21. Kelemahan

1080 Words
Tobias menghela napasnya lelah. Tak menyangka bahwa selama ini ia bisa dengan sabar menghadapi tingkah Hana. Hampir dua belas tahun hidup berdampingan dengan perempuan itu. Tahan menghadapi ketidakwarasan Hana. Lelaki itu kembali fokus pada benda bulat di tangannya setelah memastikan Hana tidak lagi mengganggu. Waktu menunjukan jam dua. Satu persatu anggota voli mulai berdatangan. “Weh, udah datang aja lo, Yas!” seru Ricki. Ia melempar bola yang bergelinding di depan kakinya ke arah Fajri. Dengan napas tersengal-sengal Tobias berusaha menarik senyumnya. “Udah banjir aja tuh baju,” sahut Farhan dari belakang. “Radit kalah lo sama anak baru.” Tobias meraih botol minumnya. Melirik teman-teman satu ekskulnya yang sudah berkumpul. Andai ia mengambil keputusan ini lebih awal. Nyatanya, kehadiran teman-teman barunya ini cukup membantu untuk melupakan masalahnya. Ah, Hana. Jika memikirkan masalah, wajah perempuan itu ikut masuk dalam benaknya. Entah, Tobias juga bingung apa maksudnya. Apa karena cewek itu salah satu masalahnya atau sebaliknya? Sebuah seruan dari Radit memecah lamunan Tobias. “Hari ini kita awali dengan latihan servis. Semangat untuk kurang dari dua minggu lagi.” *** Gue udah pulang duluan. Bareng sama kakak lo. Dapet tebengan juga selain lo, wlee :p Satu kalimat yang cukup membuat darah di kepalanya mendidih. Tangan Tobias mengepal. Ia sudah menebak apa tujuan kakaknya itu menemui Hana. “Sial!” maki Tobias saat Hana tak kunjung mengangkat panggilan darinya. Tanpa berpikir panjang lagi cowok itu berlari ke parkiran. Mengambil motornya dan langsung mengendarainya. Tujuan ia saat ini adalah cewek itu. Tobias sudah cukup pintar menutupi semua kesakitannya sendiri. Ia tak mau pancaran mata Hana berubah kepadanya. Maka dari itu saat dirinya sudah berada di depan rumah cewek itu, dengan tidak sabarannya Tobias mengetuk jendela kamar Hana. Hana yang baru masuk ke dunia mimpinya tertarik kembali. “Lo ngapain sih?” tanya Hana dengan kening berkerut. Tobias terus mengetuk jendela itu. “Sabar woy, ini juga gue keluar.” Hana melangkah keluar rumah menemui cowok itu. Tobias menungguinya di luar pagar. “Lo ganggu tau ngga—” “Apa yang Thomas bilang ke elo?” selak Tobias. Matanya sudah menatap Hana tajam. Cewek itu sedikit tersentak karena sikap Tobias yang tidak dia duga. Keningnya mengerut sebentar sebelum ia menyadari maksud dari pertanyaan Tobias. Hana tersenyum sinis. Segitunyakah Tobias menutupi masalahnya. Sampai semarah itu dia karena Hana mengetahuinya. Emosi perempuan itu ikut tersulut karena merasa selama ini ia selalu menceritakan masalahnya kepada lelaki itu. Namun, kenapa justru lelaki itu merahasiakan masalahnya. “Kenapa nanya gue? Kenapa lo nggak nanya langsung aja ke kakak lo.” Tobias mengangguk paham. Matanya masih memancarkan kemarahannya. “Kayaknya lo udah tau semuanya.” “Emang!” Hana mengangkat dagunya. Tak terima dengan perlakuan Tobias yang menyudutkannya. “Gue selama ini udah nganggep lo temen gue. Lo selalu tau rahasia gue, masalah hidup gue. Tapi kenapa lo sebaliknya? Lo punya rahasia yang gue nggak tahu!” “Terus setelah lo tau, lo akan apa?” Tobias memajukan wajahnya. Mengunci mata bulat perempuan di depannya. “Gue anak yang menyedihkan. Itu yang ada di pikiran lo sekarang kan? Lo jadi kasihanin gue. Right?” “Gue selalu ngasih tau masalah ke lo, dan gue nggak masalah sama sekali. Anggap aja kita satu sama.” “Kita nggak sama. Masalah kita nggak sama. Kondisi kita beda, Han. Masalah lo nggak ada apa-apanya sama gue.” “Wow!” Hana menyugar rambutnya ke belakang. Raut wajahnya berubah. “Jadi lo udah mulai adu nasib sama gue?” Tawa sinis keluar dari mulutnya. “Hanya karena lo ngerasa masalah lo berat. Bukan berarti lo punya hak untuk menyepelekan masalah orang. Karena lo nggak pernah tau kesulitan apa yang orang rasain karena masalahnya itu.” Hana mendorong Tobias menjauh dengan telunjuknya. Tobias mematung di tempatnya saat Hana memuncratkan amarahnya. “Saat lo dibulli waktu itu apa gue kasianin lo? Gue nolongin lo. Karena gue tau yang lo butuhin bukan rasa kasihan.” Tanpa mau melanjutkan perdebatannya. Hana berbalik meninggalkan Tobias yang masih terkunci dengan kata-kata cewek itu. Sebelum Hana benar-benar menghilang dari balik pagar, gadis itu kembali berkata. “Pantes aja lo keliatan biasa aja saat gue cerita sesuatu yang membebankan pikiran gue. Ternyata karena itu. Lo nganggep masalah gue bukan sesuatu yang penting.” Tangan cowok itu mengepal. Rahangnya mengeras. Rasa benci menggumul di dadanya saat ini. Thomas berhasil memancingnya. *** Satu bogeman mentah berhasil ia lepaskan pada wajah sang kakak. Thomas tersungkur. Tidak menyangka mendapat serangan cepat dari adiknya. Thomas yang hendak pergi menemui temannya harus berpapasan dengan Tobias di perkarangan rumahnya. Lelaki berambut sedikit panjang itu menyeka darah dari ujung bibirnya menggunakan jempol. “Puas lo sekarang, hah?” Tobias kembali menyerang kakaknya yang masih tergeletak di tanah. Thomas sudah cukup sabar. Ia mulai membuat pertahanan akan serangan Tobias. Satu pukulan berhasil mendarat di pipi adiknya. “Lo ngomong sama gue baik-baik, nggak bisa?!” “Lo dari awal udah berniat ngehancurin gue, Thomas, nggak cukup lo liat gue menderita, hah?” “Justru gue mau bantu lo, Yas,” jerit Thomas frustrasi. Tobias seperti tidak akan berhenti menyerangnya selama tubuh anak itu belum Lelah. Thomas yang menyadari itu mau tidak mau harus meladeni adiknya yang keras kepala ini. Saat Tobias terlihat mulai kehilangan tenaganya, Thomas memberikan satu dorongan keras hingga adiknya itu jatuh tergeletak. Dengan napas yang sudah tersengal-sengal Thomas menduduki adiknya itu. “Lo harus sadar di dunia ini lo nggak bisa berjalan sendiri dengan dendam yang ada di hati lo.” “Tau apa lo sama rasa sakit gue!” Thomas menampar keras Tobias. Tangannya mencengkram kerah baju adiknya. “Gak cuma lo yang menderita di sini. Stop merasa paling menderita. Gue tau lo gue nggak bisa bantu nyembuhin lo. Dan gue berharap Tuhan masih menyisakan satu orang bantu nyembuhin lo.” Setelah meneriaki itu, Thomas melepaskan diri dari Tobias. Tidak ada perlawanan lagi dari adiknya. Tobias hanya terdiam dengan napas yang berderu. Raut wajah lelaki itu masih mengeras. Thomas berjalan meninggalkan Tobias yang masih tergeletak di perkarangan rumahnya. Dari ekor matanya Thomas melihat Pak Trisno berusaha membantu Tobias bangun. Ada sedikit perasaan lega karena emosi yang selama ini ia pendam dapat ia keluarkan. Thomas berjalan masuk ke dalam kamar. Melempar tubuhnya yang terasa remuk itu ke atas kasur. Dia tidak tahu apakah hubungannya dengan Tobias akan sedikit membaik atau malah lebih parah. Dia sudah lelah untuk mencoba berdamai. “Ah, sial!” Thomas baru ingat kalau tujuannya keluar rumah tadi karena ingin pergi berkencan dengan seseorang. Karena serangan dari Tobias ia jadi lupa dengan tujuannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD