Tentang tugas yang Rere berikan, Rahee gagal. Lalu Rere ngamuk dan Rahee memilih mundur, capek dia. Plus malu duluan kalau harus kembali dipertemukan dengan Om Chandra. Gimana kalau nanti ujungnya Chandra jahat dan lalu ngajak main tiga lawan satu? Ya, mending. Kalau semisal Rahee dijadikan piala bergilir, bisa milih mati bunuh diri kan dia. Ngeri.
Di saat pusing kepala mikirin uang untuk kuliah, ini ibu kos malah ikut-ikutan jadi renternir. Miris sekali sih hidupnya dipeluk hutang!
Membuat Rahee uring-uringan dan lagi-lagi ingin menyerah. Mungkin jalan keluarnya cuma satu, yakni terima lowongan kerja jadi istri satu juta dolarnya Pak Altarik.
"Ya?"
Sangat Pak Altariksa Lorenzo sekali yang tidak suka basa-basi.
"Aku mau, Pak."
"Baik."
Dan panggilan diputus. Lihat! Singkat, padat, dan jelas, kan? Sudah seperti acara teleponan dalam hal pengiritan pulsa. Tapi baguslah, di sini kan Rahee mengorbankan pulsanya. Cuma masalahnya, lalu kalau sudah setuju begini Rahee harus apa? Dan yang paling penting, kapan Rahee dapat uang?
Ah, sudahlah. Mending Rahee tidur sekarang. Tapi sebelum itu dia akan gosok bibir dulu sesuai ikrarnya.
***
Chandra, 30 tahun. Kai, otw 30. Altarik, sama dengan Kai. Yang paling genting di sini itu Chandra, jadi dia nggak akan menolak perjodohan. Tapi baru saja mendapat pesan dari pihak perempuan bahwa dia mau menerima perjodohan itu dengan satu syarat, yakni: tidak mau segera menikah.
"Kayaknya harus nyari cewek lain deh."
Kai yang sedang konsentrasi penuh pada ponselnya—mencari kontak perempuan baik-baik untuk dia ajak berkomitmen—kini menoleh kepada abangnya.
Lain hal dengan Altarik yang masih jadi patung—manusia fisik sempurna tengah membaca koran eksklusifnya—sama sekali Altarik tidak tergerak, hanya bola matanya saja yang bergulir kiri kanan pertanda bahwa dia sedang membaca.
Tiga bujang lapuk itu tengah berkumpul. Jarang-jarang mereka ada dalam satu perkumpulan di rumah utama, biasanya mereka singgah di tempat tinggal masing-masing.
"Ternyata nyari cewek susah, ya?" imbuh Kai.
Chandra menyesap sampanye-nya. "Gampang sebenernya, cuma kriteria kitanya aja yang terlalu tinggi. Karena di sini ... lo nggak mungkin kan ngincar cewek yang nggak jelas bibit, bebet, bobotnya? Terutama soal wajah, harus cantik biar kalo diajak jalan nggak malu-maluin."
"Iya. Kan nyari istri nggak mungkin sembarangan kayak nyari pacar yang tujuannya cuma buat pengisi kekosongan," sambung Kai sepemahaman.
Altarik masih diam.
"Tapi kenapa lo mau dijodohin, Bang?" Kai kembali bertanya untuk Chandra.
Dan pria itu terkekeh. "Biasanya pilihan orang tua itu nggak mungkin kasih yang buruk, kan? Karena orang tua nggak menjerumuskan—"
"Tapi yang dijodohin sama saya itu Tante Marlin, tau segimana buruknya beliau, kan?" sambar Altarik.
Yang ada di sana terkesiap, tapi berikutnya Chandra dan Kai serempak ngakak. Ah, siapa sih di keluarga itu yang nggak tahu Tante Marlin? Cewek beranak satu yang hobi ganti-ganti suami dan pakaiannya super seksi. Ya mending kalau masih pada masanya, mungkin pakaian seksi akan terlihat pantas, tapi kan Tante Marlin ini sudah lumayan tua—anaknya sudah menikah.
"Mungkin baiknya, dia itu yang paling sayang sama lo kan, Al?"
Altarik kembali diam.
"Tante Marlin nggak akan nyakitin lo."
Tetap diam.
Kai terus-terusan buka kartu. "Ya senggaknya, dia nggak bakal kayak tunangan lo."
Alasan mengapa Altarik tidak suka buang-buang waktu, alasan mengapa pribadinya jadi sekeras batu, alasan mengapa mulutnya kehilangan minat bicara dan inginnya langsung ke inti. Semua yang terjadi di Altarik, alasannya berpusat di sana.
"Eh, udahlah. Mending kita gotong-royong aja nyari istrinya. Biar cepet dapet. Gimana? Kalian ada kenalan nggak?" tanya Chandra alihkan pembicaraan.
Kai mengerling. "Koneksi jalang? Cewek mata duitan? Banyak. Lo mau, Bang, yang kayak gitu?"
Yang langsung mendapatkan toyoran. "Lo kalo main jangan di tempat suram makanya, Kai!" Chandra terkekeh sebelum kemudian lanjutkan, "Kenapa kita nggak nyari jodoh di perusahaan Altarik aja, sih? Di sana pasti—"
"Jangan," pangkas Altarik seraya menutup koran kesukaannya, menatap dua abangnya bergantian. "Nanti kerja mereka nggak profesional. Silakan cari jodoh di tempat lain aja."
Dan setelahnya Altarik pergi. Dia akan pulang, tapi gagal karena Marine hadang. Kai dan Chandra mencibir atas larangan cari jodoh di perusahaannya barusan.
"Nginep di sini dong, Bang, sekali-sekali," pintanya.
Kelemahan Altarik hanya satu, yakni bocah ini. Si bungsu yang tidak mengenal ibu sebab ibu mereka meninggal saat melahirkan Marine. Tanpa berucap apa-apa lagi, Altarik ngeluyur. Tapi bukan ke luar, dia berjalan memasuki kamar yang diberi angka 9 di pintunya.
Di mana kemudian Jaelani lewat, mampir di hadapan Marine yang tersenyum selebar boneka annabelle.
"Bang Al nginep?"
Marine mengangguk. Yang Jae respons, "Tumben."
Memang. Hanya Altarik yang jarang sekali nginap di rumah utama. Maka rencana Marine untuk menjodohkan Bang Jae dengan sobatnya pasti berhasil. Karena dengan adanya Altarik, Jaelani nggak mungkin bisa menolak inginnya Marine. Analoginya, Jae ini bak anak anjing yang patuh dengan induknya kalau itu dihadapkan dengan Altarik meski hanya lewat tatapan mata.
Maka langsung saja Marine hubungi Rahee. Begini bunyinya, "Besok ke rumah gue ya, Blay!"
Jablay. Panggilan sayang.
"Hm."
Pasti Rahee sudah tidur, tapi terbangun gara-gara telepon darinya.
"Jam tujuh, awas lo telat! Sumber duit lo melayang entar. Besok pagi gue ingetin lagi."
***
Kalian tahu nggak gimana rasanya jetlag mendadak padahal tidak habis naik pesawat?
Yakni bangun pagi karena pekikan ponsel, lalu disuruh cepat-cepat datang ke rumah orang dan jangan sampai terlambat, membuat sasah—atau istilahnya nyawa belum terkumpul semua—tapi raga sudah pontang-panting untuk urusan dunia. Sebab Rahee mendengar kata duit di sana ketika Marine menyuruhnya datang pagi ini.
Kemudian setibanya di sana, habis lari ngos-ngosan gara-gara nggak punya ongkos kendaraan sebab Rahee belum gesek kartu ATM, lagi pula jarak kosan ke rumah Marine kan dekat, jalan kaki juga sampai ya walau memakan waktu.
Dan hal terparah yang membuatnya jetlag mendadak adalah ...
"Masuk! Bang Jae udah nungguin."
Marine. Ya, metode pertama membuat Rahee pening. Kenapa tiba-tiba dia ditunggui oleh abangnya? Asal kalian tahu saja, Rahee naksir abang Marine yang itu. Dan hanya Marine yang tahu, tapi Rahee pikir Marine nggak akan sesontoloyo ini.
"Eh, Rin, bentar!"
Rahee panik. Ayolah, dia sedang berantakan. Kenapa Marine nggak bilang kalau di rumahnya ada Jaelani? Kan Rahee bisa persiapan dulu pakai baju terbaik di lemarinya, bukan malah kaos putih kebesaran dibalut jaket boomber dan celana training! Atau senggaknya Rahee dandan dulu, pakai minyak wangi dan sebangsanya.
Sebab setahu Rahee, jam tujuh di hari selasa itu biasanya Jae kuliah pagi. Dan rumah Marine akan kosong. Tapi kok sekarang—
"Bang."
Pemikiran Rahee terpangkas, entah kapan dia sudah ada di hadapan Jae--yang membuat pipi Rahee merona--tapi jantung terjun ke lambung begitu tatapannya menemukan tiga orang lelaki dewasa berkumpul juga di sana.
"Ini Rahee—temen aku—yang tadi aku ceritain. Dia ..."
Blur seluruhnya, suara Marine mengabur seketika dari pendengaran Rahee. Ada Jaelani yang menatapnya, tapi hal itu jadi tidak menarik di mata Rahee sebab ada yang paling mengerikan mencuri atensinya. Yang mana di sana ...
"Jauh-jauh dari adek gue, sialan!"
Cowok sawo matang yang kemarin Rahee gagalkan acara lamarannya dengan—OH TIDAK!
"Abang!"
Abang katanya. Rahee memandang Marine ngeri.
"Lo kenal cewek ini, Kai?"
Tambah ngeri saat suara lain menyeret atensi Rahee padanya. Yang kian melotot. Juga nampaknya kaki Rahee sedang bermetamorfosis menjadi jeli.
"Nggak. Tapi dia ini lesbi!"
Lemas. Ya ampun! Rahee lemas.
"Lesbi?"
Tambah lemas saat gumaman Bang Jae mengudara. Astagfirullah ... cowok pujaannya—oh!
"Ngarang lo. Dia ini cewek pecinta batang jumbo."
Mampus Rahee! Semakin tak terkendali. Semua darah di tubuhnya seakan disedot ke dasar bumi saat itu juga. Apalagi ketika ...
"Bisex maksudnya?"
AMPUN, TUHAN! AMPUN! Pekikan nelangsa batinnya yang suci. Di mana sumber duit satu juta dolarnya ikut-ikutan ngerumpi di sana. Tapi kok bisa mereka—
"Abang, udah!"
Abang.
Iya. Abang.
Lagi, abang katanya.
"Kalian tuh kenapa, sih!"
Yang mana tatapan Rahee ke Marine horor sekali. Dia menggeleng tanpa sadar, lalu bibirnya terbuka dan terkatup lagi. Sedang kaki main undur-unduran, alias mundur teratur sebelum kemudian kepentok sofa dan terduduk di sana tepat di saat semua lelaki yang ada memandang—menyudutkannya.
"Dia ini yang nyium cewek gue kemarin."
Jiwa batin Rahee maraung-raung.
"Bukannya lo ini Rere jodoh gue yang katanya nggak suka cowok amatir, lalu pencinta ukuran tanda kutip kami yang besar, dan pernah main tiga lawan satu?"
Mati, Rahee, mati aja udah! Rahee hanya bisa geleng-geleng kepala, tapi mulut mendadak nggak ada fungsinya. Tenggorokannya tercekat. Ngeri.
"Kalian ngaco, ya!" misuh Marine yang merasa paling waras di sana. "Jangan gitu dong, Rahee ketakutan tuh!" omelnya sambil membantu sang sobat agar berdiri tegak. "Udah, Ra, jangan di dengerin. Mereka somplak soalnya."
Tapi sekeras apa pun Marine menyangkal, detik di mana Altarik berucap, "Dia ini Rahee."
"Ya terus kenapa kalo Rahee?!" Seolah memberi peringatan kepada abangnya yang satu itu untuk—
"Calon istri saya."
Detik itu pula Marine lepaskan cekalan tangannya dari lengan Rahee. Kembali Rahee terduduk lemas di sofa. Separah itu jetlagnya.
Yang mana Marine menyerbu abang nomor sembilannya untuk dia pukuli. Lalu teriak kepada Altarik yang bunyinya, "DIA RAHEE TEMEN AKU YANG NAKSIR SAMA BANG JAE DAN MAU AKU JODOHIN SAMA DIA, BANG AL JANGAN NIKUNG DONG!"
Hal yang membuat Rahee pingsan—ah, nggak—dia tidak selemah itu, tapi Rahee tetap memilih pura-pura pingsan demi menyelamatkan rasa malunya yang digerus halus oleh keluarga mereka.
Fix. Rahee mampus. Secepat itu dia dihadapkan dengan karma. Bayangkan saja, ada cowok yang Rahee taksir di sana. Tapi cowok itu lebih dulu menyaksikan sisi buruknya. Ilfeel duluan kali Jaelani. Belum lagi Tuan si pemilik satu juta dolarnya, tahu begini kelakuannya bisa-bisa melayang kesempatan Rahee untuk jadi kaya dadakan.
Dan yang paling penting, kenapa dari sekian banyak laki-laki di dunia, dari jutaan penduduk Ibu Kota, kenapa harus mereka yang jadi abangnya Marine, sih?!
***