“Hai Gadis Nomanden, ke kantin yuk” ajak Kheanu.
Athena bingung, kemudian melihat ke arah Deandra yang kini menjadi teman sebangkunya. Deandra tidak kalah bingung.
“Maksud lo apa sih?” tanya Deandra pada Kheanu.
“Gue ngajak Athena ke kantin” jawab Kheanu santai.
“Gadis Nomanden?” Athena bertanya sekali lagi, memastikan bahwa kata-kata tersebut ditunjukkan untuk dirinya.
Kheanu mengangguk. “Ya, hidup lo kan berpindah-pindah terus, kaya orang jaman dulu, manusia nomanden!” jelas Khaenu semangat.
“Ya tapi kan jangan dipanggil Gadis Nomanden juga kali, nama gue tuh Athena, a-t-h-e-n-a.”
“Gue maunya manggil lo itu, gimana dong?”
“Ih ngeselin!” Athena memanyunkan bibirnya, membuat pipi cabinya terlihat lebih lucu.
“Aduh udah deh Na, segala Kheanu lo urusin. Dia kan manusia super rese di kelas ini, satu paket sama Panji dan Dimas!” maki Deandra.
Deandra memang benar-benar sudah kebal dengan sikap ketiga lelaki itu, bayangkan saja, mereka sudah sekelas sejak kelas sepuluh.
“Yeh jangan ngedoktrin Athena dong.” Kheanu tidak terima dia dan dua sahabatnya dijelek-jelekan di depan anak baru.
“Biarin aja, wleee! Ayo Na, kita ke kantin.” Deandra segera menarik tangan Athena sebelum Kheanu melancarkan aksinya.
Kini mereka berdua sudah tiba di kantin sekolah. SMA Pelita Bangsa hanya memiliki satu kantin yang terletak di lantai dasar. Namun meskipun hanya satu, luasnya mampu menampung seluruh siswa yang ada di sekolah ini. Ada sekitar dua puluh lima pedangang yang berjualan, dari mulai makanan ringan sampai minuman kekinian. Di jam istirahat seperti ini pengunjung kantin sudah pasti membeludak.
“Lo mau makan apa?” tanya Deandra yang kini sudah mendapatkan tempat duduk untuk kami berdua.
“Gue apa aja deh, gue kan belum tau di sini ada apa aja.”
“Gimana kalau kwetiau?”
“Boleh. Gue pemakan segala kok” Athena nyengir, memamerkan jajaran gigi rapinya.
“Oke. Tunggu sini bentar ya”
Tidak sampai lima belas menit Deandra sudah membawa dua piring kwetiau serta dua botol air mineral. Terlihat sekali bahwa ia kesulitan membawanya. Ketika hendak membantu Deandra, langkah Athena berhenti, saat itulah seorang lelaki tidak sengaja menabrak Deandra hingga salah satu kwetiaunya tumpah.
“Aduhh gimana sih” Deandra yang saat itu sedang kewalahan jadi mengeluh tak karuhan.
“Sorry, gue bener-bener gak sengaja” lelaki itu mengambil piring plastik yang kini sudah tergeletak di lantai.
“Kalau jalan gak usah buru-buru dong, kan bahaya”
Athena yang melihat kejadian tersebut langsung menghampirinya. Ia tahu lelaki yang menabrak Deandra adalah lelaki yang mengantarkannya ke ruang kepala sekolah tadi pagi.
“De, udah, udah, dia kan tadi udah bilang gak sengaja” ucap Athena.
Lelaki itu melihat Athena dengan tatapan kosong. Seperti mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Athena yang tadinya berharap lelaki itu mengucapkan terima kasih karena telah diselamatkan dari amukan Dean –panggilan dari Deandra—kini mengubur harapannya dalam-dalam. Jangankan mengucapkan terima kasih, ingat dengan Athena pun belum tentu.
“Gue bener-bener minta maaf. Ini uang untuk ganti kwetiau lo yang tumpah” ucap lelaki itu sambil menyerahkan uang sepuluh ribuan kepada Dean.
“Lain kali hati-hati!” ulang Dean. Namun bukannya mendengarkan ocehan Dean –yang entah berakhir kapan—lelaki itu justru berjalan pergi meninggalkan kantin.
Sementara itu, dalam perjalanan menuju kelas Athena bertanya pada Dean mengenai lelaki yang tadi menabraknya di kantin.
“Oh itu, itu Archen, anak XII Sains 1 yang super duper introvert!”
“Anaknya pendiem banget ya?”
“Banget!” jawab Dean yang kini tengah asik dengan es potong yang dibelinya di kantin.
“Terus, terus, apalagi yang lo tau tentang dia?”
“Gak ada.”
Athena mengerutkan kedua alisnya.
“Gak ada yang tau tentang dia, Na. Orangnya bener-bener tertutup, gue aja gak tau dia punya temen atau enggak di sekolah ini. Sayang ya Na, ganteng-ganteng tapi kuper.”
Belum dua puluh empat jam Athena berteman dengan Deandra, namun ia sudah bisa menebak bahwa salah satu temannya ini benar-benar ceplas-ceplos.
“Iya sayang, ganteng-ganteng tapi….”
“Lo naksir dia?!” tanya Dean semangat.
******
Archen tidak pernah suka pergi ke tempat ramai. Termasuk ketika Bu Nida memintanya untuk membelikan jus alpukat di katin. Namun Archen yang sangat menghormati Bu Nida, tidak enak hati jika menolaknya.
Benar saja setiap kali ia pergi ke tempat ramai, ia selalu menghadapi berbagai masalah. Seperti hari ini. Ketika ke kantin tadi, Archen menabrak seorang siswi yang tidak ia ketahui siapa namanya, namun Archen yakin sering melihat gadis itu di sekolah. Temannya yang satu lagi adalah seorang gadis yang ditemuinya tadi pagi, yang ia tahu namanya adalah Athena. Bagaimana Archen tidak mengingat namanya, gadis itu dengan semangat memperkenalkan diri di hadapan Archen.
Archen yang sudah tidak nyaman berada di keramaian, segera meninggalkan kantin tanpa memperdulikan kedua gadis tersebut.
“Kamu masih tinggal dengan tantemu?” tanya Bu Nida ketika Archen mengantarkan jus alpukat pesanannya.
Archen hanya mengangguk.
“Duduk dulu Archen, ibu mau bicara” ucap Bu Nida lembut.
Archen segera duduk di salah satu sofa yang membelakangi pintu masuk.
“Maaf sebelumnya kalau ibu terlalu ikut campur, tapi bukankah kejadian itu sudah lama? Tidak bisakah kamu memaafkan papamu sendiri?” tanya Bu Nida hati-hati, sangat hati-hati, takut lawan bicaranya tersinggung.
Hening.
Archen belum menjawab, seolah ia sedang berpikir jawaban apa yang seharusnya keluar dari mulutnya.
Sementara di luar, ada seorang gadis yang hendak masuk ke ruang kepala sekolah, namun mengurungkan niatnya ketika ia tahu ada Archen yang sedang berbicara dengan Bu Nida.
“Kalau saya memaafkan papa, apa peristiwa itu tidak akan pernah terjadi?” tanya Archen dingin.
Athena mendengar itu. Athena kembali mengurungkan niatnya untuk pergi meninggalkan ruang kepala sekolah.
“Bukan begitu maksud ibu, sen. Saat ini papamu sangat membutuhkan kamu. Coba ikhlaskan kejadian yang sudah berlalu. Agar hidupmu damai, agar….” Perempuan berkepala empat tersebut tidak melanjutkan kalimatnya.
Bu Nida yang merupakan salah satu sahabat mama Archen sangat tahu betul seperti apa sifat Archen. Sejak dua tahun lalu, sikap Archen menjadi lebih pendiam dan menutup diri dari lingkungan sekitar. Itulah mengapa ia selalu merangkul Archen, ia sudah menganggap Archen seperti anaknya sendiri.
“Saya kembali ke kelas ya bu”
Archen sangat tidak suka ketika ada yang membicarakan tentang masa lalunya, tentang ibunya, terlebih tentang seorang pria yang Archen harus berpikir dua kali untuk menyebutnya sebagai seorang ayah.
Bu Nida hanya pasrah melihat respon Archen. Tidak hanya sekali-dua kali Archen bersikap seperti itu, sudah terlalu sering sampai-sampai ia bisa memakluminya.
Archen yang saat itu segera keluar dari ruang kepala sekolah dikejutkan dengan keberadaan Athena di samping pintu. Athena yang gugupnya bukan kepalang sebab tertangkap basah sedang menguping, mencoba menjelaskan dengan terbata-bata.
“Um, a-nu, i-ni gue……”
“Lain kali kalau mau cari gosip jangan di sini, di ruang BK noh banyak!”
Athena tidak terima dirinya dibilang sedang mencari gosip, tapi bagaimana pun juga ia tidak bisa menyangkal karena telah menguping pembicaraan orang lain.
Satu-satunya kalimat yang bisa keluar dari mulut Athena adalah “Maaf, gue bener-bener gak sengaja nguping pembicaraan lo sama Bu Nida.” Athena memasang wajah penuh penyesalan.
“Nguping kok gak sengaja!” hanya itu respon dari Archen sebelum ia pergi meninggalkan Athena.
Emosi Athena hampir memuncak kalau saja ia tidak ingat mengenai namanya.
Tenang, tenang, lo itu Dewi Kebijaksanaan, Na. Batin Athena.
******
“Archen tidak mau mencintai seseorang, ma”
“Lho kenapa begitu, sen?”
“Sen takut, suatu saat malah menyakiti orang itu. Seperti papa menyakiti mama sekarang”
Mamanya tersenyum.
“Archen, papa mu itu orang yang baik, ia hanya sedang setres saja sekarang. Kamu tahu nak, tuntutan pekerjaannya sangatlah banyak.”
“Intinya Archen tidak mau mencintai seseorang, Sen tidak mau ia menjadi pelampiasan ketika Sen sedang setres dengan pekerjaan.”
Tangan lembut mamanya mengusap-ngusap rambut Archen, “Mama yakin Sen tidak akan seperti itu”
“Ma…mama….”
Tira yang mendengar keponakannya mengigau, segera membangunkannya.
“Archen, bangun sayang”
“Tan-te….Sen…” ucap Archen terbata-bata.
“Iya, tante ngerti sayang. Sekarang kamu bersih-bersih ya, sejak pulang sekolah tadi kamu ketiduran di sofa.
“Iya tante.” Ucap Archen pelan.
Archen tau ia akan mengalami hal ini. Setiap habis membicarakan masa lalunya, ia selalu membawanya sampai mimpi. Ia cemas, sampai keringat dingin.
Sementara Tira yang sudah dua tahun tinggal bersama keponakannya itu, sudah terbiasa melihat kejadian tersebut. Namun bukan berarti ia tidak khawatir, sejujurnya Tira sangat khawatir melihat perkembangan psikis Archen yang setiap hari semakin memburuk.
Archen menghampiri tantenya yang sedang membaca majalah di ruang tamu, “Sen keluar bentar ya tante”
“Mau kemana Sen?”
“Kedai teh”
Tira tersenyum dan mengangguk. Ia paham betul kebiasaan Archen. Anak itu selalu pergi ke kedai teh di sudut jalan—yang sepi pengunjung—untuk menenangkan pikiran dan menikamati secangkir teh. Archen berbeda dari kebanyakan lelaki lainnya, ia tidak menyukai kopi. Ia menyukai Ashwaganda Tea, atau sesekali ia memesan California Poppy Tea.