Hazel menatap amplop putih yang berada di tangannya.
Barusan gadis itu berbicara dengan mama dan papanya perihal kedatangan Tuan Amirul ke Australia dan juga mengenai Tiket pesawat.
Setelah berbicara dengan mamanya, gadis itu sepertinya harus pulang ke Indonesia walaupun sebenarnya ia tidak tau apa yang sudah terencanakan di Indonesia.
“Hazel! Melamun saja kamu ini,” ujar Jemy sedang mengemas barang ingin pulang ke negaranya.
Begitu juga dengan Haren sedang mengemas pakaian ingin pulang ke Maroko tempat asalnya.
“Kenapa? Apa kalian sudah selesai mengemas barang?” tanya Hazel melirik ke arah Jemy.
“Sudah,” jawab Jemy sambil memberi satu yogurt pada Hazel.
“Terimakasih,” ujar Hazel menerima yogurt tersebut.
Melihat Haren masih sibuk menyusun dan mengemas pakaian belum selesai, gadis itu terlihat sedikit sibuk sampai tidak sadar Hazel sama Jemy memerhatikannya.
“Isi amplop itu apa memangnya Hazel?” tanya Jemy saat melihat amplop warna putih yang dia tau dari pengasuh Hazel beberapa hari yang lalu.
Sebenarnya Jemy penasaran dengan isi amplop itu, saat Hazel membuka isi sempat melihat isinya sebuah kertas.
“Ini! Tiket pesawat,” jawab Hazel jujur menatap ke arah amplop putih tersebut.
“Tiket pesawat … Emang kamu mau kemana?” tanya Jemy setelah menghabiskan yogurt di mulutnya.
Gadis itu penasaran untuk apa Hazel menggunakan Tiket pesawat tersebut, apa mungkin Hazel ingin berliburan saat libur semester sekarang.
“Ini Tiket ku ….” Hazel belum selesai berbicara sudah di potong.
“Tiket liburan ya? Wahh kamu nggak bilang-bilang ya ingin liburan, mau liburan kemana zel? “ sahut Jemy menatap Hazel dalam girangan.
Hazel langsung menggeleng-geleng kepalanya, temannya sudah salah paham mengira.
“Bukan seperti Jemy! Kamu salah paham, ini bukan Tiket liburan tapi Tiket aku pulang ke Indonesia,” jawab Hazel sambil menjelaskan.
“Indonesia … Tempat saudara?” tanya Jemy lagi.
Hazel menggeleng lagi kepalanya pelan.
“Bukan tempat saudara! tapi tempat mama dan papa aku,” jawab Hazel berencana ingin jujur.
Jemy menelongok bingung tidak mengerti dengan ucapan Hazel barusan.
“Mama dan papa? Terus ibu?” Jemy seperti orang bodoh tidak mengerti dengan ucapan Hazel.
“Iya, mama sama papa itu orang tua kandung aku. Sedangkan ibu bukan siapa aku hanya pengasuh yang merawat aku di sini,” jujur Hazel semua yang dia sembunyiin selama ini.
Jemy terkejut dengan mulut terbuka, ia tidak menyangka dengan asal usul Hazel yang tidak ia ketahui selama ini.
“Tunggu … maksud kamu gimana? Bibi bukan ibu kandung kamu?” tanya Jemy mulai sedikit paham.
“Bukan … Bibi itu pengasuh yang menjaga aku di sini, sedangkan orang tua aku berada di Indonesia,” jelas Hazel.
Jemy sudah paham dan terkejutnya juga sudah mulai berkurang, bagaimana tidak gadis itu sangat terkejut saat mendengar fakta tersebut.
“Aku kira bibi itu ibu kandung kamu, kenapa kau memberi tau Aku sekarang?” tanya Jemy.
Hazel menghelakan nafas panjang. “Bagaimana aku memberitahu! kalian juga tidak menanyakan,” jawab Hazel.
“Iya juga kami tidak pernah menanyakan hal itu, tapi kamu privat banget sih!” Jemy memukul bahu Hazel pelan sehingga pemiliknya harus mengusap bagian yang ditepuk oleh Jemy.
“Kau memukul ku tidak tanggung! Ini bahu aku sakit tau,” serga Hazel masih mengelus bagian bahunya.
“Sorry,” cengir Jemy dengan ekpresi menyebalkan.
Hazel memutar bola matanya kesal, di lihat teman satunya lagi sudah selesai membereskan pakaiannya.
“Kamu sudah selesai?” tanya Hazel saat Haren ikut gabung duduk dengan mereka.
Haren hanya mengangguk lalu menghelakan nafasnya sebentar.
Sore ini Hazel berencana ingin pulang ke rumah bibi pengasuh, singgah beberapa hari yang lalu membuat Hazel tidak sempat menyapa bibi karena adanya Tuan Amirul.
Hazel menurunkan Bus di tempat biasa, gadis itu membawa beberapa buah untuk bibi pengasuh.
Tidak hanya merindukan Bibi pengasuh, Hazel juga ingin menanyakan pendapat pada Bibi pengasuh apa dia harus pulang ke Indonesia.
Sebenarnya Hazel begitu merindukan mamanya, Tapi ia tidak pernah mengeluh apalagi mengatakan langsung pada Amira.
Hazel tidak ingin Amira dan Rafa cemas memikirkannya kalau dirinya merindukan mereka.
Hazel tidak langsung pulang ke rumah melainkan ia pergi ke warung dekat rumahnya, pukul segitu bibi pengasuh masih berada di warung tersebut membantu temannya.
“Kak Hazel,” panggil gadis kecil anak dari pemilik warung tersebut.
Hazel tersenyum menyambut gadis kecil itu yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.
“Rania kenapa di luar?” tanya Hazel.
Gadis kecil itu menunjukkan sampah yang baru saja ia bersihkan.
“Disuruh buang sampah sama ibu,” jawab Rania anak pemilik warung tersebut.
Mereka sama-sama masuk ke warung itu sambil bercoletan tidak jelas.
“Kak, di dalam ada abang ganteng loh.”
Hazel menoleh ke arah Rania, keningnya naik turung mengejek gadis kecil itu.
“Kamu kecil-kecil bukanya belajar … malah bahas abang ganteng,” jawab Hazel merangkul pelan pundak Rania.
“Terserah deh, kalau kakak nggak percaya.”
Mereka mendekat pada tiga orang yang salah satunya seorang pemuda yang tidak Hazel kenal.
“Bibi,” panggil Hazel mendekat pada bibi pengasuhnya.
Betapa ia sangat merindukan bibi pengasuhnya tampa memerdulikan orang lain, Hazel langsung merobos memeluk erat wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri.
“Loh kamu pulang,” serga bibi pengasuh yang tiba-tiba mendapat pelukan dari Hazel.
Wanita itu hanya diam membiarkan Hazel memeluknya, sampai dirinya merasa sedikit risih.
“Bibi bau keringat Hazel,” ujar bibi pengasuh sambil melepas pelukan dari Hazel.
sedangkan Hazel hanya tersenyum pelan lalu menggelengkan kepalanya.
Huk! Huk!
Pemuda asing yang berada di antara mereka tersendak saat mendengar bibi pengasuh memanggil Hazel pada gadis yang tidak ia kenal itu.
Semua menatap ke arah pemuda yang tersendak itu, begitu juga dengan Hazel menatap dengan sorot mata dingin.
“Makan yang hati-hati nak,” ujar bibi pemilik warung tersebut.
Pemuda itu hanya tersenyum malu, namun di dalam hatinya begitu dag-dig-dug tidak keruan.
‘Hanya sama nama saja, tidak mungkin dia Hazel yang aku cari’
Pemuda itu cepat-cepat mengalihkan pemikirannya, sesekali ia juga mencuri pandang ke arah Hazel.
Hazel berpenampilan seperti gadis nakal, mana mungkin Hazel yang ia kenal bisa berpenampilan seperti itu pikir pemuda tersebut.
“Dia siapa bi?” bisik Hazel pada bibi pengasuh.
Namun bibi pengasuh malah menjawab dengan bersuara sedikit tinggi.
“Pemuda ini yang sudah membantu bibi kecopetan di jalan tadi, saat membantu bibi malah mobilnya mogok,” jawab bibi membuat pemuda itu ikut menatapnya.
Hazel hanya bisa menggigit bibirnya, bibi pengasuh tidak bisa di ajak berteman.
Padahal ia hanya iseng saja menanyakan, malah membuat dirinya merasa malu.