3. Cinta Segitiga

1435 Words
“Hah?? Yang bener Yu? Kamu ndak bohong kan?” tanya Dian yang terlihat kaget mendengar pengakuan Ayu. Rasa penasaran membuat Dian semakin mendekat ke arah Ayu yang tengah duduk di tepi tempat tidurnya. Dian terlihat kaget karena selama ini ia tahu Ayu tidak pernah dekat dengan laki-laki, apalagi sampai menjalin hubungan. “Ngapain sih aku bohong… nih…” Ayu menunjukkan sebuah cincin emas yang sudah tersemat di jari manisnya. “MasyaAllah… bagus banget ini Yu. Ini pasti harganya mahal…” ucap Dian sambil memengang tangan Ayu. Ia mengamati cincin itu dan terus mengaguminya, sebuah cincin emas dengan permata kecil di bagian tengahnya. Desainnya sederhana, tapi terlihat sangat cantik dan pas di jari manis Ayu yang putih dan bersih. Untuk ukuran gadis desa seperti mereka, Ayu terlihat tidak kalah jika disandingkan dengan gadis-gadis kota seusianya. Hanya penampilannya saja yang membedakan. Pakaian Ayu terlihat sederhana khas gadis desa pada umumnya, jauh berbeda dengan gadis-gadis kota yang terlihat modis dan kekinian. Bahkan tidak pernah sekali pun Ayu terlihat memakai riasan di wajahnya. Wajahnya benar-benar masih terlihat polos dan alami. “Ya mana aku tau Dian. Yang pasti, ini pertama kalinya aku pake cincin emas.” “Waaahh… selamat ya Ayu… Aku ikut seneng deh,” ucap Dian sambil memeluk Ayu yang berada di sampingnya. Rona bahagia terpancar di wajah Dian. Sangat berbeda dengan Ayu yang terkesan biasa saja. Bahkan terlihat sedikit menujukkan ketidak senangannya. “Kira-kira aku kenal ndak orangnya?” tanya Dian lagi. Ia masih sangat penasaran dengan sosok laki-laki yang telah meminang sahabatnya itu. Ayu hanya mengangguk. Ia sengaja membuat Dian semakin penasaran. “Wah siapa Yu? Udah deh, ngga usah main tebak-tebakan.” ucap Dian yang sudah sedikit kesal karena Ayu tak kunjung menjawab pertanyaannya. “Mas Bagus.” Jawab Ayu singkat. “Maksud kamu Mas Bagus kakak kelas kita waktu SMA dulu?” tanya Dian untuk meyakinkan jawaban Ayu. “Memangnya Mas Bagus siapa lagi yang kamu kenal?” Ayu melirik ke arah Dian. “Hah? Mas Bagus? Mas Bagus Anggoro? Yang bener kamu Yu? Kamu serius??” Kali ini raut wajah Dian terlihat berubah. Ia masih ingin meyakinkan diri bahwa Mas Bagus yang dimaksud adalah orang yang sama. “Iya Diaaann… Mas Bagus yang ketua osis waktu kita kelas satu SMA, Mas Bagus yang guru SD, Mas Bagus yang------” Ayu menghentikan bicaranya saat dilihat Dian menatapnya sambil melongo. Entah apa yang dipikirkan Dian saat itu. Dian seperti terhipnotis dengan perkataan Ayu. “Kamu kenapa sih? Ada yang salah dengan Mas Bagus? Mas Bagus bukan orang baik?” tanya Ayu. Sekarang justru Ayu yang bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan Mas Bagus karena selama ini Ayu mengenal Bagus adalah sosok yang baik. “Dian!” panggil Ayu keras sambil menepuk pahanya karena ia sama sekali tak bergerak, masih menatapnya sambil melongo. Dian menghela napas. “Memangnya kamu ngga tau kalo Ratna suka sama Mas Bagus?” “Ratna suka sama Mas Bagus? Kamu serius??” Sekarang Ayu yang balik bertanya untuk meyakinkan ucapan Dian. Dari jawaban Ayu, Dian bisa mengambil kesimpulan kalo Ayu benar-benar tidak tahu soal perasaan Ratna kepada Bagus. “Iya… waktu awal-awal Ratna pindah ke Jakarta. Dia sempet bilang sama aku di telepon. Udah lama Si Ratna itu suka sama Mas Bagus. Kalo ngga salah sejak dia kelas dua SMA deh. Itu juga salah satu alasan kenapa Ratna kuliah di Jakarta. Mas Bagus itu kan pengajar, berpendidikan, punya tittle. Ratna juga pengen punya pendidikan yang baik, biar bisa ngimbangin Mas Bagus. Yaaa... buat ngambil hatinya Mas Bagus gitu maksudnya.” “Kok Ratna ndak pernah bilang sama aku ya? Trus gimana dong Dian?” Ayu terlihat panik. Ayu takut dengan Ratna mengetahui ia sudah menerima pinangan Mas Bagus, itu akan membuat hubungannya dengan Ratna menjadi rusak. Walaupun itu bukan kesalahan Ayu, tapi Ayu takut kalau Ratna menganggapnya telah merebut laki-laki yang ia sukai. Selama di Jakarta, beberapa kali Ratna memang sempat meneleponnya atau mereka bertemu langsung saat Ratna pulang ke rumahnya, tapi Ratna sama sekali tidak pernah menceritakan soal perasaannya kepada Ayu. Ratna memang sedikit tertutup dengan kehidupannya, apalagi soal perasaan, termasuk dengan keluarga atau sahabatnya sendiri. “Ya udah lah, kamu juga kan udah menerima lamaran Mas Bagus. Ratna pasti ngerti. Eh, tapi kok dari tadi aku lihat-lihat kamu kaya ndak seneng gitu sih?” Ayu terlihat diam beberapa saat, lalu menatap Dian yang masih menunggu jawabannya. Ayu menarik napas dan menghembuskannya perlahan. “Sebenernya Aku ndak suka sama Mas Bagus… Aku tau Mas bagus orangnya baik. Aku juga yakin Mas Bagus orangnya bertanggung jawab. Tapi ngga tau kenapa aku tuh biasa aja kalo deket Mas Bagus. Kamu tau kan Dian… kalo cinta itu ngga bisa dipaksain.” Ayu tertunduk dengan wajahnya yang terlihat sedih. Dian sedikit kaget dengan ucapan Ayu. Bagaimana mungkin laki-laki yang nyaris sempurna seperti Bagus dan menjadi dambaan banyak gadis di kampungnya, sama sekali tidak bisa menggetarkan hati Ayu? Entah seperti apa kriteria laki-laki yang disukai sahabatnya itu. Kembali lagi ke pribadi masing-masing, benar seperti apa yang dikatakan Ayu, cinta memang tidak bisa dipaksakan. “Kamu kan bisa belajar Yu… Aku yakin kok kamu bisa.” “Itu yang sedang aku coba Dian,” ucap Ayu lirih. “Tapi Aku ngga nyangka Yu. Jadi selama ini diam-diam Mas Bagus suka sama kamu?” tanya Dian yang sebenarnya ia sendiri sudah tahu jawabannya. “Aku juga ndak tau Dian… tiba-tiba aja Mas Bagus dateng ke rumah sama orangtuanya. Kamu tau sendiri kan selama ini Aku juga ngga pernah kenal dekat sama Mas Bagus. Beberapa hari yang lalu waktu Aku anter s**u ke rumah Bu Parja, Mas Bagus juga ndak bilang apa-apa.” Ayu kembali memandang cincin emas yang diberikan Bagus melalui ibunya sebagai simbol ikatan. Ia pun tak menyangka Mas Bagus lah yang akhirnya datang untuk meminangnya untuk dijadikan istri. “Trus gimana Dian? Aku bener-bener ndak enak sama Ratna.” Ayu terlihat bingung. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan. “Tapi kan emang kamu ndak salah. Kamu ngga tau gimana perasaan Ratna sama Mas Bagus. Mmm, gini aja… nanti kalo Ratna pulang, kamu jelasin ke Ratna baik-baik. Pasti Ratna ngerti kok.” Ayu mengangguk pelan. Tapi kalaupun Ayu tau perasaan Ratna dari awal kepada Bagus, tetap saja Ayu tidak bisa begitu saja menolak lamaran Bagus dengan berbagai alasan. “Tapi buat Aku, kamu itu beruntung banget lho Yu. Mas Bagus itu kan, udah orangnya baik, ganteng, pekerjaannya juga sudah mapan… belum lagi orang kampung sini tau kan siapa Pak Parja? Coba kamu lihat, berapa gadis-gadis yang rela antri buat dapetin hati Mas Bagus?” kata Dian yang berusaha menghibur Ayu. “Aku ndak nyangka deh, akhirnya kamu yang bakal nikah dulu diantara kita bertiga,” lanjut Dian. Menjadi seorang guru, apalagi sudah diangkat menjadi PNS adalah pekerjaan yang didambakan banyak orang di kampungnya. Walaupun gajinya tidak terlalu besar, tapi menjadi seorang guru terlihat mapan dan sangat disegani. Selain itu menjadi seorang tenaga pengajar sudah pasti menunjukkan kualitas pendidikannya yang tinggi, karena rata-rata orang-orang di kampungnya hanya lulus SMP atau SMA saja, termasuk Ayu. “Itu kan kata kamu Dian…” Dari raut wajahnya, sepertinya Ayu benar-benar belum bisa menerima kehadiran Bagus sebagai calon suaminya. Ada rasa tertekan dari tatapan matanya. Dian bisa melihat hal itu. Dian hanya bisa menatap sahabat baiknya itu dengan tatapan sendu. Dian sangat mengerti posisi Ayu. Layaknya anak gadis di kampung pada umumnya dengan kehidupan yang masih kolot, kedua orangtua Ayu pasti menginginkan anaknya untuk cepat menikah, begitu pula dengan orangtuanya. Seperti sudah menjadi tradisi orang-orang kampung di sana yang sulit ditinggalkan. Menurut mereka, anak perempuan juga tidak perlu bersekolah tinggi karena pada akhirnya mereka juga akan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah merawat anak-anak mereka. Mereka pun beranggapan jika anak perempuan mereka tidak segera menikah, mereka takut akan jadi perawan tua atau tidak laku. Selain itu, dengan anak perempuan mereka cepat menikah otomatis akan lepas tanggung jawabnya sebagai orangtua. Berbeda dengan orangtua Ratna yang sudah terlihat modern. Selain memiliki kemampuan finansial yang baik, orangtua Ratna pun menginginkan anak-anaknya mempunyai pendidikan yang tinggi agar mendapatkan pekerjaan yang baik. Dian pun sangat memahami, sebagai gadis biasa, ia pun tidak bisa menolak lamaran seseorang yang datang kepada orangtuanya, apalagi untuk laki-laki sekelas Bagus. Jika sampai menolaknya, sudah pasti ia akan menjadi bahan gunjingan orang-orang di kampungnya. Mereka pasti akan menganggapnya sok cantik lah, sok jual mahal lah… Untuk gadis-gadis desa seperti mereka, ada yang datang melamar saja sudah menjadi hal yang patut disyukuri. Urusan cinta, itu akan tumbuh dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Itulah yang banyak orang yakini dalam membina sebuah rumah tangga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD