14. Perhatian

1123 Words
“Gue mau ngumpul sama anak voli.” “Ya udah, gue ikut,” desak Hana. Tobias berusaha keras menyuruh Hana untuk balik ke rumah. Namun, cewek itu sangat keras kepala. Baru kali ini Tobias melihat Hana bersikeras ingin memperhatikannya seperti perintah ibu cewek itu. “Lo bakalan marah-marah nanti karena gabut.” Tobias menghentikan langkahnya. Ayunan kaki Hana terpaksa berhenti mengikuti cowok itu. Hana mengibaskan tangannya. “Nggak akan, tenang aja,” keukeuhnya. “Gue udah diamanatin Ibu buat nemenin lo, merhatiin makan lo. Lo, kan, punya maag, kalo nanti lo sakit yang diomelin siapa? Ya, gue!” kilah Hana. Padahal ia selalu lolos dari amukan orang tuanya karena Tobias selalu membela cewek itu. Ini kesempatan untuk Hana mendekati Tobias, mencari tahu alasan sebenarnya laki-laki itu berubah. Hana tidak akan menyia-nyiakannya. Desahan kecil lolos dari bibir Tobias. Ia tidak akan bisa menang melawan kepala batunya Hana. Dalam hati Hana menjerit girang ketika Tobias mengatakan sesuatu. “Kita pulang aja,” putus Tobias dan kembali melanjutkan jalannya menuju parkiran sekolah. *** Senandung yang keluar dari mulut Hana entah kenapa bagi Tobias lebih mirip seperti nyanyian dari neraka. Untuk itu ia menyumpal kedua telinganya dengan headset. Matanya tertutup dengan tangan ia lipat di depan d**a. Cowok itu merebahkan tubuhnya di atas kasur king size miliknya. “Woah! Udah diambil, sama ojolnya, nih, Bi.” Kaki Hana bergerak ke atas dan bawah dengan posisi badan tengkurap. Karpet beludru berwarna biru terasa hangat di kulit Hana. Ia memutuskan memesan makanan lewat online karena saat jalan pulang tadi Tobias enggan mampir ke warung makan. Dengan memakai saldo cowok itu, Hana menggunakan ponsel Tobias untuk memesan makanan. Cewek itu mendongak melirik ke arah Tobias karena tak kunjung mendapat jawaban. “Ish, disumpel kupingnya pantesan nggak denger,” gerutu Hana. Melihat mata Tobias terpejam, Hana jadi memiliki ide nakal. Ponsel milik cowok itu yang ia pegang seperti merayu Hana untuk membuka aplikasi pesan. Setan di telinga kirinya terus membisiki Hana bahwa ini kesempatan yang tidak boleh ia sia-siakan. Mata Hana melirik sekali lagi ke lelaki jangkung itu. Tangannya sudah bergerak menekan aplikasi berlogo telepon. “Yah, kepencet,” kata Hana berbisik. “Gimana, nih, Tobias. Gue nggak sengaja mencet w******p lo, hehe.” Hana terkekeh sendiri. Rencananya berhasil. Satu nama yang pertama kali Hana lihat, membuat cewek itu terdiam sesaat. “Ojolnya udah sampe mana?” Suara bariton milik Tobias menyentak Hana. Cewek itu gelagapan, langsung terduduk sambil menggerakkan jarinya berusaha keluar dari aplikasi pesan. Ia tergagap saat menjawab. “Eungh, ituan, anunya gue tadi liat baru dianter sama ituan.” Kening Tobias berkerut. Bola hitam itu melirik ke arah ponselnya. Hana buru menunduk berpura-pura mengecek aplikasi ojek. “Tuh, udah masuk ke perumahan lo.” Hana berdiri dan sedikit berlari menuju pintu keluar. Karena kaus kaki yang ia pakai, Hana sampai terjatuh. Suara gedebuk yang tercipta membuat Tobias sontak menegakkan tubuhnya. “Pelan-pelan aja,” peringatnya. Hana mengusap lututnya yang terasa berdenyut. Cewek itu menyengir lebar sambil mengangkat ibu jarinya. “Gue nggak pa-pa kok. Santai.” Ia kembali berdiri dan keluar dari kamar itu. Sesampainya di luar Hana menjerit tertahan. Meringis karena denyutan itu belum hilang. “Sialan, Tobias ngagetin aja.” Ia melirik ke lututnya. “Biru, deh.” Bunyi notifikasi dari ponsel Tobias menarik perhatian Hana. Membuat cewek itu memaksa berdiri menuju pintu utama rumah. Saat pintu besar berhasil terbuka, Hana membeku. Netranya tak berkedip untuk beberapa detik. “Ini pesenan Kak Bias, ya? Dititipin ke aku tadi.” Perempuan berkulit putih dengan mata monolid itu tersenyum tipis sambil menyodorkan bungkusan makanan. Cewek itu, Viola, tetangga depan rumah Tobias. Nama yang barusan ia lihat di aplikasi pesan milik Tobias. “Han! Gue aja yang ambil makanannya kalo kaki lo sakit.” Tobias berseru dari arah tangga. Membuat fokus Hana teralihkan kepada lelaki itu. Tobias sedikit terkejut dengan kehadiran Viola di ambang pintu. Namun, ekspresi itu hanya sekilas saja. Tobias kembali menguasai ekspresi wajahnya dan bersikap normal lagi. “Viola,” gumam Tobias. Saat Tobias sudah berdiri di antara Hana dan Viola, ia kembali membuka mulutnya. “Han, lo pulang aja sekarang.” “Ha?!” Kompak Viola dan Tobias menoleh ke arahnya. “Emang kalian mau ngapain? Kok gue diusir?” protes Hana. “Viola mau belajar. Dia minta bantuan gue buat ngajarin.” “Enggak mau,” tukas Hana. Dengan terseok ia berjalan menuju sofa dan menempatkan bokongnya di sana. Tangannya melambai gaya mengajak mendekat. “Ayo sini! Kita belajar bareng.” Tobias melongo tidak menyangka. Seorang Hana Lovira mau belajar?! “Han, kami nggak mau main, lho. Gua sama Viola mau be-la-jar, belajar, Han, ” kata Tobias menekankan kata belajar. Hana mengangguk mantap. “I know.” Melihat Tobias masih melempar pandangan tidak percaya membuat Hana berdecak kesal. “Gue juga, kan, mau pinter, Bi. Masa kalian doang yang pinter terus gue bego.” “Ini pelajaran kelas sepuluh, Han.” Dalam benaknya, Hana ber-oh ria, baru tahu kalau Viola setahun di bawahnya. “Iya, nggak pa-pa. Gue waktu kelas sepuluh, kan, tidur terus nggak pernah belajar. Nah, sekarang gue mau ikut kalian ngebahas materi kelas sepuluh,” jawab Hana dengan santai. Ia sedang berada di mode keras kepala. Sinyal itu sudah tertangkap oleh Tobias. Maka dari itu Tobias hanya menghela napasnya dan membiarkan Hana ikut dalam kegiatan itu. Padahal dulu boro-boro Hana mau belajar bareng, biasanya dia lebih memilih tidur di kamar Tobias dan menjelajahi kasur berukuran 180 cm × 200 cm. Tobias berjalan ke arah Hana. Ia berjongkok di depan cewek itu. Hana tidak bisa jelas melihat apa yang Tobias lakukan saat cowok itu menunduk. Kemudian tiga jari Tobias mengusap lututnya. Aroma minyak urut yang begitu khas langsung menusuk indra penciuman Hana. Dalam diam Tobias mengolesi minyak urut itu. “Minyak urut di rumah ini abis gara-gara lo doang.” “Kok gue?!” sulut Hana tidak terima. “Yah ... Kemaren baru kejedot, terus sebelumnya kepleset sampe pinggangnya sakit. Sekarang kaki. Minyak urut ini udah tumpah di badan lo, Han.” Tobias mendongak, sepasang mata elangnya bertemu dengan mata bulat Hana. “Jangan bandel makanya,” kata Tobias sambil menyentil dahi cewek itu. Setelah itu Tobias kembali menghampiri Viola mengambil alih kantong makanan yang dibawa perempuan itu. “Duduk aja dulu, gue mau ke belakang,” katanya sambil mengangkat kantong di tangannya. Hana membeku di tempat. Tobias memang sering mengobatinya. Dia sudah terbiasa dengan usaha pertolongan pertama yang dilakukan lelaki itu. Namun, entah kenapa perlakuan Tobias kali ini terasa berbeda. Biasanya Tobias hanya fokus mengobati tanpa bersuara. Kali ini, cowok itu memarahinya. Mata Hana mengerjap cepat saat sofa yang ia duduki bergerak. Ia menoleh ke samping dan mendapati lelaki itu berada di sana. “Tobias.” Tobias membalas dengan deheman. Fokusnya sudah berada di ipad-nya. “Lo bener-bener berubah.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD