Kan!
Kemana Pram sampai tidak bisa menjawab teleponku? Tak membalas pesan yang kukirim? Demi Tuhan, ini masih pagi kalau dia harus pergi tanpa membawa ponsel.
Raja dari tadi terus menangis, menolak untuk kuberi ASI. Aku tidak mungkin menganggu Ibu pagi-pagi begini. Semalam, Ibu sudah ikut begadang menjaga Raja yang rewel. Beliau baru bisa tidur sekitar pukul satu malam. Sementara aku baru bisa memejamkan mata pukul tiga pagi. Dan, harus bangun lagi untuk salat subuh.
Betapa menyedihkannya waktu tidurku!
Me: Raja nangis terus
Me: Dia nggak mau nyusu
Tak ada balasan.
Aku kembali mencoba menghubunginya, tetapi tetap tak dijawab. Berengsek! Kemana lelaki itu pergi di pagi hari begini? "Cup, cup. Hei, ini nenennya. Sayaaang, Mami capek. Please? Udah, ya, nangisnya. Ini nenen dulu." Sialan! Kenapa air mataku harus hadir di saat seperti ini? Aku lelah. Sangat lelah, Tuhan. "Raja sayang Mami? Iya? Kalau gitu nggak boleh nangis. Nanti kita ke Dokter, ya?"
Tubuh Raja memang hangat. Sepertinya dia flu. Tuhan, tolong ... biarkan aku saja yang merasakan sakitnya. Raja bahkan tidak bisa mengatakan apa yang ia keluhkan dan butuhkan.
"Gimana Raja, Ra?"
Aku mengelap air mata, lalu menoleh ke arah pintu. Ibu berjalan mendekat, bajunya sudah ganti dan dia terlihat lebih segar. "Masih nggak mau nenen. Mungkin pahit mulutnya."
"Biar Ibu yang gendong. Kamu mandi." Ibu mengambil Raja dari gendonganku. Menepuk-nepuk paha si Gembil. "Jangan nangis lagi." Saat kupikir kalimat itu ditujukan untuk Raja, ternyata Ibu sedang menatapku. "Ibu udah telepon Mbak Ijas buat dateng lebih pagi. Bentar lagi dia sampai."
Aku mengangguk.
"Mandi, gih!" Tangannya terulur mengelus kepalaku. Membuat air mataku justru semakin tumpah.
Seharusnya ada suami siaga saat aku membutuhkan kehadirannya. Bukan Ibu mertua. Seharusnya ada suami yang memahami betapa sulitnya merawat bayi. Bukan malah Ibu mertua.
Tetapi Tuhan mungkin masih ingin melihat sejauh mana aku mampu menjaga amanahnya. Amanah yang selalu kupinta di setiap kesempatan. Aku tak pernah berpikir, kalau menjadi seorang ibu akan sesulit ini.
Lihatlah, mataku seperti panda. Kulit wajah kusut. Aku terlihat seperti perempuan tak terawat di cermin itu.
Begitu keluar kamar mandi, aku melihat Ibu sedang menimang-nimang Raja. Ia juga bernyanyi lirih. Aku tidak mendengar lagu apa yang ia nyanyikan.
"Udah?"
Aku mengangguk.
"Kayaknya kita harus ke Dokter aja, deh, Ra. Takutnya nanti Raja ndak bisa napas."
"Iya sebentar. Ra pakai kerudung dulu."
"Nanti aja. Sehabis sarapan. Kamu juga butuh banyak asupan."
Kembali, aku menuruti ucapan Ibu. Berjalan ke kasur untuk melihat apakah Pram membalas pesanku atau tidak. Dan harusnya sudah bisa kutebak, agar aku tak kembali kecewa. Tak ada notifikasi pesan darinya. Hanya dari beberapa teman dan Bunda.
Aku membuka i********:, menulis di Insta Story, meluapkan rasa kecewaku. Begitu kembali ke beranda, mataku langsung melebar melihat postingan Pram lima puluh delapan menit yang lalu.
Begitu kembali ke beranda, mataku langsung melebar melihat postingan Pram lima puluh delapan menit yang lalu
Pra.Nat Akhirnya bisa foto bareng.
View all 56 comments
(@)Adinda_ Dih, bisa foto bareng lu! Anjir gue yang nunggu dari kapan tau
(@)Asita56 Anying uga lau. Pake batik gitu idaman banget yaaakk
(@)Fitryani123 Njiirrr kakinya jenjang bet kayak (@)HarryStyles
(@)Zahraa Kenapa siiiihh ganteng terusa kamu maasss
Oh.
Begini rupanya? Menarik napas sedalam mungkin, aku meletakkan ponsel di atas kasur kembali. Kalau saja tidak ada Ibu, aku tidak tahu bagaimana bentuk ponselku saat ini. Menjadi kepingan mungkin? b******n. Aku ingin marah, melampiaskan semuanya.
"Permisi. Bu, sarapannya udah mateng." Mbak Ijas muncul dari balik pintu.
Aku diam. Persetan dengan kesopanan yang selalu Pram beritahu. Persetan dengan semua petuahnya kalau orang lain tidak boleh mengetahui saat kita sedang marah. Dia gampang mengatakan itu, sebab dia tak pernah merasa kesal. Dialah yang selalu membuat orang kesal.
"Iya, Mbak. Nanti kami turun." Ibu menjawabnya. Setelah itu Mbak Ijas mengangguk dan kembali menghilang.
"Makan sekarang, Ra?"
"Iya, sebentar." Aku berdeham, berusaha menutupi suara sumbangku karena menahan tangis. "Ibu duluan aja, nanti Ra nyusul."
Ibu mengangguk. Kemudian berbalik sembari membawa Raja dalam gendongannya. Bayi itu sudah tidak menangis lagi. Apa dia tahu kalau suasana hatiku sedang tak baik, itulsh kenapa dia rewel saat di dekatku?
"Ibu?"
"Ya?" Beliau berhenti melangkah, menoleh ke arahku.
"Tolong jangan bilang Pram kalau kita mau ke rumah sakit."
Ibu tersenyum, kemudian mengangguk tanpa bertanya kenapa. Itulah Ibu metuaku. Selalu paham apa yang kuinginkan tanpa berniat ikut campur terlalu jauh.
Bermainlah sesukamu, Pram. Itu dunia untukmu.
.
.
.
Aku sedang menunggu Ibu di mobil bersama Mang Bilal. Ibu memintaku tetap di dalam mobil, sementara dia ke apotik dekat rumah sakit.
Dokter bilang apa yang dialami Raja ini biasa juga dialami bayi lain. Tidak mau minum ASI, karena sulit bernapas. Bahkan, sekarang ingusnya sudab mulai kelihatan. Aku ingin menangis melihat bagaimana Raja tidur dengan mulut terbuka. Dia pasti kesulitan.
Ya Tuhan, aku ingin menggantikan sakitnya.
Suasana hening.
Jika biasanya aku akan mengoceh tentang apa pun dan Mang Bilal akan menjawab seadanya. Kini, aku sama sekali tak punya keberanian untuk bersuara. Aku takut yang keluar justru amarah. Mang Bilang jangan sampai menjadi korban pelampiasan.
Untuk itu, aku memilih membaginya lewat media sosial. Bukankah hanya itu yang bisa dilakukan oleh perempuan sepertiku?
Raa_
Rumah Sakit Bunda Mulia
Raa_ Rumah Sakit Bunda Mulia
Raa_ Cepet sembuh Sayang. Mami sayang Raja.
Aku memasukkan ponselku kembali ke dalam tas. Biasanya, yang komen selalu banyak kalau aku memgunggah foto Raja. Dan, hatiku kembali teriris mengingat ekspresi Raja saat tubuhnya sehat. Raja bisa tertawa lebar, meskipun jarang.
"Dapet semua, Bu?" tanyaku, saat melihat Ibu sudah kembali.
"Iya. Udah, yuk, langsung pulang?" Beliau membenarkan posisi duduknya. Lalu, meminta Mang Bilal untuk menjalankan mobil.
"Kamu yang minum obatnya, ya?"
Aku mengangguk.
"Nggak apa-apa. Wajar, kok, pilek begini. Nanti juga sembuh." Elusan Ibu di lenganku terasa hangat. Sedikit membantu mengurangi rasa sedih. "Dulu, Dhea malah sebulan sekali pasti ke Dokter. Sirup hampir nggak pernah absen."
"Tapi Bapak selalu ada di samping Ibu?"
Beliau diam. Tak lama tawa kecil muncul. Aku tahu Bapak adalah suami siaga yang tak akan membiarkan istrinya dalam kesulitan. Bahkan, aku ingat Ibu pernah mengatakan Bapak rela resign dari kantor dan mencari pekerjaan yang lebih dekat dengan rumah.
Apa Pram berani melakukan itu untukku?
Seperti ilusi saja.
"Dulu, pekerjaan Bapak ndak kayak Pram gini. Jadi, Bapak bisa punya waktu banyak buat Ibu." Ibu mengelus kepalaku. "Nanti diobrolin sama Pram soal membagu waktu."
Tidak perlu.
Pram selalu punya alasan yang bisa membuat aku terlihat salah. Pram akan selalu menang.
Itulah hukum pernikahan kami.
Sesampainya di rumah, aku langsung membawa Raja ke kamar untuk menidurkannya di boks. Matanya terpejam sempurna, mengundangku agar mengecupnya. "Mami sayang Gembil. Sayang banget." Monologku terhenti, saat dering ponsel menginterupsi. Aku melangkahkan kaki, mengambilnya dari dalam tas.
Grup chat.
Mika: Gembil sakit apaaaa?
Me: Kayaknya mau pilek. Nggak mau nenen.
Marsya: Jangan minum es dulu elonya, Mel. Jangan sering-sering mandi keramas apalagi keujanan.
Mika: Yaah, abis puasa lama si Pram pasti getollah, Sya.
Aku tertawa kecil. Mereka berdua kadang bisa menjadi pelipur kesedihan.
Me: LOL
Mika: Gue pengin jengukin. Tapi Iyya belum pulang sekolah
Me: Nggak papa kok, Tante. Besok juga sembuh. Doain Gembil yaaah.
Marsya: Dedek Gembil cepet sembuh, biar bisa main smaa Abang.
Me: Makasiiiih.
Sepanjang hari itu, kuhabiskan hanya di dalam kamar bersama Ibu dan Raja. Bahkan, Mbak Ijas harus mengantarkan makan siang untukku, sedang Ibu memilih turun.
Papamu lupa rumah, Sayang. Padahal jadwalnya dia pulang malam ini.