12. Kemungkinan yang Lainnya

1258 Words
Perkataan yang dilontarkan Syabil kemarin berhasil menghantui Hana sampai detik ini. Tobias bahkan terlihat biasa saja untuk ukuran perjodohan di masa SMA. Sebenarnya, hampir 99% dapat dipastikan kalau pendapat Syabil itu tidak benar. Namun, Hana merasa perlu memastikan lagi kebenaran itu. Untuk itu, Hana memutuskan menghampiri Tobias saat jam istirahat berlangsung. “Ke kantin, yuk!” Tobias melihat ke arah mata Hana. Biasanya, jika Hana mengatakan itu memiliki makna “Jajanin gue, yuk!” “Enggak, anjir! Gue nggak minta dijajanin.” Seperti dapat membaca pikiran Tobias, Hana langsung menyanggahnya. Tobias kembali menutup bukunya yang masih terbuka. Mendorong kursi ke belakang dan berdiri. Hana berjalan lebih cepat untuk memposisikan dirinya di depan Tobias. Satu langkah kaki Tobias sama dengan dua langkah kaki Hana. Jadi, perempuan itu harus memastikan bahwa Tobias harus mengikuti kecepatan kakinya. Dalam diam Hana berpikir dimulai dari mana menanyakan tentang tetangga baru depan rumah Tobias. “Depan rumah lo udah ada yang nempatin, ya?” Tobias berdehem sebagai balasan. Hanya itu responsnya. “Lo kenal?” “Ya.” Hana kira akan ada lanjutannya lagi. Namun, tampaknya Tobias enggan menjelaskan lebih detail. Kondisi antrean di kantinnya masih panjang. Dalam antrenya Hana sibuk menyusun kalimat di otaknya. “Kok bisa kenal?” “Emang mereka siapa?” “Udah lama kenal?” “Bisa kenal lo dari mana? “Lo dijodohin sama tetangga lo, ya?” Hana bergeleng cepat. Tidak ada opsi yang tepat yang bisa ia gunakan. Tiba di mana giliran Hana yang mengambil piring makanan. Ada menu telur rebus untuk hari ini. Setelah mendapatkan makanannya Hana dan Tobias segera mencari tempat duduk. Mereka berdua sama-sama memotong telur untuk memisahkan kuning dan putihnya. Tanpa bertanya atau berucap lagi Hana memberikan putih telurnya kepada Tobias. Sebaliknya, laki-laki itu memberikan kuning telur kepada Hana. Orang yang melihatnya pun akan tahu kalau itu sudah menjadi kebiasaan. “Bi,” panggil Hana. “Hm?” Tobias menyuap makanannya dengan tenang. “Nggak jadi, deh.” Hana kembali melanjutkan makannya. Namun, sedetik kemudian. “Bi.” Lagi, Tobias hanya berdeham. Membuat Hana lagi-lagi mengurungkan niatnya. Lalu.... “Bi.” “Apa Hana Lovira?” Kali ini Tobias menjawabnya lebih panjang bahkan mengikutsertakan nama lengkap Hana. Masih ada ragu di hatinya. Namun, melihat raut kesal Tobias membuat Hana kali ini harus mengutarakan pertanyaannya. “Lo udah dijo—“ “Wey! Tobias!” Mata Tobias beralih ke arah sumber suara. Ia mengangkat satu tangannya. “Sini, Kak.” Hana mengutuk siapa saja yang mengganggu rencananya. Ia menoleh ke belakang, mendapati segerombolan laki-laki yang ia temui kemarin di gedung olahraga. Yang memanggil Tobias barusan adalah orang yang menyelamatkan dirinya. Kak Farhan, libero tim voli mereka. Memiliki rambut keriting yang hanya berpusat di atasnya. Sisi sampingnya ia potong dan disisakan satu senti rambut. Padahal dia kelas dua belas, tetapi kalah tinggi dengan Tobias, pikir Hana. Namun, Hana tidak menampik kalau kemampuan Farhan dalam penerimaan bola kemarin luar biasa. Kalau tidak ada Farhan mungkin sekarang wajah Hana harus diperban. Lalu di samping Farhan adalah orang yang Hana ketahui sebagai setter tim mereka, Fajri. Sekaligus orang yang meneriaki Tobias kemarin, memiliki tinggi 177 senti, gigi kelinci, kulit kuning langsat, dan potongan rambut fringe. Visualnya cocok jika ia mau mendaftar menjadi artis. “Join, ya? Ini bukan lagi pacaran, ‘kan?” kelakar Farhan. “Enggak kok, Kak. Dia temen gue dari kecil. Kenalin namanya Hana.” “Nggak ganggu pedekate, ‘kan?” timpal orang disebelah Farhan. Dia adalah Ricki, ace tim mereka. “Enggak kok Kak Ricki,” jawab Tobias sambil menggeser duduknya untuk mempersilakan teman-teman barunya duduk. Hana merasa tersingkir, tidak mungkin dia lanjut makan di tengah para lelaki ini. Untuk itu ia memutuskan berdiri dan pamit dari mereka. “Eh, dia malah pindah. Nggak apa-apa tuh?” Radit bertanya. Tobias bergeleng. “Nggak apa-apa, Kak. Biasa aja kok.” Hana menggerutu dalam hati, baru kali ini dia terusir secara halus karena Tobias dikelilingi teman. Biasanya malah kebalikannya, Tobias yang harus menyendiri karena Hana bersama teman-temannya. Untungnya mata Hana menangkap keberadaan Dira dan teman perempuan sekelasnya yang lain tengah mengambil posisi makan di meja tengah kantin. “Eh, Hana,” kata Intan. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. “Pantesan, saingan lo banyak bener, tuh, Han,” kata Intan melihat tempat duduk Tobias yang sudah dikelilingi teman satu ekskulnya. Hana berdecih, “Bilangnya, kita join, ya. Tapi jumlah mereka ngerebut jatah duduk gue.” Sonia tergelak, “Sabar.” Perempuan itu menyeruput minumannya sebelum melanjutkan omongannya. “Setau gue anak voli emang solid, Han. Mereka, ‘kan, kalau makan selalu ngumpul di satu meja. Paling heboh lagi.” Dira di samping Hana, menepuk bahu perempuan itu menenangkan. “Udah di sini aja sama kita.” Hana mendesah panjang. Matanya menyorot ke arah meja Tobias. Entah apa yang mereka bicarakan, Tobias tampak tertawa geli karena guyonan temannya. “Mereka anak voli atau komika, sih? Tobias yang nggak pernah ketawa jadi ngakak gitu.” Debi memutar matanya malas. “Anak ini. Lo lebih mirip emaknya Tobias, deh, Han, ketimbang sahabatnya.” “Gue malah pas pertama kali sekelas sama Hana Tobias ngiranya mereka adek-kakak. Kembar nggak identik gitu,” komentar Nurul. “Iya, ya, nggak kayak sahabatan, lebih ke Hana kakak diktator yang sukanya nyuruh-nyuruh terus marah-marah,” timpal Intan diiringi gelaknya. “Tobias sabar banget lagi selama ini,” balas Sonia. Hana asyik melanjutkan makannya. Komentar seperti itu sudah biasa ia dengar. “Tapi kayaknya Tobias udah ngundurin diri jadi bawahannya Hana, ya.” Mata Hana melirik ke arah orang yang barusan bicara. “Hehe, ampun, Han!” seru Intan. Hana meraih kotak tisu di depannya. Menarik berapa helai tisu dan menggulungnya. “Resek lo, ye!” Intan tambah tergelak kala serangan tisu mendarat ke arahnya. Hana selalu menampik penilaian orang kepadanya. Padahal dalam dirinya, ia membenarkan semua pendapat itu. *** Jam istirahat masih berlangsung. Setelah mengenyangkan perut, Hana dan teman-temannya pergi menuju kelas. Kelas mereka berada di lantai dua dan menghadap ke tengah lapangan. Dari balkon depan kelasnya, Hana dapat melihat segerombolan laki-laki tengah bermain voli. “Itu Tobias,” kata Sonia. Hana diam memperhatikan. Beberapa siswi mulai berkumpul di pinggir lapangan. Terdapat dua lapangan outdoor di sekolahnya dan satu gedung olahraga indoor. Di bawah sana sudah ada dua permainan olahraga yang dimainkan. Lapangan A dipakai oleh Tobias dan kawan-kawannya sedangkan di lapangan B digunakan untuk bermain basket. “Tim voli sama tim basket lagi ambis, tuh,” celetuk Nurul di samping Hana. “Ambis apa?” Hana menoleh ke arah Nurul. “Tahun lalu yang ada di urutan pertama peringkat ekskul sekolah kita tim basket karena nyumbang emas tingkat nasional. Tim voli di urutan ke dua.” Nurul menghentikan penjelasannya karena terkejut dengan servis kencang milik Ricki, ace tim voli. “Gila,” gumamnya. “Lanjutin lagi! Jangan setengah-setengah.” “Tahun lalu tim voli kita belum berhasil masuk final di tingkat nasional. Baru nyumbang emas tingkat provinsi. Ekskul voli sama basket Galena itu diem-diem bersaing untuk mendapat posisi pertama. Tiap tahun rebutan piala bergilir.” Hana ber-oh panjang. SMA Galena memberikan apresiasi kepada anak muridnya dengan mengadakan piala bergilir untuk ekstrakurikuler berprestasi. Imbalannya, setiap anggota ekstrakurikuler akan diberi tunjangan pendidikan. “Satu anggota dapet uang saku satu juta pertahun, Han! Gimana mereka nggak semangat ngejar posisi pertama!” tambah Intan menimbrung. Mata Hana kini berfokus pada satu orang bertinggi 180 senti. Rautnya tampak serius untuk ukuran pertandingan main-main saja. Tidak mungkin alasan Tobias karena itu juga. Dia tidak terlalu mementingkan uang saku. Bahkan, pertanyaan tentang tetangga baru saja belum terjawab sudah muncul kemungkinan lain lagi. ‘Tobias! Lo buat gue gila!’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD