27. Ketidaksengajaan

1004 Words
Bel pulang sudah berdering. Hana menghela napasnya panjang. Bunyi yang sedari tadi ia dambakan. Bukan hanya sekedar lega, bel itu adalah penyelamatnya. "Sekarang kamu boleh duduk," ucap Pak Iqbal. Pasalnya sepanjang jam pelajaran dimulai Hana harus berdiri di depan kelas karena menjadi orang sial hari ini. Pak Iqbal selalu mencari tumbal tiap pertemuannya dengan menunjuk satu orang siswa untuk mengerjakan soal yang ia berikan. Jika orang tersebut tidak bisa menjawabnya maka akan menerima hukuman darinya. Untung saja hukuman yang diterima Hana hari ini hanya berdiri di depan kelas sampai waktu pulang tiba. Biasanya, Pak Iqbal akan memberi hukuman yang lebih parah seperti membuat makalah dari 10 jurnal keluaran tiga tahun terakhir atau hukuman fisik seperti membersihkan lapangan sekolah sambil menghapal materi. Membayangkannya saja Hana sudah mual. Cewek itu lantas merapikan buku-bukunya ke dalam tas. Netra hitamnya bergerak mencari Tobias di dalam kelas. "Udah keluar anaknya," celetuk Gani. Cowok satu itu seperti sudah paham saja sama apa yang Hana pikirkan. Hana berdecih, "Emangnya gue nyari Tobias," katanya sambil berlalu. Gani mengernyitkan dahinya. "Lah, sapa yang nyebut Tobias?" *** Tidak seperti sebelumnya, gedung olahraga sekolahnya kini sudah diisi oleh anak-anak tim voli yang tengah berlatih. Bunyi decitan yang berasal dari gesekan sepatu dan lantai serta debuman dari bola yang memantul memenuhi ruangan itu. "Udah pada dateng aja," komentar Hana. Tobias berjalan ke arah kursi yang berada di pinggir lapangan. "Kemaren jam segini mereka belum pada dateng. Kok sekarang cepet banget," kata Hana sambil mengetuk dagunya dengan jari. "Pulangnya lebih cepet, ya?" "Enggak. Seperti biasa. Jam empat atau setengah lima." Alis Hana terangkat. "Latihannya lebih lama dong?" "Pertandingan sebentar lagi. Anak-anak di sini pada ambis-ambis asal lo tau." Tobias membuka baju seragamnya. "Aish, Tobias." Mata Hana melotot. Ia menutup kembali seragam yang sudah hampir terbuka. "Pake di kamar ganti." "Apa sih kelamaan." Entah kekuatan dari mana. Hana berhasil mendorong cowok itu masuk ke dalam satu ruangan lalu melempar tas milik Tobias dari luar. "Pake di dalem situ," titah cewek berambut gelombang itu. Tak lama pintu terbuka. Menampilkan Tobias yang sudah mengganti seragamnya dengan kaus berwarna biru dongker. Semenjak teman-teman perempuannya tahu badan Tobias. Entah kenapa, Hana merasa nggak rela kalau makin banyak cewek yang melihat bentuk tubuh sahabatnya itu. "Minggir." Wajah Hana mendongak. "Apa?" "Gue mau lewat," kata Tobias sambil menggeser tubuh Hana ke samping. "Ya lo lewat aja kutil, jalanan masih luas!" seru Hana sambil meninju-ninju udara. Tobias mengambil bola voli dari keranjang. Mengambil posisi untuk bersiap melakukan servis. Seperti biasa, semua terperangah melihat spike yang dilakukan Tobias. Terlihat seperti cambukan yang keras dan cepat. Fajri menepuk tangannya kemudian mengangkat kedua jempolnya. "Mantep, Yas." Bagi Hana, itu hal yang biasa. Dia sering melihat Tobias melakukan itu. Iya, hanya dia. "Lo kenal Tobias udah lama?" Suara itu berasal dari sampingnya. Hana menoleh, memperhatikan perempuan berwajah jutek itu dari atas sampai bawah. "Udah lama?" tanya perempuan itu lagi. "I-iya, Kak. Udah dari TK." Perempuan berambut pendek itu hanya mengangguk kecil. "Kakak?" "Gue April dari tim voli putri." Dalam hati, Hana ber-oh ria. "Oh iya, nggak usah kakak. Lo se-angkatan sama Tobias, kan? Gue juga kelas sebelas soalnya." "Oh, serius kelas sebelas?" April mengangguk. "Kenapa?" Hana bergeleng cepat. "Nggak papa, soalnya keliatan lebih tinggi gitu gue kira udah kelas dua belas." Mata Hana bergulir ke arah lapangan. Tidak ada tim voli putri di sana. Namun, kenapa April apa di sini? "Gue mau nontonin tim putra aja." Seperti tahu isi hati Hana. April menjelaskan. "Tim voli putri selalu gagal masuk tiga besar ekskul di Galena." Matanya terpusat pada Radit yang tengah memberikan pengarahan pada timnya. "Setidaknya tahun ini gue mau tim voli putri bisa masuk tiga besar." Kemudian ia menoleh ke arah Hana. "Makanya gue di sini." Melihat tekad yang kuat di mata April. Berada di tengah orang-orang yang tengah memperjuangkan kemenangan. Membuat ketidaknyamanan aneh dalam diri Hana. Ini seperti menjelaskan kalau di sini hanya Hana yang tidak mempunyai tujuan. Cewek itu melihat jam di pergelangan tangannya. Ternyata, jam empat masih lama. Hana berbalik mengayunkan kakinya ke luar gedung olahraga. Sepertinya pemandangan di luar lebih menyenangkan. *** Cowok itu memarkirkan motornya di dekat gerobang hijau bertuliskan bakso. "Titip, ya, Mas. Saya mau masuk ke SMA itu sebentar." Pemilik gerobak itu tersenyum ramah membolehkan. Setelah mendapat izin, lantas cowok itu berlari kecil menuju sekolah yang memiliki gerbang yang sangat tinggi. Setelah masuk ke gerbangnya ia masih harus berjalan sekitar tiga ratus meter menuju gedung sekolahnya. Cowok itu sengaja tidak memasukkan motor bebeknya ke dalam sekolah. Menurutnya itu akan menarik perhatian orang-orang sekitarnya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah empat, tapi yang ia lihat sekolah ini belum benar-benar sepi. Di lapangan pertama ia melihat anak laki-laki yang menggunakan baju basket tengah memainkan bolanya. Lapangan kedua ia melihat ekskul karate tengah berlatih. Kemudian ia melewati ruangan yang tertulis 'Sanggar Pramuka'. Saat matanya tengah asyik melihat sekelilingnya ia tak sengaja menendang seseorang. Ia tersentak dan melihat ke bawah. Suara aduhan lolos dari mulut orang itu. "Maaf maaf gue nggak sengaja." Ia berjongkok untuk melihat kondisi orang tersebut. *** Hana panas dingin ketika menyadari kunci motor yang Tobias titipkan padanya tidak ada di saku bajunya. Ia menelusuri jalan yang ia lewati sebelumnya. Bahkan perempuan itu pun menanyakan kepada orang sekitar yang lewat. Sebenarnya bisa aja ia meminta ke pusat informasi untuk mengumumkan barang hilang. Tapi, kalau dia melakukan itu jelas Tobias akan tahu. Kalau Tobias masih Tobias yang ia kenal dulu, Hana tidak akan sepanik ini. Pasalnya, Tobias sekarang sudah memainkan politik ngadu ayah alias apa-apa dia akan mengancam untuk mengadukannya ke ayah. Hana bahkan rela berjongkok untuk mencari kunci itu. "Ah, mati dah gue kalo sampe nggak ketemu." Cewek itu sampai mencari ke dalam tempat sampah. Padahal ia tidak pernah mendatangi tempat sampah itu. Kemudian ia mencari ke kolong kursi-kursi dan meja panjang yang berada di pinggir jalan. Ke dalam pot bunga, lalu ... "Argh duh!" Tersungkur. Betapa apesnya Hana saat ini. Habis kehilangan kunci motor Tobias ditambah lagi harus ditendang sama seseorang. "Kalau jalan pake mata dong anjir. Untung jidat gue gak kejedot!" protes Hana sambil membersihkan seragamnya. "Maaf maaf gue nggak sengaja."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD