2. What's wrong with Tobias?

1085 Words
Getaran yang awalnya terasa pelan semakin lama semakin kencang. Beberapa pensil yang berada di atas meja menggelinding karenanya. Gani yang tengah menopang dagu di atas meja turut merasakan getaran itu hingga ke pangkal rambutnya. “Lo bisa diem nggak, sih?” Saat lelaki itu berusaha fokus mendengar Bu Dwi—guru biologinya—berdongeng, perempuan di sampingnya malah menciptakan gempa lokal di meja mereka. Hana menggigit bibir bawahnya. Hidungnya kembang kempis seperti menahan sesuatu. “Kalo mau ke kamar mandi jangan ditah—“ “Gan, lo bisa matematika nggak?” Gani mengerutkan dahinya. Ekspresi Gani membuat Hana tambah frustrasi hingga mengacak-acak rambut. “Apa jam pelajaran matematika nanti gue bolos aja, ya.” “Lah, lo bukannya pinter matematika?” Gani memiringkan wajahnya untuk menyejajarkan wajah Hana yang berada di atas meja. Mata Gani melebar. “Jangan bilang selama ini lo.” Tangannya menutup mulut mendramatisir. “Nyontek ke Tobias?” bisik Gani. “Kalkulator berjalan gue!” Hana membenturkan dahinya ke meja. Kehidupannya untuk ke depan ia pastikan tidak akan berjalan lancar. “Na, lo sama Rio begoan siapa?” Rio adalah teman sebangku Gani sebelumnya. Hana mengangkat wajahnya. Kerutan di wajah Hana membuat Gani bergeleng kepala. “Rio nggak pernah sedepresi ini. Oke begoan lo,” putus Gani. “Gue harus gimana, Gan.” Bibir Hana melengkung ke bawah. Gani mengetuk jarinya ke dagu. “Selama ini dia mau lo suruh-suruh. Suruh lagi aja.” “Lo nggak liat tadi.” Hana memajukan wajahnya. “Dia bilang ‘kalo gue nggak mau. Lo mau apa?’ anjir nggak tuh. Tau gitu gue nggak akan nolongin dia,” ucap Hana meniru perkataan Tobias. Gani mengangguk. “Dia punya hutang budi sama lo, ya?” “Iy—“ Mata Hana bergulir ke samping. Sepertinya tidak. “Gue pernah gendong dia waktu masih kecil. Kalo nggak ada gue mungkin Tobias udah nggak tertolong.” Mulut Gani membulat membentuk ‘Oh’. “Emang dia kenapa?” “Jatoh dari sepeda.” “Jatoh sendiri?” “Waktu itu gue yang nyetir sepedanya.” Nada Hana merendah. Menyadari kesialan Tobias itu lantaran dirinya. “Tapi gue udah nolong dia!” sergah perempuan itu menepis fakta yang terlintas di pikirannya barusan. Gani meringis, tidak habis pikir dengan sikap perempuan di sampingnya. Ekor matanya melirik ke arah Tobias, sedikit memaklumi sikap Tobias kepada Hana saat ini. Untungnya jam pelajaran matematika dilaksanakan sehabis jam istirahat. Hana masih ada kesempatan untuk merayu Tobias untuk kembali duduk dengannya. Hana belum siap ‘dimakan’ oleh Bu Reno, guru matematikanya yang terkenal killer. Hana memutar kepalanya ke kanan. Melihat bagaimana sikap Tobias saat ini. Tenang. Hal itu semakin membuat Hana tertekan. Bisa-bisanya Tobias setenang itu di saat ia merasa akan terancam. Pada awalnya tempat duduk itu terasa paling nyaman. Berada di baris ke empat dan urutan ke tiga dari depan. Terletak di pojok kelas dekat jendela. Namun, tempat duduk itu menjadi menyeramkan saat pemilik kursi memutuskan berpindah tempat. Tobias memilih berada di barisan ke dua, meja urutan ke dua dari depan. Membuat Hana kesulitan berkomunikasi dengan laki-laki itu selain jam kosong atau jam istirahat. Maka saat spiker kelas mereka berbunyi tanda istirahat, Hana lantas berlari menuju Tobias duduk. “Tobias!” Tobias yang tengah merapikan peralatan tulis tampak enggan menoleh. “Lo kenapa, sih? Bokap lo ngelarang belajar?” Pertanyaan macam apa itu. Orang tua mana yang melarang anaknya belajar. Hana bergeleng cepat, tidak ada yang bisa membuat Tobias marah selain pelajaran. Tobias berdiri, berjalan melewati tubuh mungil Hana. “Aish, malah nyelonong.” Hana mengejar Tobias. Dengan susah payah ia berusaha menyamakan langkah mereka. “Lo kalo udah nggak betah minjemin gue pulpen bilang. Gue nggak akan minjem lagi tapi plis duduk lagi ama gue, ya.” Ia menyatukan kedua tangannya. “Minjem nggak pernah balikin lebih tepat disebut ngambil,” jawab Tobias. Dua langkah Hana sama dengan satu langkah Tobias, membuat perempuan itu tampak engos-engosan berjalan beriringan dengan Tobias. “Ya udah, maap. Jangan baper napa—“ Bahu Hana menyenggol murid lain. “Eh, sorry.” Tubuhnya terhuyung sedikit ke belakang. Untungnya, siswa itu tidak mempermasalahkan. Mata Hana menyipit kesal. Tobias tidak ada niatan menunggu Hana di belakang. Ia meninggalkannya. Hana berlari cepat menyusul Tobias, dengan kasar Hana menahan pergelangan tangan lelaki itu. “Lo,” tatapan malas Tobias membuat Hana urung memarahinya. “Oke, mungkin lo lagi unmood. Gue paham. Oke, hari ini Tobias free.” Mata Tobias mengarah ke pergelangannya yang masih ditahan Hana. “Apa?” “Tangan gue.” Dengan berat hati Hana melepas tangan berharga itu. Punggung bidang milik Tobias semakin menjauh meninggalkan Hana. Punggung yang entah kenapa di mata Hana terlihat seperti kalkulator. “Kalkulator gue!” Tangannya merentang ke depan. *** “Jadi maksud lo dia berubah tiba-tiba padahal nggak ada masalah apa-apa?” Hana mengangguk. “Jadi nyuekin lo?” Hana kembali mengangguk. “Jadi ganteng?” Hana mengangguk, kemudian bergeleng cepat. “Gue nggak bilang dia ganteng!” Syabil meringis. “Tapi yang lo ceritain tadi gue ngebayanginnya ganteng.” “Bil, yang gue bahas Tobias. Tobias lo bilang ganteng?” Hana benar-benar tidak percaya dengan mata Syabil. Meskipun Syabil tidak dekat dengan Tobias. Beberapa kali ia pernah melihat Tobias saat lelaki itu mengunjungi rumahnya. “Tapi emang Tobias aslinya cakep kok.” Syabil masih keukeuh dengan penilaiannya. Matanya tidak pernah salah. “Untung tadi Bu Reno nggak masuk.” Hana menyandarkan tubuhnya ke sofa. Sepulang sekolah ia tak tahan untuk mendatangi rumah Syabil. Kini Hana tengah menjajah sofa ruang tamu Syabil dengan satu badannya. “Kalo Tobias udah berubah dia nggak mau jajanin lo lagi dong?” Syabil mengambil duduk di celah sofa yang Hana sisakan. “Eits.” Sontak Hana terbangun dari rebahannya. “Jangan sampe. Gue yakin hari ini aja dia berubah. Besok dia kembali lagi jadi Tobias yang gue kenal.” Syabil mengangkat bahunya singkat. “Siapa tau aja.” “Dia kayaknya bosen aja duduk sebangku sama gue.” “Gue nggak nyangka Tobias bisa sadar juga,” Syabil berdecak kagum, “selama sembilan tahun kalian temenan pada akhirnya dia sadar kalo cuma dijadiin babu sama Hana.” Hana menarik ujung rambut Syabil kesal. “Enak aja! Gue nggak pernah, ya, ada niatan buat jadiin Tobias babu. Dia anak dari bos bokap gue. Gila kali, ya.” Perempuan berambut panjang itu mengangguk. “Bukan babu tapi pesuruh kerjaannya lo suruh-suruh terus.” Syabil mendengkus sambil meraih gawainya di atas meja. “Anehnya dia nggak pernah nolak,” sambungnya. “Tapi tadi pagi dia udah nolak gue.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD