43. Salah Menduga

1013 Words
Mendengar teriakan dari Hana, Tobias jadi tersedak dengan air liur sendiri. Ia batuk-batuk sambil memukul dadanya. Mas Rafi, fotografernya, memberi botol minum kepada Tobias. "Sampe kaget gitu diteriakin sayang sama pacar," goda Mas Rafi. Tobias bergeleng cepat. "Bukan, Mas. Itu temen saya, cuma nggak tau otaknya lagi kenapa." Rafi tertawa ia menepuk bahu Tobias seperti sudah paham saja apa maksud lelaki SMA itu. Tobias mulai pemotretan. Di sana sudah tersedia bangku, kursi, dan buku paket. Tobias berpose seolah-olah tengah belajar di kelas. Dari ekor matanya, Tobias bisa melihat Hana memberikan finger love kepadanya. Jika Hana yang melakukannya, dia bukannya merasa berbunga-bunga. Jatuhnya malah malu. "Han, bisa diem nggak sih lo. Malu-maluin gue aja tau nggak," kata Tobias dalam hati. Saat istirahat sebentar dan Kak Iren membenahi make up-nya. Tobias memberi sinyal mata kepada Hana yang berarti. "Lo ngapain begitu." Namun, Hana membalasnya dengan memberikan sinyal. "Udah, tenang aja." "Bi, semangattt!" Mendengar teriakan Hana para kru langsung memberikan tatapan meledek kepada Tobias. "Enggak kok. Nggak kayak yang kalian pikirin." Tobias menggeleng sambil menggoyangkan tangannya. Matanya membesar, tampangnya sudah meyakinkan. Namun, tetap saja para kru hanya memercayai apa yang mereka lihat. Astaga, Hana bisa dipastikan habis ini lo nggak akan lolos dari gue! *** Setelah dua jam lebih berada dalam ruangan yang menyesakkan. Akhirnya Tobias bisa keluar juga. "Tadi tuh cewek-cewek pada gibahin gue. Daripada gue kesel sendiri. Ya udah gue panas-panasin aja mereka." "Tapi harus bikin malu gue juga?" dumelnya. Hana berjalan cepat dan berdiri di depan Tobias. "Bikin malu gimana?" Tobias sedikit terkejut karena keberadaan Hana di depannya yang mendadak. "Ya kru yang lain pada—" "Apa?" "Nggak jadi." Tobias menggeser bahu Hana agar minggir. Kayaknya tidak mungkin Tobias mengatakan "Mereka ngira kita pacaran". Entah kenapa itu terdengar sangat canggung. Tobias kembali berjalan tanpa memberikan melanjutkan omongannya lagi. Membuat Hana menjadi penasaran. Ia berlari menyejajarkan langkahnya sambil menghujani Tobias pertanyaan. "Apa? Kru lain pada kenapa?" "Nggak," jawab Tobias singkat. "Apaan, Bi. Itu kenapa? Kru nya kenapa?!" "NGGAK ADA!" "Bohooong!" *** Pada akhirnya Hana memutuskan untuk bergabung pada ekstrakulikuler jurnalistik di sekolahnya. Ia memasuki ruangan jurnalistik. Bau buku dan kertas menyeruak ke dalam rongga hidung Hana. Ia belum pernah memasuki ruangan ini sebelumnya. Betapa ia takjub melihat beberapa penghargaan yang dicapai ekskul ini ditaruh di dalam lemari kaca. Beberapa majalah karya ekskul jurnalistik Galena disusun rapih sesuai dengan tahun terbit. Hana juga melihat projek lain dari ekskul ini yaitu antalogi cerpen, dan lembaran majalah dinding sekolah. Hari ini bukan jadwal ekskul mereka. Namun, Hana diberi pesan oleh ketua ekskul jurnalistik untuk menemuinya sepulang sekolah untuk pemberian name tag keanggotaan. Seorang perempuan berkacamata dengan rambut pendek lurus sebahu memasuki ruangan ini. Hana tersenyum ramah kepadanya. "Kak Nadia?" "Iya." Nadia membalas senyum Hana dan mengulurkan tangannya. "Kenalin, Nadia." Hana membalas uluran itu. "Aku Hana, Kak." Setelah terlepas Nadia mengajak Hana duduk. "Jadi, udah yakin nih masuk ekskul jurnalistik?" Hana mengangguk. "Tapi sebenernya yang aku bisa cuma nulis cerita aja sih, Kak. Untuk nulis berita nggak bisa. Milih ekskul ini karena paling mendekati itu." Nadia tertawa renyah. "Iya, nggak apa-apa. Banyak kok yang kayak gitu. Lagipula di sini kita sama-sama belajar." Mendengar itu, membuat hati Hana sedikit lega. Jujur, awalnya ia sedikit takut kalau misalnya saja dituntut harus sudah bisa menulis membuat berita. Kak Nadia pun menjelaskan jadwal dari ekskul ini. Selama seminggu mereka akan mengadakan pertemuan dua hari. Anggota dituntut aktif dalam pembelajaran dan kegiatan. Bocoran dari Kak Nadia katanya anggota jurnalistik harus memperbanyak lagi bacaan, referensi bacaan karena itu akan membantu dalam proses pembelajaran. Usai menjelaskan itu semua, Nadia memberikan kartu keanggotaan pada Hana. "Makasih, Kak." "Oke, sampai ketemu Kamis nanti." Setelah berpamitan, Hana keluar dari ruangan jurnalistik. Tobias menunggunya di luar. "Jadi udah fix di sini?" Hana mengangguk. Mereka berjalan bersisian menuju parkiran. Melewati papan mading, Tobias berhenti sebentar. Ia menunjuk papan itu. "Nanti lo yang buat ini." Hana melihat lagi majalah dinding karya ekskul jurnalistik SMA Galena. Duta Galena sudah terpilih, berikut profil singkatnya Pemilihan Ketua OSIS semakin dekat, kriteria seperti apa yang mereka harapkan? Galena Highschool masuk 10 besar peringkat tertinggi se-Jakarta Puisi Hari Guru Cerpen Mingguan Hana tersenyum. Dadanya jadi berdebar membaca semua judul itu. Sebentar lagi dia akan menjadi bagian dari penulis-penulis ini. "Bi, gue denger, ya, ekskul jurnalistik ini jarang loh diadain di semua sekolah." "Oh, ya? Padahal mading ini kan selalu ada di sekolah-sekolah. Kalau nggak ada anak-anak jurnalistik terus yang bertanggungjawab sama mading siapa?" Hana mengendikan bahunya. "Mungkin anak OSIS." "Emang semua anak OSIS bisa nulis gini?" "Gue kata Syabil. Di SMA dia katanya nggak ada ekskul jurnalistik. Waktu sebelum gue masuk ekskul ini gue nanya-nanya ke dia ekskul yang cocok buat gue apa. Terus gue nanya jurnalistik tuh ngapain. Eh, dia nggak tau. Katanya nggak ada ekskul itu di sekolahnya." "Terus?" Hana menoleh ke arah Tobias. "Gue beruntung sekolah di sini," katanya sambil menampilkan cengir lebar. "Karena lo mau gue ajak sekolah di sini. Coba kalau lo nggak mau." "Kenapa juga karena gue? Lo bisa sekolah di sini juga tanpa gue." Hana bergeleng. "Gue mah sekolah di mana aja asal sama lo." "Jadi lo nggak ada niatan sekolah di sini awalnya?" Alis Tobias terangkat satu. Kepala cewek itu mengangguk cepat. "Gue kan ke sini karena voli Galena bagus." Hana memusatkan kembali atensinya pada mading sekolah. Tepatnya pada berita Kemenangan Voli SMA Galena. Tobias tersenyum miring. "Karena Kak Radit." "Gue ke sini karena mau liat lo masuk ke tim voli terbaik di Jakarta, ya salah satunya SMA Galena. Radit cuma alasan gue doang saat itu." Tobias terdiam. "Terus kalau lo masih nggak mau juga, ya, gue suruh lo masuk SMA Cakrawala. Dia saingannya Galena. Langganan masuk final itu Galena sama Cakrawala. Gue nggak peduli sama prestasi atau apapun itu." Hana menunjuk pengumuman voli yang ia lihat. "Nanti kalau lo menang di final. Gue yang nulis ini buat lo. Hehe." Cowok itu masih menatap Hana dengan tatapan yang tidak bisa diartikan "Udah, ah. Ayo, Bi. Kita pulang sekarang." Bahkan ia tidak tahu kalau selama ini Hana pun memedulikannya. Tobias pikir selama ini hanya dialah yang selalu mementingkan Hana di atas segalanya. Nyatanya, tidak. Ia sudah salah menduga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD