Tahap pertama: gagal.
"Emang dasar ngebet pengin dikawin, masak aja keasinan. Segitu udah Altarik bantuin juga, nggak becus."
Begitulah penilaian dari juri utama, Dion. Yang lain mah santuy-santuy saja. Sudah tahu asin, ya tidak lanjut dimakan, tidak pula dikomentari kejam, cukup dengan: Coba lagi nanti, ya. Semangat!
Hingga kini Rahee benar-benar digedur, disuruh bisa masak. Ya Gusti! Salah naon coba Rahee teh? Salah apa dia tuh? Pokoknya nanti lihat saja ketika Rahee sudah jadi istri Mr. Altarik, lihat! Lelaki bernama Penicylin Dion Kusuma itu Rahee tandai. Dendam kesumat dia, sungguh.
Sekarang saja jadwalnya Rahee ke pasar, harus bin wajib ke pasar, tidak boleh ke supermarket. Katanya, disuruh latihan nawar macam emak-emak supaya kalau belanja tidak meledug kehabisan uang. Intinya Rahee disuruh ngirit, padahal kan Mr. Altarik YTH banyak duit. Dasar Bang Dion pelit!
"Kamu udah mencatat apa-apa aja yang perlu dibeli kan, Ra?" tanya Mr. Altarik.
Ah, iya, Rahee ditemani. Itu semua berkat saran Bang Umin yang paling penuh kasih dan pengertian terhadap Rahee. Beda dengan Mr. Iblis Dion Kusuma. Huh! Sebal Rahee sama beliau.
"Udah kok, dikasih catatan belanja sama Bang Iblis."
Kontan Altarik menoleh, mempertanyakan siapa gerangan yang Rahee sebutkan, yang Rahee jawab, "Abangnya kamu tuh, Bang Dion. Kejam dia. Gak suka."
Rahee menggembungkan pipinya. Sedangkan Altarik terkekeh, dia mengacak rambut Rahee. Lalu menggandeng tangan perempuan itu setelah sebelumnya berbisik, "Jangan geer, saya takut kamu nyasar di pasar."
Yang Rahee cibir.
"Kamu panggil saya Abang aja, Ra. Ke Bang Umin yang anaknya empat juga kamu manggilnya Abang, masa ke saya yang calon suami dipanggil Bapak?"
"Bang Altarik, gitu?"
"Hm. Lebih enak didengar."
Mereka malah pacaran. Sepanjang jalan Rahee sebut-sebut kata 'abang' dengan nada ledekan. Lalu mencolek-colek pinggang Mr. Altarik sambil nyanyi, "Abang-Abang tukang bakso, mari-mari sini. Aku mau—haha! Iya, ampun!" Sebab Mr. Altarik malah menjepit leher Rahee dengan lekukan lengannya, siku-siku.
"Mana sih yang jual kerang, kok nggak ketemu-ketemu?" gumam Altarik. Sejak dekat dengan Rahee, Altarik jadi banyak bicara walau masih saja formal di beberapa kata.
"Kita nyari daun bawang dulu deh, Mister."
Sudahlah, Altarik capek. Terserah Rahee mau manggil dia apa. Terserah!
Kemudian mereka tiba di pedagang sayur dan bumbu dapur. Rahee mulai memilah dan tanya-tanya harga.
"Bawang merah sekilo berapa, Bu?"
"Empat puluh tiga ribu, Neng."
"Buset, mahal banget!" Rahee kemudian melirik Mr. Altarik YTH yang matanya memicing sedang memilih sayuran mana yang menurut dia paling segar. Jadi ceritanya, Dion memerintah Rahee masak sayur sop kerang.
"Itu harga pas, Bu?"
Benar-benar gak bisa nawar. Rahee meringis. Gimana sih cara tawar-menawar yang baik dan benar ala ibu-ibu di pasar?
"Bisa kurang kok, Neng. Kalo beli seperempat harganya jadi lebih murah."
Yah, dikata Rahee guoblok kali, ya. "Dua puluh tiga ribu sekilo ya, Bu."
"Nggak bisa, Neng. Emang mahal dari sananya."
"Ya udah, tiga puluh ribu deh."
"Setengahnya ya, Neng."
Dan langsung Rahee tarik tangan Mr. Altarik, membuat cowok itu terkesiap. Rahee berdecak, "Udah ah jangan beli di sini, mahal."
Yang mana sepanjang jalan Rahee misuh-misuh. "Gini nih kalo belanja di pasar, yang jual suka sengaja naikin harga. Nggak berkah tuh dia nyari duit!"
Padahal mungkin memang harganya segitu, di pusatnya mungkin memang sedang naik, penjual pun untungnya tidak seberapa. Tapi ya ... mungkin beda kalau oknum.
"Bener-bener, deh. Harga bawang nggak ada akhlak!"
Yang Altarik rangkul pundak Rahee, mengusapnya. Untung jalanan cukup untuk mereka lewati secara rendengan. Altarik pun menjawil hidung Rahee ketika cewek itu nggak berhenti nyinyir, hingga pada akhirnya nyinyiran Rahee teralihkan.
"Apaan, sih, pegang-pegang!"
Altarik tertawa. "Itu ada yang jual kerang, yuk kita ke sana! Kamu marahnya di rumah aja, Ra. Saya dengerin."
Ih, nyebelin. Pipi Rahee panas jadinya. Mendadak jinak dan malu-malu kucing sampai transaksi jual beli kerang pun Mr. Altarik yang lakukan. Rahee diam saja.
Dengan demikian akibatnya: no nawar-nawar club.
***
Setibanya di rumah, Altarik meletakkan belanjaan di meja dapur. Lalu Rahee yang merapikan satu per satu ke kulkas. Sedangkan Dion datang menagih nota belanja.
Ketahuilah, Dion hafal betul harga-harga belanjaan yang standar. Dia ahli tawar-menawar. Semua itu sudah terlatih sejak orang tua mereka meninggal, ketika Marine baru lahir. Dion lah yang berperan jadi ibu untuk saudara-saudaranya. Karena jika tidak begitu, keluarga mereka pasti kacau. Saat itu belum terlalu berjaya.
Dion mendengkus. Menatap Rahee jengah, yang juga balas menatapnya. "Besok-besok diajarin belanja sama Bang Banyu, dia juga jago nawar."
Karena Banyu duda anak satu, ditinggal istri meninggal dunia. Banyu sangat mencintai istrinya, makanya sampai sekarang dia belum ada keinginan untuk beristri lagi, meski sering godain anak orang. Itu hanya ajang menghibur diri dari kerinduannya kepada mendiang istri. Jadilah Banyu berperan sebagai ayah sekaligus ibu untuk putranya, yang kini sedang dititipkan di ibu mertua.
"Terus entar sore belajar masak sama gue, lo hafalin aja dulu bumbu dapurnya," kata Dion lagi. Cara bicaranya mulai lo-gue, tidak menjaga imej seperti saat pertama kali bertemu Rahee.
Barulah Rahee embuskan napas lega, kali ini tidak dimarahi. Setelah bicara begitu Bang Dion langsung pergi. Ah, iya, Rahee nginap di rumah itu. Kalau malam giliran Mr. Altarik yang tidak di sana, diasingkan di kediamannya sendiri. Sebenarnya siang pun harusnya Altarik tidak ada di sekitar Rahee—jika mengikuti alur karantina yang Dion ciptakan—sejenis dipingit.
Namun, Bang Umin ikut turun tangan di beberapa bagian, dia memberikan argumennya: Justru Rahee sama Altarik harus dideketin biar timbul benih-benih cinta, jadi misinya nggak sebatas melatih jiwa rumah tangga Rahee aja.
Diam-diam di belakang Altarik dan Rahee, seluruh abang-abangnya Marine mengadakan perundingan amat penting.
"Kamu tadi beli getuk nggak, Ra?"
Makanan berbahan dasar umbi-umbian itu Altarik tanyakan.
"Beli. Cari aja di plastik merah."
Sebab Rahee sedang sibuk dengan isi di plastik putih, memindahkannya ke kulkas, sejenis buah-buahan, pokoknya yang tidak dicatat oleh Dion pun dibeli. Bersyukur sekali lelaki itu tidak marah.
"Al, maneh nggak ke kantor?" tanya Bang Banyu memecah obrolan di antara Rahee dan Altarik.
Altarik menoleh, dia sudah menemukan getuknya dan sedang dimakan. Altarik duduk di atas meja dapur. Dasar Mr. Altarik!
"Nggak, Bang."
"Aih, tibalik maneh mah!" Terbalik, katanya. Banyu lama tinggal di Bandung, jadi bahasanya sedikit campur aduk. "Aturan nih, ya, calon panganten teh giat nyari duit. Bukannya malah malas-malasan."
"Iya, besok saya kerja."
"Atuh naha kerjanya harus nunggu isukan?! Sing rajin jadi jelma mah, Al. Istilahnya mah, maneh cindeten di Ibu Kota, orang lain mah udah hiber ka Amerika."
Rahee meringis menerjemahkan. Isukan itu artinya besok, kan? Dalam hati mengulang apa yang Bang Banyu katakan, yakni: Kenapa kerjanya harus nunggu besok? Yang rajin jadi orang tuh, Al. Istilahnya nih, kamu diem-diem bae di Ibu Kota, sedangkan orang lain udah terbang ke Amerika.
"Neng Rahee."
Terkesiap. Rahee yang sedang melipat plastik kosong pun menoleh kepada Banyu, sedang Mr. Altarik diam saja.
"Jangan mau dikawin sama ini bocah kalo nggak ada semangat usahanya, ya! Kanggo naon atuh lalaki kawas kitu mah. Piceun wae piceun!"
Iya, buat apa atuh cowok kayak gitu mah. Buang aja buang! Kira-kira seperti itu terjemahannya, yang Rahee rangkai dalam hati. Buset dah, lama-lama butuh penerjemah dia.
"Iya, Bang."
"Santai aja, Bang, di sini saya bosnya." Altarik pun turun dari meja dapur. Membuat Banyu nyinyir part sekian yang bunyinya, "Sintiy iji, Bing, di sini siyi bisnyi. Hilih, kintil! Makan tuh jabatan!"
Rahee terperangah. Bisa begitu, ya? Menatap sosok Bang Banyu yang ngeluyur meninggalkan dapur, lalu kembali menatap Mr. Altarik yang mendengkus.
"Ya udah, Ra, saya mau siap-siap ke kantor," putus Altarik pada akhirnya. Rahee mengangguk. Toh, dia tidak melarang cowok itu atau apalah-apalah sampai mengharuskannya bolos kerja.
Yang mana di balik layar, tanpa mereka tahu, sosok Banyu mengacungkan jempolnya kepada sang adik, Dion. Yakni tahap kedua menguji calon istri Altarik akan dimulai hari ini, di mana Altarik tidak di sana.
Mantap.
"Jangan galak-galak sama Rahee, Bang," bisik Marine yang sembunyi di balik punggung Dion.
Mereka tengah mengintip Rahee yang menghafal nama bumbu dapur. Altarik sudah pamitan tadi dan tidak mencium aroma-aroma b*****t dari para saudaranya. Bagus.
Dion sudah mengatur semuanya, dimulai dari kepulangan Samudra hari ini yang Dion tugaskan untuk datang lagi membawa serta istri dan anaknya. Nanti, Rahee akan Dion didik mengurus bayi.
Kemudian dia sudah atur strategi dengan para ponakan nakalnya macam anak-anak Bang Lei. Nah, tunggu tanggal mainnya nanti Rahee akan Dion suruh untuk menjaga balita kembar tiga.
Belum lagi konspirasi dengan istrinya Bang Chen yang sedang hamil. Nanti akan ada saatnya Rahee diberi teori hamil oleh beliau. Ah, Dion sudah tidak sabar. Sangat tidak sabar untuk melihat repotnya calon bini satu juta dolar punya adiknya.
Dan yang paling akhir, Dion akan menugaskan Jae. Tugas keramat yang menentukan kelulusan Rahee. Kita lihat saja nanti.
"Kalian lagi ngapain?"
Baik Marine, Dion maupun Banyu menoleh dan menempatkan jari telunjuk mereka di bibir sambil bilang, "Ssstttt!"
Kai yang semula menguap sampai merapatkan lagi mulutnya. "Ada apa?" tanyanya tanpa suara.
Lalu Banyu langsung menarik lengan Kai dan menempatkan di belakang tubuhnya seraya berbisik, "Lagi ngerjain calon istri Altarik, mau gabung?"
***