8. Rusaknya Persahabatan

1360 Words
Sudah beberapa hari ini Ayu tak bisa tidur nyenyak, perasaannya semakin gelisah. Rasanya sepanjang malam waktu berjalan begitu lambat. Ayu berharap pagi segera datang agar ia bisa melakukan aktifitas seperti biasa untuk mengalihkan pikiran. Setelah sholat subuh, seperti biasa Ayu membantu Triningsih di dapur, mencuci piring, mencuci pakaian, atau memasak. “Bapak di mana Bu? Kayaknya dari tadi ngga keliatan. Bapak belum bangun?” tanya Ayu sambil meletakkan piring dan gelas yang sudah bersih ke dalam rak. Sementata Triningsih menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. “Ya sudah lah… masa jam segini Bapak kamu belum bangun. Itu, Bapak lagi dimintai tolong sama Pak Suryo buat angkat-angkat kasur sama lemari.” “Kasur sama lemari?” tanya Ayu sambil mengerutkan keningnya. “Iya… jadi ceritanya Pak Gunawan mau masukin putranya sulungnya itu ke pesantren. Nah, di pesantren dekat rumah itu kan fasilitasnya ternyata masih belum lengkap, terutama kelengkapan di tempat menginapnya. Ya jadi sekalian beliau kasih sumbangan lemari sama tempat tidur. Kalau ndak salah kasih Pak Gunawan kasih juga kasih sumbangan Al Qur’an juga buat santri penghafal Al Qur’an.” “Pak Gunawan yang pemilik perkebunan itu kan Bu? Wah, hebat banget ya Bu… coba kalo Ayu jadi orang kaya, bisa bantu banyak orang…” ucap Ayu sambil matanya menerawang. Pak Suryo adalah ayah Ratna. Selain Pak Suryo adalah mandor di perkebunan, beliau juga kaki tangan Pak Gunawan. Segala urusan di luar pekerjaan, Pak Gunawan selalu meminta tolong kepada Pak Suryo, termasuk mengenai segala urusan administrasi putranya yang akan dimasukkan ke pesantren. Pak Suryo pun sering kali memberikan pekerjaan kepada Sanjoko agar ia mendapatkan upah tambahan untuk sedikit membantu perekonomiannya. Itu karena Suryo mengenal Sanjoko dengan baik sebagai ayah dari Ayu, sahabat putrinya. Triningsih tersenyum sambil menatap putrinya. “Aamiin… semoga suatu saat nanti anak-anak Ibu semua jadi orang-orang yang sukses. Kuncinya adalah kerja keras, dan jangan lupa terus berdoa. Tapi, apa pun kehidupan kita, kita harus tetap bersyukur. Kalaupun kita memiliki segalanya, tapi kalau ndak bersyukur juga kita tetap ndak akan pernah puas,” kata Triningsih menasehati panjang lebar. “Iya Bu… Ayu bersyukur kok, masih bisa makan tiga kali sehari. Apalagi punya Bapak dan Ibu yang sangaaaattt baik dan pengertian,” ucap Ayu sambil tersenyum dan menoleh ke arah Triningsih. “Tapi, kenapa anaknya Pak Gunawan mau dimasukin ke pesantren Bu? Bukannya kalo ngga salah anaknya sudah besar-besar seumur Ayu, Bu?” Ayu memang tidak mengenal putra Pak Gunawan, tapibseingay Ayu dulu ia pernah melihatnya beberapa kali ketika usia mereka masih sama-sama kecil. Beberapa kali keluarga mereka menghabiskan liburan sekolahnya di perkebunan, tapi setelah dewasa mereka susah sekali untuk diajak bepergian, apalagi ke daerah perkampungan. “Kemarin Pak Suryo sempat cerita sedikit ke Bapak, katanya putranya Pak Gunawan itu susah dibilangin, suka semaunya sendiri. Malah beberapa kali ketangkap Satpol PP karna suka balapan liar. Makanya itu Pak Gunawan pengen masukin putra ya ke pesantren biar jadi anak yang bener. Tapi kamu jangan cerita ke siapa-siapa ya Nduk, nanti dikira Bapak kamu yang cerita sama orang-orang, ndak enak.” “Iya Bu… lagian Ayu mau cerita sama siapa. Ratna juga pasti udah tau dari Bapaknya,” kata Ayu. “Yaaa… belum tentu,” ucap Triningsih membantah perkataan Ayu. “Iya juga sih. *** “Dian!” panggil Ayu saat melihat Dian melintas di persimpangan. Dian terlihat terburu-buru mengayuh sepedanya, padahal hari masih terlalu pagi untuk berkeliling menjajakan s**u. Dengan cepat Dian mengerem sepedanya hingga terdengar suara berderit, suara ban sepeda yang beradu dengan paving block. Dian langsung menoleh begitu sepedanya berhasil berhenti dengan sempurna. Ia sudah mengenal betul suara Ayu. Wajahnya terlihat lega setelah elihat Ayu. Ia pun segera berputar arah seolah tidak sabar menunggu Ayu sampai di tempatnya berhenti. “Untung aku ketemu kamu di sini Yu. Tadi aku ke rumah kamu, tapi kata ibu kamu, kamu baruu aja berangkat. Ya udah aku cepet-cepet susulin kamu,” kata Dian yang terlihat ngos-ngosan seperti baru lomba lari. “Memangnya ada apa Dian? Kamu tenang dulu deh. Pelan-pelan ngomongnya.” Dian menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Begitu sampai tiga kali hingga napasnya normal kembali. “Itu Yu… Ratna…” “Ratna kenapa?” tanya Ayu cepat. “Ratna sudah tau kalo kamu sudah dipinang sama Bagus,” ucap Dian. “Yang bener Dian?” tanya Ayu. Dian mengangguk. Ayu tidak menyangka Ratna mengetahui hubungannya dengan Bagus dari orang lain sebelum ia sempat mengatakannya langsung pada Ratna. Dian pun tahu Ayu sudah berniat memberi tahu Ratna. “Ratna tadi pagi sms aku. Dia cuma nanya aku tahu hubungan kamu sama Bagus atau ndak. Aku sendiri juga bingung mau jawab apa. Ya sudah lah biar kamu aja yang jelasin. Semoga Ratna bisa mengerti,” kata Dian menjelaskan. Rupanya kabar pertunangan Ayu dan Bagus begitu cepat berhembus hingga sampai di telinga Ratna. Apalagi ayah Bagus cukup dikenal di lingkungan mereka, juga Bagus yang seorang tenaga pengajar. “Iya Dian… nanti aku coba jelasin ke Ratna,” kata Ayu yang terlihat pasrah. “Ya udah… ngga usah terlalu dipikirin dulu. Kita kan ngga tau reaksi Ratna seperti apa. Ya udah yuk ke Babeh Rojali,” ajak Dian. *** “Minta dua botol ya Mba Ayu,” kata Mba Romlah yang sedari tadi sudah menunggu Ayu di depan rumahnya untuk membeli s**u segar. “Oh iya Mba…” jawab Ayu sambil meminggirkan sepedanya. “Ditaruh di kantong plastik aja ya Mba Ayu. Biar besok Mba Ayu ndak usah repot jadinya harus ngambil botolnya.” “Ndak papa kok Mba… kan biasanya tiap hari juga saya lewat sini.” “Ngga papa Mba. Lagian takutnya besok saya ngga di rumah. Soalnya mau menginap di rumah mertua,” jawab Romlah. “Oh, iya Mba…” Dengan cepat Ayu pun menuangkan dua botol s**u ke dalam plastik bening yang memang selalu disiapkan Ayu dari rumah. “Sebentar ya Mba saya ambil uangnya dulu,” kata Romlah sambil beranjak masuk ke dalam rumah. “Ini Mba…” kata Ayu sambil menyerahkan empat plastik s**u segar. “Maaf Mba Ayu, tadi saya cuma pesan dua.” “Astagfirullah! Maaf Mba, saya lupa,” Buru-buru Ayu mengeluarkan dua bungkus dari kantong plastik. “Tapi itu dituang ke plastik gimana Mba?” “Udah, ngga papa Mba. Lagian saya kok yang salah.” Setelah menerima uang pembayaran, Ayu pun kembali menuntun sepedanya menyusuri gang-gang sempit, berharap s**u segarnya segera habis terjual. Perasaannya tidak enak. Pikirannya sudah tidak menentu memikirkan Ratna. Karena tidak fokus, Ayu pun sampai hampir tertabrak sepeda motor saat meyeberang jalan besar. Hingga akhirnya Ayu memutuskan untuk pulang saja ke rumah. Padahal s**u jualannya masih tersisa beberapa botol. “Ratna?” ucap Ayu lirih. Tanpa sengaja ia melihat Ratna turun dari sepeda motornya dan masuk ke warung Ci Weni. Ia pun bergegas menghampiri warung Ci Weni dan menunggu Ratna di samping sepeda motor Ratna. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Ratna keluar dari dalam warung dengan menenteng satu kantong plastik kecil warna hitam. Ratna sedikit kaget ketika melihat Ayu sedang berdiri memegang sepeda di samping motornya. Ia pun bergegas menuju ke motornya dan langsung menyalakan mesin motor. Ia tidak perduli dengan Ayu yang berada di sampingnya. “Ratna dengerin aku dulu. Ada yang mau aku jelasin sama kamu,” kata Ayu sambil menahan bagian depan sepeda motor Ratna. “Mau jelasin apa?? Kamu tuh bener-bener penghianat,” ucap Ratna dengan nada tinggi. Ia tidak perduli dengan orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Biarlah mereka tahu bagaimana kelakuan Ayu. “Kamu salah paham Rat. Aku tuh……” “Udahlah ngga usah membela diri! Harusnya kamu bilang sama aku dari awal. Aku tuh udah ngerasa kaya orang bodoh di depan kamu!” teriak Ratna memotong perkataan Ayu. “Itu ngga seperti yang kamu pikir Rat. Aku bener-bener baru tahu kalo……” “Mulai sekarang kita ngga usah ketemu lagi!” lagi-lagi Ratna memotong perkataan Ayu. Setelah itu Ratna langsung menarik handle gas meninggalkan Ayu yang masih ingin memberikan penjelasan. “Ratna tunggu!” pekik Ayu. Tapi sepertinya Ratna benar-benar sudah tidak perduli dengan Ayu. Menoleh pun tidak. Ia justru mempercepat laju sepeda motornya. Apa yang Ayu takutkan benar-benar terjadi. Apakah ia benar-benar akan kehilangan sahabatnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD