14. Aku Malu ...

1476 Words
Hari sudah berganti hari, bulan pun sudah berganti bulan, tak terasa sudah hampir tiga bulan Rangga tinggal di pesantren. Sudah banyak sekali perubahan yang yang terjadi dalam diri Rangga. Saat ini Rangga sudah lebih rajin beribadah tanpa paksaan dari siapa pun. Membaca Al-Qur’annya pun sudah cukup lancar. Ada nikmat tersendiri yang Rangga rasakan ketika ia membaca Al-Qur’an dengan lancar, seolah menjadi candu. Kabar berita perubahan sikap Rangga yang disampaikan Pak Kyai Hafidz pada Gunawan benar-benar membuat Gunawan dan Diana tak percaya Rangga bisa berubah secapat itu. Tapi mereka senang dan berharap ini semua bukan akal-akalan Rangga agar ia bisa keluar dari pesantren lebih cepat. Nyatanya, apa yang mereka pikirkan salah besar, Rangga menolak untuk kembali ke Jakarta ketika musim libur sekolah, dimana sebagian besar santri yang berstatus pelajar SMA memilih pulang ke rumah masing-masing. Satu hal yang belum berubah dari Rangga, yaitu kebiasaan merokoknya. Zat adiktif bernama nikotin yang terkandung di dalam batang rokok membuat banyak orang menjadi ketergantungan. Alhasil, berhenti merokok dirasa mistahil bagi sebagian orang. Tapi Rangga tahu aturan, ia selalu melakukan kebiasaannya itu di luar pesantren. Itulah alasan kenapa selama ini ia selalu terlihat berjalan-jalan di sekitaran sungai atau perkebunan di pagi atau sore hari dengan beberpaa santri ketika tidak ada kegiatan di Pesantren. Miftah, Roni, dan Ardi yang sering terlihat bersama Rangga. Mereka adalah kawan baik Rangga di Pesantren, mungkin karena perbedaan usia mereka yang tidak terpaut jauh. Dari mereka, Rangga belajar banyak hal, dari pemahaman mengenai agama, bagaimana cara kita bersyukur, hingga cara kita memandang seseorang dari hatinya, bukan dari fisik. Tidak seperti pembelajaran antara seorang guru dan murid, tapi lebih kepada berbagi pengalaman dan cerita kehidupan mereka yang naik turun dan penuh perjuangan. Mereka begitu memahami dan sangat membantu Rangga untuk bisa berubah ke arah yang lebih baik. Seperti pagi itu, Ardi berinisiatif mengajak Rangga, Roni, dan Miftah pergi jalan-jalan di sekitaran Pesantren seperti biasa. Selain menghilangkan penat karena baru saja selesai menghadapi ujian semester, ia juga tahu Rangga butuh ‘asupan’ mengingat Rangga adalah perokok aktif. Mereka sudah paham betul kegelisahan Ranga jika sehari saja ia tidak mengisap batang nikotin itu. Mereka pun sangat memaklumi bahwa kebiasaan Rangga tersebut tidak bisa hilang begitu saja. “Nih, gue mau ngaku sesuatu sama kamu, eh elo maksudnya,” kata Ardi pada Rangga saat mereka berempat melintas di jembatan yang menghubungkan ke desa sebelah. “Ah, gaya-gayaan kamu ngomongnya lo-gue… muka kamu tu ngga pantes,” celetuk Miftah, membuat mereka bertiga tertawa. “Ngga papa lah… biar gaya gitu, biar keliatan keren… Siapa tau habis lulus kuliah nanti aku diterima kerja di Jakarta. Kan harus belajar jauh-jauh hati biar lidah ‘ndesoku’ ini ngga keseleo.” “Ah, teserah lo aja deh… pusing gue…” kata Rangga sambil menyisir rambutnya yang masih sedikit basah terkena air wudhu dengan jari-jarinya. Sudah beberapa hari terakhir, Rangga sudah mulai mengikuti kebiasaan Miftah yang selalu meluangkan waktunya untuk sholat Dhuha ketika Miftah tidak ada kuliah pagi. “Mau ngaku apa lo?” “Jadi gini… ehm, ehm…” Ardi berdeham untuk mengecek pita suaranya sebelum memuai cerita, seolah cerita yang akan disampaikannya begitu penting. Di antara mereka berempat, Ardi lah yang paling lucu dan slengean. Tapi itulah yang membuat suasana jadi selalu ceria dan tidak membosankan. “Lo… ah ribet! Kamu-kamu aja deh. Kami inget ngga waktu awal-awal kamu dateng ke pesantren kamu ngga bisa tidur? Bolak-bolik, kanan-kiri, brisik tau ngga suara tempat tidurnya. Eh, habis itu malah telfon-telfonan sama orang. Ya udah aku kerjain aja sekalian. Aku buka-tutup, buka-tutup tuh lemari aku yang engselnya bunyi-bunyi aneh itu biar tau rasa,” kata Ardi panjang lembar diakhiri dengan suara tawa yang meledak-ledak. “Ooohhh… jadi dulu itu lo yang ngerjain gue?? Ah, sialan lo!” kata Rangga kesal, tapi ujung-ujungnya ia pun ikut tertawa, menertawakan kebodohannya sendiri. “Payah kamu! Badan aja gede, tapi nyali ciut,” kata Ardi mengejek. “Ya maaf deh… ini kan demi kebaikan kita bersama, demi kemaslahatan umat, agar tercipta suasana yag damai, aman, sentosa.” Roni pun hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Sebenarnya ia sudah tahu karena saat itu Ardi menceritakan kepadanya. Di tengah obrolan mereka yang tidak penting itu, tiba-tiba saja jantung Rangga berdebar. Dari kejauhan ia melihat Ayu dengan sepeda mini tuanya yang penuh dengan botol-botol s**u di keranjangnya. Semakin lama, sepeda itu semakin mendekat ke arahnya. Lagi-lagi Rangga tak bisa melepas pandangannya dari sosok itu. Ayu bak magnet yang bisa menarik apa pun yang ada di sekelilingnya. Rangga menarik napasnya dalam dan menghembuskannya perlahan, ia berusaha bersikap wajar ketika Ayu sudah mulai mendekat. Tapi tiba-tiba saja terdengar suara dentuman kecil, diikuti dengan suara pecahan kaca. Ternyata roda sepeda Ayu bagian depan masuk ke dalam lubang dan membuat sepedanya oleng hingg ia kehilangan keseimbangan. Ayu jatuh dari sepedanya dan beberapa botol susunya yang ada di keranjang sepeda pecah berantakan. Ayu tertindih sepedanya sendiri dan membuatnya sulit bangun. Karena pipa PDAM yang bocor sejak semalam, membuat sebagian jalanan aspal yang sudah rusak dan berlubang itu tertutup genangan air. “Astaghfirullah!” pekik Rangga dan yang lain berbarengan. Tanpa komando mereka pun langsung berlari untuk menolong Ayu. Ayu terlihat panik melihat botol-botol susunya sudah berantakan, padahal ia baru menjual setengah dari s**u segar yang ia bawa. Belum lagi berapa harga botol-botol s**u milik Babeh Rojali yang harus ia ganti. Ya Allah!, pekik Ayu dalam hati. Ingin rasanya ia menangis sejadi-jadinya. Sakit akibat jatuh tidak begitu ia rasakan. Hatinya jauh lebih sakit melihat botol-botol s**u jualannya jatuh dan kotor, sudah pasti tidak bisa dijual lagi. Ayu yang masih berusaha berdiri kaget begitu melihat mereka datang menghampiri. Betapa malunya Ayu karena ia jatuh tepat di depan pemuda-pemuda itu. Rasanya ia ingin menghilang detik itu juga, tapi jelas itu adalah hal yang mustahil. Aduuuhhh, kenapa harus mereka sih yang liat?, batin Ayu sambil meringis kesakitan. “Kamu ngga papa?” tanya Rangga yang sampai lebih dulu sambil menyingkirkan sepeda yang menindih tubuh Ayu dan meletakkannya di tepi, lalu mendekat ke arah Ayu untuk membantunya berdiri. “Eh, engga, ngga papa, ngga usah… aku bisa berdiri sendiri kok,” kata Ayu cepat sambil manarik tubuhnya menjauh dari Rangga. “Oh, maaf,” ucap Rangga yang menyadari jika Ayu tidak berkenan ia menyentuhnya. Rangga pun langsung melepas pegangannya tangannya pada lengan dan tangan Ayu. “I-iya…” jawab Ayu canggung. Rangga memunguti botol-botol s**u yang masih utuh dan memasukkannya kembali ke dalam keranjang sepeda dengan terlebih dulu membersihkan kotoran atau air yang menempel dengan telepak tangannya, sementara Miftah memunguti pecahan-pecahan botol kaca yang pecah agar tidak membahayakan pengguna jalan yang lain. “Ngga ada yang luka kan?” tanya Rangga lagi. “Nggg… ngga ada kok,” jawab Ayu sambil membersihkan rok nya yang kotor dan basah, lalu menoleh ke arah Rangga. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari ia tidak bertemu dengan Rangga, hari ini Ranga terlihat berbeda. Dengan sarung warna hitam kotak-kotak yang dipadukan dengan kaos warna biru, Rangga terlihat begitu karismatik dan menyejukkan hati. Apalagi rambutnya yang masih agak basah terlihat lebih rapi, membuat Rangga terlihat lebih tampan, sangat berbeda ketika terakhir kali Ayu melihatnya saat duduk-duduk di samping pangkalan ojek. Saat itu Rangga terlihat seperti anak badung, Sarungnya ia lepas dan dililitkan dileher, menyisakan celana levis pendek selutut. Belum lagi saat itu Rangga terlihat sedang merokok. “Kayaknya sepedanya ngga bisa dipake deh,” kata Ardi stelah melihat sepeda Ayu sedikit bengkok di bagian Velg rodanya. Ayu mendekat untuk melihatnya langsung. “Aduh gimana ini?” keluh Ayu yang semakin panik. Jika sepedanya rusak otomatis ia tidak bisa berkeliling untuk beejualan s**u. Tidak mungkin ia berjalan kaki keliling kampung dengan membawa botol-botol s**u yang lebih dari dua puluh botol. Mata Ayu kini sudah semakin memerah, ia mencoba menahan air matanya. Sakit di lututnya pun ia tahan. Sekarang yang ia pikirkan hanya kembali pulang ke rumah. “Ya udah, aku cariin tukang ojek ya. Kamu pulang aja, ganti baju, baju kamu kan basah. Nanti biar sepeda kamu, aku yang anter. Rumah kamu di mana?” “Eee… ngga usah, makasih. Aku…..” “Ayu! Kamu kenapa?” tiba-tiba saja Dian sudah berada di belakang Ayu. Ia menghentikan sepedanya tepat di samping Ayu. “Kamu ngga papa kan?” tanya Ratna lagi tanpa menunggu jawaban Ayu. “Aku….” Baru juga Ayu hendak menjawab pertanyaan Dian, Rangga dengan cepat menyambar ucapannya. “Oh, kamu temennya Ayu ya? Boleh minta tolong ngga anterin Ayu ke rumah. Sepedanya biar nanti aku yang urus.” Dian terlihat bingung dengan sikap anak kota itu. “Minta tolong ya…” kata Rangga lagi karena ia melihat wajah Dian yang terlihat heran, menjawab permintaannya pun tidak. “I-iya…” jawab Dian Ragu. Ia meoleh ke arah Ayu yang hanya Diam. Dari wajahnya, Ayu terlihat kesakitan. “Yu, mau aku anterin pulang?” tanya Dian pelan. Ayu mengangguk. Sepertinya ia sudah tidak tahan merasakan perih di kakinya. Ayu pun akhirnya pulang diantar oleh Dian setelah Ayu memberitahukan alamat rumahnya pada Rangga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD