Tepat pukul delapan pagi Archen sudah selesai berolahraga. Setiap hari Sabtu dan Minggu ia memang selalu lari pagi di sekitar lingkungan perumahan. Tidak lama, kurang lebih hanya satu sampai satu setengah jam. Bagi Archen, dalam olahraga yang terpenting adalah dilakukan secara rutin, tidak hanya sekali dua kali. Sebab bagaimanapun konsistensi adalah hal yang paling utama. Archen kemudian bergabung dengan Tante Tira dan Bi Ijah yang sedang sarapan di ruang tv. Keduanya asik melahap bubur kacang hijau buatan Bi Ijah sambil menonton acara gosip selebriti. Saat sedang menayangkan berita salah satu gadis remaja yang melanjutkan studinya di luar negeri, Tira tiba-tiba saja teringat oleh Athena.
“Sen, liat deh, dia mirip Athena gak sih?” Ucap Tira sambil menunjuk layar tv.
Archen bingung harus merespon apa karena kenyataannya memang mirip, hanya saja Archen malu untuk membahas Athena di depan sang tante. Takut tantenya semakin menjadi-jadi meledek Archen. Akhirnya yang keluar dari mulut Archen hanya, “Iya kali, Sen gak merhatiin.” Padahal Archen ingat betul bagaimana bentuk mata, alis, hidung hingga bibir Athena.
Tira hanya tersenyum penuh goda mendengar jawaban keponakannya itu, “Ngomong-ngomong kamu jadi kerja kelompok?”
“Jadi, sekitar jam 9 an Sen berangkat ya.”
“Mau pinjam mobil tante?”
“Gak usah, Sen naik motor aja. Lagi pula bukannya hari ini tante mau keluar juga?”
“Iya, tapi kayaknya gak pakai mobil.”
Hari ini Tira memang punya janji dengan Hendra. Kemarin Hendra mengajak Tira untuk datang ke salah satu pernikahan sahabatnya. Tentu saja awalnya Tira menolak. Pertama karena ia tak mengenal sahabat Hendra, kedua karena memang ia bukanlah pasangan Hendra. Tapi Hendra terus memohon dan berkata bahwa saat ini ia sedang tidak menjalin hubungan dengan siapapun, dan Hendra tidak mungkin datang seorang diri. Bisa-bisa ia malah menjadi bahan ejekkan teman-temannya. Masa iya seorang playboy datang ke acara nikahan sendirian? Begitu kira-kira. Setelah mempertimbangkan beberapa hal, termasuk jasa Hendra yang telah menyelamatkan dirinya dari perampok, Tira pun mengiyakan permintaan tersebut.
Archen membuka grup w******p yang dibuat oleh Sarah untuk mempermudah komunikasi mereka dalam kerja kelompok. Terdapat pesan dari Rafi yang baru saja membagikan lokasi rumahnya. Jika tidak macet, jarak dari rumah Archen ke rumah Rafi bisa ditempuh dalam waktu 30 menit dengan kecepatan standar.
“Okai, gue otw nih, Fi.” Balas Sarah.
“Sip.” Ketik Archen.
Archen pun langsung berangkat menuju rumah Rafi. Sesampainya di sana, Sarah belum juga sampai. Padahal Sarah sudah berangkat lima belas menit lebih awal dari Archen. Rafi memutuskan untuk menelpone Sarah untuk menanyakan keberadaannya, seperti dugaan mereka berdua, Sarah nyasar di jalan! Ia pun langsung membagikan lokasinya saat itu, dan betapa terkejutnya Archen karena lokasi Sarah sekarang sangat jauh dari rumah Rafi.
“Anjir, dimana nih si Sarah. Lo tau daerah ini, Sen?”
“Tahu, gue pernah nganterin tante gue ke rumah temennya di daerah sana.”
Tidak lama kemudian Sarah mengabarkan lagi kalau ban motornya bocor karena melindas paku. Saat ini ia sedang beristirahat di salah satu warung yang berada di pinggir jalan sambil menunggu bantuan, sebab sepertinya tidak ada tukang tambal ban di sekitarnya.
“Biar gue aja yang jemput Sarah.”
“Serius, bro?”
“Iya, kasian juga dia. Lo di sini aja jaga rumah, rumah lo kosong kan?”
“Iya sih, lagi pula gue lagi gak ada motor, dipakai abang gue.” Jelas Rafi.
“Yudah santai. Bilang Sarah gue berangkat sekarang. Suruh dia stay di tempat dan jangan kemana-mana.”
“Sip. Hati-hati, Sen.” Rafi langsung mengirim pesan di grup sesuai perkataan Archen. Sementara di ujung sana Sarah sedang membaca pesan dengan hembusan nafas lega. Jujur Sarah sedikit takut. Bisa saja saat itu ia langsung memesan ojek online untuk ke rumah Rafi, tapi bagaimana dengan motornya? Tapi untunglah ada Archen. “Sen, Sen, dari dulu lo emang gak pernah banyak omong, tapi langsung melakukan aksi.” Batin Sarah.
Archen terus mengikuti arah maps hingga akhirnya sampai di warung tempat Sarah sedang berteduh. Senyum lebar langsung terukir di bibir Sarah. “Archeeeeen, ya ampun akhirnya lo dateng juga.” Ujar Sarah sambil menyeka keringat di dahi.
Archen melepas helmnya, ia kemudian langsung mengecek kondisi ban motor Sarah. “Bocornya parah nih, Sar.” Ucap Archen.
“Iya emang, terus gimana ya?”
“Gue telephone montir yang biasa benerin motor gue aja deh, biar nanti dia yang ambil motor lo ke sini. Lo ke rumah Rafi bareng gue aja.”
“Eh…beneran?”
“Iya, aman kok. Dia motor langganan gue.”
Sarah pun dengan cepat langsung setuju dengan solusi yang Archen berikan, lagi pula saat ini tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Sambil menunggu sang montir datang, Archen dan Sarah memesan dua es kelapa muda dan pisang goreng di warung tersebut. “Sen, lo masih sering ke kedai teh yang ada di sudut jalan?”
“Lho, lo kok tau?”
“Archen, Archen, gue ini kenal lo dari SMP. Ya walaupun kita gak dekat, tapi gue tahu lah satu atau dua hal tentang lo. Btw, foto bareng yuk Sen, masa udah lama kenal tapi gue gak punya satu pun foto sama lo.”
Archen awalnya menolak, sebab ia bukan tipe lelaki yang suka foto, apalagi sampai selfie. Tapi Sarah terus berusaha mengambil gambar terbaik. Ada yang Archennya candid, bahkan ada foto dirinya dan Archen dari tampak belakang. Kurang lebih setelah tiga puluh menit, montir langganan Archen datang. Mereka berdua pun bergegas menuju rumah Rafi sebelum hari menjadi semakin siang.
Senang melihat kedua temannya selamat sampai tujuan, Rafi kemudian langsung menyajikan makan siang untuk Archen dan Sarah.
“Ya ampun, Fi, tau aja lo kalau gue laper.”
“Iya lah, orang ini udah jam makan siang juga kan.” Ucap Rafi sambil melihat jam dinding di rumahnya, saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB. “Emang gimana ceritanya sih kok lu bisa nyasar gitu?” Lanjut Rafi.
“Ih, jujur nih ya, gue sebenarnya gak bisa baca maps tau.” Sarah memberanikan diri untuk mengakui suatu hal.
“Hah? Anjir, demi apa lo gak bisa baca maps? Hahahahha” Sarah sudah menebak Rafi akan merespon seperti itu, sebab semua orang yang mendengar pengakuannya pun memberikan respon yang sama.
“Itu wajar kok.” Jawab Archen santai.
Kini Sarah malah tertarik dengan respon Archen yang berbeda dengan kebanyakan orang, “Hah? Wajar gimana?” Tanya Sarah penasaran.
“Gue pernah baca buku karya Allan dan Barbara Pease yang judulnya Why Men don’t Listen and Women can’t Read Maps. Di situ dijelasin, wajar kalau kemampuan perempuan dalam membaca maps lebih rendah daripada laki-laki. Hal itu karena sejak zaman purba laki-laki sudah bertugas untuk menjelajah mencari makanan sedangkan tugas perempuan adalah menjaga rumah dan mengurus anak-anak. Makanya laki-laki sudah terbiasa menghafal arah jalan sementara perempuan lebih jago tentang hal-hal detail yang ada di rumah, kayak dimana letak gunting kuku, remote tv, dan lain sebagainya. Ya, walaupun dalam perkembangannya laki-laki dan perempuan sudah banyak berevolusi, tapi tetap aja kebawa kebiasaan sejak zaman purba.” Jelas Archen.
Sarah dan Rafi hanya melongo mendengar penjelasan Archen. Singkat dan mudah dimengerti. “Gila, gila, keren banget. Pantesan aja lo bisa berjam-jam kalau udah di perpustakaan.” Ucap Rafi.
“ARCHEN THANKYOU KARENA UDAH MENJAWAB PERTANYAAN TERBESAR GUE SELAMA INI! Jadi sekarang gue bisa jelasin ke orang-orang kenapa gue gak bisa baca maps, setidaknya ada alasan ilmiahnya.” Sarah tersenyum penuh kemenangan.
“Gue cuma nyampein apa yang gue tahu aja kok.” Tentu saja hanya itu respon Archen, ia bukanlah sosok yang gila pujian.
“Dan makasih juga Sen, berkat lo sekarang gue jadi tahu kenapa tiap gua nyari kaos kaki gak pernah ketemu, tapi giliran emak gue yang nyari pasti langsung ketemu!”
Perbincangan singkat pun berakhir. Kini mereka bertiga sudah mulai fokus menyusun laporan praktikum kimia. Kerja kelompok selesai pada pukul empat sore. Sarah memutuskan untuk memesan ojek online karena merasa tak enak hati jika harus merepotkan Archen lagi. Mereka bertiga akhirnya kembali ke rumah masing-masing setelah melalui hari yang penuh cerita.