juga jadi pengurus bayi, Ra." Nah, kan, Marine saja berpikir demikian.
"Atau jangan-jangan penipuan? Iklan lowongan kan banyak juga yang tipu-tipu." Rahee mulai parno. Toh, bisa saja, kan?
Marine berdecak. "Nggak ada, ya, sejarahnya koran eksklusif langganan abang gue itu isinya nipu. Dijamin no hoax no tipu, Ra. Lo mau coba?"
Sebab Marine tahu bahwa kawan sepergaulannya ini membutuhkan uang untuk biaya kuliah serta suntikan dana untuk membayar hutang-hutangnya. Rahee sampai cuti kuliah demi mengumpulkan pundi-pundi dunia. Lalu soal hutang ... sebenarnya hutang itu sudah Marine anggap lunas, tapi Rahee selalu saja kukuh bahwa dia akan membayarnya. Alasannya nggak enak lah, sesama teman juga kalau hutang ya kodratnya wajib untuk dibayar lah, padahal Marine fine-fine saja kok.
Marine tulus membantu Rahee, Raheenya saja yang segan sama dia. Ah, nggak ... lebih tepatnya Rahee segan sama Bang Samud. Soalnya uang pinjaman Rahee kan bersumber dari Samudra, abangnya Marine. Tapi--
"Gue coba deh." Ucapan Rahee memangkas deskripsi yang Marine terangkan. "Butuh duit banget soalnya."
Ya sudah, terserah saja. Sejak lama Marine sudah menyerah dengan kegigihan Rahee soal uang dan kukuhnya sang sobat perihal hutang.
Terkait info lowongan kerja di koran tersebut, mau dibilang rancu ... ya, memang rancu. Tapi nggak bisa dibilang penipuan juga, soalnya Marine tahu betul kalau koran itu ekslusif, terlebih milik abangnya yang terpercaya. Ngomong-ngomong, kok ... agaknya Marine merasa familier, ya, dengan silabel nama di sana?
Tapi, mustahil.
Seorang Altarik yang Marine kenal nggak mungkin melakukan hal itu.
"Diangkat, Rin," bisik Rahee seraya memberi isyarat kepada Marine agar tidak menimbulkan suara.
"Selamat siang, apa benar ini dengan Pak Altarik?" Dengan harap-harap cemas Rahee menanti jawaban. Yang entah kenapa Marine juga ikut-ikutan berdebar. Deg-degannya nular.
"Ya."
Dijawab. Rahee spontan melirik Marine. Dadanya bergemuruh kencang, jantung berdentum nggak nyantai, seperti sedang dihadapkan dengan situasi diajak jadian sama Mas Pacar.Duh!
"Benar."
Detik itu juga mata Rahee berbinar. Berikutnya Rahee mengangguk kepada Marine. Mendapat jawaban seperti itu dari pihak Pak Altarik, si pemilik lowongan saja adrenalin Rahee terpancing.
"Lalu, begini Pak ... apa benar Bapak Altarik ini sedang membutuhkan pekerja wanita sebagaimana tertera di lowongan pekerjaan yang ada di koran eksklusif Radar Indo?"
Rahee sampai berkeringat dingin menanti kepastian. Ya ampun! Ini soal duit, ada sangkut pautnya sama duit, sedangkan Rahee adalah perempuan pecinta duit, lebih lagi dia sedang dan sangat butuh duit. Jadi, jangan heran kalau reaksinya demikian.
Namun, ....
"Lowongan?"
Lah, kok? Tidak sesuai dengan yang diharapkan. Rahee mengernyit. "Iya, lowongan--"
"Sebentar."
Yang langsung dipangkas dan diputuskan sambungan. Kernyitan kening Rahee semakin tajam. Dia tatap ponselnya kebingungan, lalu mendesah ketika sadar bahwa lowongan yang ada di koran itu pasti abal-abal. Memang dasarnya nggak mungkin banget, kan, ada lowongan semudah itu kriterianya?
Bahu Rahee turun seiringan dengan embusan napas pelannya. Lemas. Angan-angan tentang sumber duit untuk bayar utangnya menguap sudah.
"Kenapa, Ra?" Melihat itu, Marine penasaran. Dia simpan cat kukunya di meja, memilih fokus kepada sang kawan.
Rahee menggeleng. Meletakkan ponselnya di sofa. "Nggak tau nih, ngaco. Katanya sih bener dia Pak Altarik, namanya sesuai di koran, tapi lowongannya nggak meyakinkan."
Yang Marine tepuk pundak sobatnya sambil berkata, "Ya udah, belum rezekinya kali. Sabar, ya."
***
"Jadi benar kamu yang cantumkan nama dan kontak saya di koran eksklusif Radar Indo?"
"Gimana? Udah ada yang minat, Bang?"
Maka detik itu juga Altariksa Lorenzo menggeram keki di tempatnya. Memindahkan ponsel ke tangan kanan untuk digenggam dan ditempelkan dengan telinga kirinya. Kebiasaan Altarik saat teleponan.
Sedangkan sekretaris Altarik diam memerhatikan tindak-tanduk bosnya, di mana jam istirahatnya diundur gara-gara pencarian koran eksklusif yang berisikan lowongan kerja atas nama sang atasan. Kini sosok Altarik tengah mengomeli seseorang yang diduga sebagai pelaku kriminal, pencurian nama, untuk ditempatkan di koran itu.
"Kamu gila?"
"Alhamdulillah, waras walafiat."
"Jae--"
"Mending Abang terima aja. Jae sengaja sebar lowongan khusus buat kebutuhan Bang Al. Jae ini adik yang paling pengertian, kan?"
"Ndasmu!"
"Bang, c'mon! Jangan nolak kalo butuh."
Altarik mendengkus sejadi-jadinya. Gila nih Jaelani! Okelah, Altarik memang butuh, tapi nggak gini juga.
"Iya-in aja dulu, Bang. Abang cukup ketemu sama calonnya, seleksi, kalo cocok ... ya gebet."
"Kamu--"
"Inget, Bang. Wasiat."
Altarik mengumpat. Kalau bisa dia mau mengabsen penghuni kebun binatang, tapi hal itu malah akan merusak citra kalemnya. Maka tidak dia lakukan.
Sabar, Altarik, sabar.
Iya, sabar.
"Daripada dijodohin sama Tante Marlin, mending seleksi sendiri cewek yang datang, kan?"
Benar-benar mengumpat. Fix. Cuma Jaelani, adik kurang asem, yang bisa membuat pria sekalem Altariksa Lorenzo mengumpat. Lalu terputuslah panggilan. Altarik lagi-lagi mengumpat, detik di mana dia sadar pada apa yang jempolnya lakukan.
Sebuah pesan telah terkirim, parahnya sudah dibaca bahkan sebelum dia tarik ulang atau istilah w******p-nya 'hapus pesan'.
Tertera di sana:
Besok temui saya di alamat ini.
GPS terlampir.
Altarik pasti sudah gila, sama tidak warasnya dengan Jaelani si pencetus iklan lowongan atas nama dia. Ah, bagaimana ini?
Nasi sudah jadi bubur, gandum sudah jadi tepung. Yang Altarik pandangi dengan kesal hasil olahan jempol tidak berakhlaknya. Ya ampun! Kalau perlu sekali lagi ditegaskan, pesan itu telah dibaca, centang biru di sana, semakin membuat Altarik uring-uringan saja. Namun demikian, reaksi luar yang dia tunjukkan hanya mendesah, raut tetap datar meski hati sedang sibuk meresah.
***
Note:
Nama tokoh diubah LOKAL, jadi jangan kaget bagi yang sebelumnya sudah pernah membaca cerita ini.
Selamat datang di ISTRI SATU JUTA DOLAR versi Dreame, akan ada beberapa yang aku revisi (sebab versi sebelumnya masih banyak kesalahan), akan ada banyak extra part. Hppy reading dan nantikan, yaaa.
Jangan lupa klik love demi memasukkan cerita ini ke library. Thank you.