Ayu berdiri di depan sebuah cermin yang menempel di lemari pakaiannya. Lemari pakaian kayu sederhana yang usianya bahkan lebih tua dibandingkan dirinya. Sekali lagi Ayu memantaskan dirinya untuk memastikan penampilannya sudah rapi. Kali ini Ayu memakai rok hitam polos di bawah lutut yang dipadukan dengan sweater warna merah jambu. Rambutnya yang hitam panjang sengaja ia gerai agar terlihat lebih menarik. Walaupun tanpa polesan makeup,wajahnya terlihat segar.
Hari ini Ayu sudah berjanji untuk bertemu dengan Bagus di bawah gapura yang menghubungkan kedua desa, desa Ayu dan desa Bagus. Bermula saat pagi tadi tanpa sengaja mereka bertemu ketika Ayu sedang menjajakan s**u, sementara Bagus hendak berangkat mengajar. Hingga akhirnya Bagus mengajak Ayu bertemu kembali sore harinya untuk lebih saling mengenal satu sama lain. Ini adalah kali pertama Ayu dan Bagus bertemu setelah Bagus meminangnya. Walaupun Ayu belum memiliki erasaan lebih terhadap Bagus, tapi pertemuannya itu cukup membuat Ayu merasa berdebar. Bagaimanapun Bagus seorang laki-laki, dan sampai detik ini belum pernah sekalipun Ayu hanya berduaan saja dengan seorang laki-laki. Ayu memang pernah memiliki seorang pacar saat ia kelas satu SMA, tapi mereka hanya bertemu di sekolah saat jam istirahat atau setelah pulang sekolah, itu pun selalu beramai-ramai dengan teman yang lain.
Ayu keluar dari dalam kamarnya. Kebetulan ibu dan kedua adiknya sedang menonton televisi di ruang keluarga.
“Bu, Ayu pergi dulu ya Bu…”
“Iya, ati-ati ya Nduk… pulangnya jangan kesorean,” pesan Triningsih.
“Iya Bu…”
“Cie… cie… Mba Ayu,” goda Kinanti. Ia cekikikan sendiri sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. Rupanya Kinanti mendengar saat Ayu meminta izin pada Sanjoko dan Triningsih untuk bertemu dengan Bagus ketika mereka baru pulang dari perkebunan.
“Ih, kamu nih, anak kecil juga…”
“Mba Ayu mau kemana Bu?” tanya Haikal polos.
“Mau ketemu sama temennya,” jawab Triningsih sekedarnya. Haikal pun seolah tidak perduli dengan jawaban Triningsih. Ia kembali menikmati gemblong buatan ibunya sambil melanjutkan menonton kartun kesayangannya.
***
Sore itu langit terlihat cerah, matahari masih bersinar dengan terang membuat udara masih terasa hangat. Sepertinya alam pun merestui pertemuan Ayu dan Bagus sore itu mengingat beberapa hari terakhir hujan sering turun saat sore hari atau menjelang malam.
Dari jauh Ayu sudah melihat Bagus yang sudah berdiri tepat di bawah tiang gapura. Bagus terlihat menyandar di tiang gapura dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Ayu bisa melihat dengan jelas Bagus yang menatapnya dan melontarkan senyum. Di samping Bagus berdiri, terparkir sebuah sepeda gunung milik ayahnya karena beberapa kali Ayu sempat melihat Pak Parja tengah bersepeda dan melintas di samping rumahnya. Rupanya Bagus memilih menggunakan sepeda dibandingkan menggunakan motor miliknya yang biasa dipakai untuk mengajar ke sekolah. Ayu pun mempercepat laju sepedanya. Ia merasa tidak enak karena Bagus sudah menunggunya.
“Duh, maaf ya Mas… apa Mas Bagus sudah lama nunggunya?” tanya Ayu ketika sampai di dekat Bagus.
“Ndak papa kok. Emang aku yang datengnya kecepetan,” jawab Bagus dengan senyum manisnya. Sengaja Bagus datang lebih cepat karena ia tidak ingin Ayu yang menunggunya. Sebenarnya Bagus ingin menjemputnya di rumah sekaligus meminta izin kepada kedua orangtua Ayu, tapi Ayu menolak dan meminta untuk bertemu di gapura agar Bagus tidak perlu jauh-jauh menjemputnya.
“Kamu gimana kabar? Bapak Ibu sehat?” tanya Bagus untuk mengurangi suasana canggung diantara mereka.
“Alhamdulillah Mas, Bapak Ibu sehat…” jawab Ayu.
“Tadi kamu pamitan kan sebelum pergi ke sini?” tanya Bagus lagi karena ia merasa tidak enak krena tidak berpamitan langsung kepada orangtua Ayu untuk mengajak keluar putri mereka.
“Sudah kok Mas.”
“Ya udah, sambil jalan yuk…” ajak Bagus. Ayu hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.
Kedua berjalan beriringan sambil menuntun sepeda masing-masing. Sesekali mereka berbincang dan melontarkan senyum. Jalanan aspal yang sudah mulai rusak dan berlubang membuat keduanya harus berhenti dan memalingkan wajah karena debu yang berterbangan saat sepeda motor atau mobil yang melintas. Tak jarang mereka berpapasan dengan orang yang mereka kenal dan saling bertegur sapa. Beberapa diantaranya ikut mendoakan agar keduanya berjodoh karena Ayu dan Bagus terlihat sangat serasi. Sambil malu-malu Bagus pun mengaminkan doa mereka. Sementara Ayu hanya tersenyum dengan pipi yang sedikit memerah.
Hingga sampailah mereka di tepi sungai. Di sepanjang pinggiran sungai itu dibatasi oleh tembok setinggi kurang lebih delapan puluh centimeter yang biasa digunakan untuk duduk-duduk santai penduduk kampung sambil menikmati udara sore. Dengan pemandangan perbukitan yang asri dan persawahan hijau, juga air sungai yang jernih membuat tempat tersebut menjadi spot favorit.
Bagus mengajak Ayu untuk duduk di pinggir sungai itu. Tampak beberapa pemuda dan pemudi yang sudah terlebih dahulu duduk di sana. Kehadiran keduanya sepertinya menarik perhatian beberapa orang yang tengah duduk di sana. Beberapa kali Ayu beradu pandang dengan mereka.
“Kamu kalo keliling jualan s**u kemana aja? Jauh?” tanya Bagus memecah keheningan.
“Engga kok Mas. Paling juga muter di kampung sini aja, sama ke kampung sebelah. Kecuali kalo emang belum habis baru jalan agak jauh.”
“Ooh…”
Bagus melihat Ayu adalah gadis yang baik dan penurut. Selain itu, dari cerita Triningsih kepada Santi, Ayu pun seorang pekerja keras. Ayu juga tak pernah mengeluh dengan kehidupannya. Terbukti ia mau mengayuh sepedanya dari desa ke desa untuk menghabiskan s**u jualannya untuk membantu orangtuanya. Itulah yang membuat Bagus semakin menaruh hati pada Ayu.
“Mas Bagus pernah ke sini?” tanya Ayu sambil menoleh ke arah Bagus.
“Dulu sih pernah sekali, waktu masih SMA. Dulu tempatnya belum bagus begini.” Jawab Bagus sambil menoleh ke sekeliling. Sudah banyak yang berubah dan ditata, termasuk pembatas sungai yang mereka duduki saat ini. “Kalo lewat sih sering, tapi ngga ada yang diajak nongkrong,” celetuk Bagus sambil melirik ke arah Ayu, membuat Ayu tersipu karena malu. “Kamu sendiri?”
“Beberapa kali sih ke sini. Itu juga udah lama.”
“Ooh… sama siapa?” tanya Bagus santai, padahal dalam hatinya ia begitu penasaran. Selama ini setahu Bagus, Ayu tidak punya pacar. Yang Bagus tahu, Ayu hanya pernah berpacaran sekali waktu SMA, itu pun hanya sebentar. Mereka akhirnya memutuskan untuk melanjutkan hidup masing-masing karena saat kenaikan kelas Mirza, pascar Ayu itu harus pindah ke luar kota dan kemungkinan tidak akan kembali ke kampungnya. Ya! Ternyata diam-diam Bagus sudah menyukai Ayu saat mereka masih SMA. Tapi Bagus sama sekali tidak memikirkan untuk berpacaran kala itu. Ia lebih fokus dengan sekolahnya, dengan cita-cita untuk menjadi seorang guru. Bagus berpikir jika kelak ia sudah berhasil menjadi seorang guru dan Ayu masih sendiri, itu berarti Ayu adalah jodohnya.
“Yaa… kalo ndak sama Dian ya sama Ratna. Mas Bagus kenal? Dulu juga satu SMA sama kita kok.”
“Syukurlah,” celetuk Bagus sambil bernapas lega.
Ayu menoleh ke arah Bagus dan terlihat mengerutkan dahinya.
“Eh sorry, maksud akuu… aku kenal kok. Sahabat kamu itu kan?” Dengan cepat Bagus meralat ucapannya.
“Iya… kok Mas Bagus tau sih?” tanya Ayu heran. Padahal Ayu belum mengenalkan mereka kepada Bagus. “Atauuu… jangan-jangan Mas Bagus udah merhatiin aku sejak lama?”
Bagus langsung gelagapan mendengar tuduhan Ayu. Kali ini Bagus yang dibuat malu dan salah tingkah. Melihat wajah Bagus, Ayu hanya bisa menahan tawanya.
“O ya Mas, ada yang mau sekalian aku omongin,” ucap Ayu. Wajahnya kini terlihat serius.
“Mau ngomong apa?”
“Mmm… Mas ndak berniat buru-buru menikah kan?” tanya Ayu.
“Memangnya kenapa? Kamu masih ragu buat menikah sama aku?”
“Bukan, bukan begitu Mas,” jawab Ayu cepat. Ia menyerongkan tubuhnya ke arah Bagus, lalu tertunduk. “Aku cuma belum siap untuk menikah dalam waktu dekat ini Mas. Aku masih pengen bantu orangtua dulu. Mas tau kan ekonomi keluargaku seperti apa,” jawab Ayu lirih. Ayu masih ingat betul satu minggu yang lalu saat Bagus dan kedua orangtuanya datang melamar. Saat itu kedua orangtua mereka mengatakan untuk bisa secepatnya melangsungkan pernikahan karena niat baik harus disegerakan. Memang benar Ayu masih ingin membantu ekonomi kedua orangtuanya, apalagi kedua adiknya masih kecil. Kalau kedua orangtuanya bekerja, siapa yang akan mengurus kedua adiknya? Tidak mungkin dititipkan terus kepada Bi Ratri, adik dari ayahnya. Apalagi sebentar lagi Bi Ratri akan melahirkan anak keduanya. Sudah pasti ia akan kerepotan jika harus dititipi adiknya. Tapi sebenarnya bukan itu alasannya. Ayu ingin memantapkan diri dan belajar mencintai Bagus terlebih dahulu. Ia ingin menikah dengan Bagus ketika ia sudah mencintainya. Ayu pun juga harus mempersiapkan diri untuk mengatakan mengenai hububgannya dengan Bagus kepada Ratna, sahabatnya yang diam-diam menyukai Bagus.
“Maafin aku Mas…” Ayu masih tertunduk dan tidak berani menatap Bagus.
Bagus menghembuskan napasnya pelan. Ia tersenyum simpul. “Iya Yu, aku ngerti. Kamu ndak usah khawatir. Aku bakal nunggu sampai kamu siap. Biar nanti aku yang jelasin sama orangtua kita,” kata Bagus bijak.
“Makasih banyak ya Mas.” Ayu bersyukur Bagus begitu baik dan pengertian. Mereka pun kembali berbincang hingga tak terasa waktu sudah semakin sore. Kabut sudah mulai turun. Udara dingin pegunungan pun sudah mulai menusuk tulang.
“Ya udah yuk pulang, udah sore…” ajak Bagus. “O ya, tadi sebelum jalan ke sini aku beliin donat buat adik-adik kamu di rumah, nitip ya,” ucap Bagus. Ia berdiri, lalu mengambil bungkusan dalam kantong plastik yang dicantelkan di stang sepedanya kemudian memberikannya pada Ayu.
“Duh Mas… makasih banyak ya. Lain kali ndak usah repot-repot,” ucap Ayu yang merasa tidak enak.
“Ndak repot kok… anggep aja ini sebagai salam perkenalan buat adik-adik kamu. Kan InsyaAllah mereka bakal jadi adik aku juga,” kata Bagus sambil tersenyum. Lagi-lagi Ayu dibuat malu dan hanya bisa tersenyum.