Gemma melesatkan kendaraannya keluar dari pekarangan rumah pagi itu. Jam masih menunjukkan pukul 06.00. Harusnya di jam begini dia sedang jogging. Sialan sekali gadis itu! pikirnya.
Semalaman Gemma nyaris tidak tidur karena menyadari Carissa tidak juga pulang sejak keluar tadi pagi. Beberapa kali Gemma berniat memijit nomor telepon Carissa di ponsel, namun sesering itu juga ia mengurungkannya. Gemma yang bilang sendiri pada Carissa bahwa mereka tidak boleh saling mencampuri urusan privasi masing-masing, lalu kenapa ia malah menjadi sangat penasaran tentang di mana Carissa berada saat ini sehingga belum juga pulang.
Apakah dia menginap di rumah temannya?
Jangan-jangan dia menginap di rumah Abian. Ah, sialan!
Oh, apakah dia pulang ke rumahnya di Malalayang?
Menyadari hal tersebut Gemma segera menghubungi nomor telepon Koh Ahong. Syukurlah ketika mengambil baju Carissa tempo hari ia sempat meminta nomor lelaki tua itu.
“Carissa? Dia tidak pernah pulang sejak menikah,” ujar Koh Ahong di seberang telepon. Gemma sudah hampir putus asa saat Koh Ahong melanjutkan, “Biasanya kalau tidak pulang, dia menginap di panti.”
Kata-kata Koh Ahong itulah yang membuat Gemma melajukan kendaraannya di jalanan kota Manado yang masih tampak lengang. Butuh waktu hampir setengah jam berkendara dari rumah Gemma untuk sampai di panti asuhan.
“Nona Carissa ada di dalam. Ia tidur bersama Arif.” Nurma menyambut kedatangan Gemma. “Saya sudah bilang untuk tidak menginap. Tapi, kata Nona tidak apa-apa karena tidak akan ada yang mencari dia meski dia tidak pulang.”
Gemma masuk ke dalam ruangan yang ditunjuk oleh Nurma. Ia memerhatikan keadaan sekeliling. Masing-masing ranjang dalam ruangan itu terisi oleh penghuni-penghuninya yang masih balita. Tampak seorang penjaga yang menganggukkan kepala ke arah Gemma sebelum keluar dari ruangan dengan membawa seorang balita yang tengah menangis.
Gemma menemukan Carissa sedang terlelap di salah satu ranjang sambil mendekap seorang bocah laki-laki yang tampak familiar di mata Gemma. Ya, bocah laki-laki itu yang digendong oleh Carissa tempo hari ketika kali pertama mereka datang bersama ke panti.
Gemma berjalan mendekati ranjang tempat Carissa berbaring. Ia mengamati Carissa yang tengah terlelap tanpa berniat membangunkannya. Kenapa Carissa tidur di sini? Nurma bilang jika dia tidak pulang, maka tidak ada yang mencari? Apakah ia tidak memikirkan Gemma sama sekali? Apakah ia tidak tahu bahwa Gemma begitu cemas memikirkannya?
Carissa yang sebenarnya sudah bangun namun masih enggan membuka matanya menyadari seseroang tengah berdiri di tepi ranjang mengamatinya. Apakah itu Bu Nurma? Apakah Bu Nurma datang untuk membangunkan Arif untuk bersiap-siap karena keluarga yang akan mengadopsi sudah datang?
Carissa membuka matanya perlahan dan nyaris terlonjak dari tempat tidur saat melihat sosok Gemma di sana.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Carissa beranjak dan duduk di tepi ranjang. Arif masih tampak terlelap.
“Apa maksudmu bilang ke Ibu Nurma kalau kau tidak pulang tidak akan ada yang mencari?” ujar Gemma sinis.
“Kau mencariku?” Carissa memandang Gemma denga heran. Apakah Gemma mengkhawatirkan dirinya dan mencari hingga kemari?
“Selama enam bulan pernikahan ini, kau harus mengabariku di mana keberadaanmu kalau tidak pulang!” seru Gemma.
Carissa tersenyum mengejek. “Kemarin yang bilang jangan mencampuri urusan masing-masing siapa?”
“Secara hukum kita ini suami istri, kalau sesuatu terjadi padamu, aku nantinya yang paling repot. Ayo pulang!”
“Kak Ica.” Arif tiba-tiba terbangun.
“Arif sudah bangun?” Carissa mengalihkan perhatiannya dari Gemma. Arif mengangguk dan menelusup manja ke dalam pelukan Carissa.
“Ayo pulang sekarang, aku bisa terlambat ke kantor,” kata Gemma. “Kau bisa mengunjungi Arif lagi besok.”
“Kantor? Kamu tidak cuti?” Carissa bertanya dengan raut yang keheranan.
“Cuti? Untuk apa?”
“Di kantormu tidak ada fasilitas cuti menikah?”
Gemma mengembuskan napasnya dengan tidak sabar. “Ada. Tapi tidak kuambil. Lagi pula untuk apa?”
Carissa memasang tampang tak percaya demi mendengar kalimat Gemma. Dasar workaholic!
“Arif, ayo sini, Nak. Kamu harus mandi dulu.” Nurma tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan dan langsung mengambil Arif dari pelukan Carissa. Wanita itu memandang Carissa dan berkata, “Sebentar lagi mereka datang.”
Carissa mengangguk paham. Ia mengerti yang dimaksud Nurma adalah pasangan yang akan mengadopsi Arif.
“Nah, sekarang ayo kita pulang,” ujar Gemma.
“Pulanglah duluan, aku masih ingin di sini bersama Arif.” Carissa menolak.
“Kau bisa mengunjungi Arif lagi nanti.”
“Tidak bisa, Gem. Hari ini Arif diadopsi.” Entah hanya perasaan Gemma atau memang benar adanya, saat mengucapkan kalimat itu mata Carissa terlihat berkaca-kaca. Ini kah yang menyebabkan matanya sembab? Apakah ia menangis semalaman?
“Sebentar lagi orangtua asuhnya akan datang menjemput,” lanjut Carissa. “Aku…aku… setidaknya aku ingin melihatnya untuk yang terakhir kali.”
“Terakhir kali?” Gemma tak mengerti.
“Besok Arif akan dibawa untuk pindah bersama mereka ke Kalimantan.” Sebutir air lolos dari kelopak mata Carissa. “Kau tidak tau betapa kecil dan lemahnya dia saat pertama kali datang kemari. Sampai-sampai aku pikir aku bisa menggenggamnya dengan satu tangan saja.”
Gemma mematung saat Carissa berbicara. Kini butiran-butiran air mata telah menganak sungai di pipinya. Gemma tidak tahu apa yan harus ia lakukan tapi kedua kakinya melangkah mendekati Carissa. Mereka kemudian duduk bersisian di ranjang Arif. Tangan Gemma menuntun tubuh Carissa untuk bersandar di dadanya. Carissa tidak menolak. Tangisnya semakin menjadi dalam dekapan Gemma.
“Bukankah katamu, kau sangat sedih jika penghuni pantimu bertambah? Itu artinya bertambah pula satu anak yatim di dunia. Sekarang penghuni pantimu akan berkurang. Bukankah itu artinya berkurang lagi satu anak yatim di dunia karena akhirnya mereka telah menemukan keluarga?” Gemma berbisik pelan. Tangannya menepuk-nepuk lembut bahu Carissa. “Aku akan menemanimu melepas Arif.”
Carissa merenggangkan jarak tubuhnya dengan Gemma. Ia beranjak dari ranjang itu. “Terimakasih. Aku mau cuci muka dulu.”
Gemma mengangguk sambil memandangi tubuh Carissa yang kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi.
“Nona Carissa, mereka sudah datang.” Nurma masuk ke dalam kamar tepat ketika Carissa telah bersiap. Arif berada dalam gendongannya. Carissa telah mencuci wajahnya sehingga tidak tampak begitu sembab.
“Ayo Arif sama Kak Ica.” Carissa mengambil Arif dari gendongan Nurma. Bersama Gemma mereka berjalan ke arah kantor pengurus panti, tempat kedua orangtua asuh yang akan mengadopsi Arif menanti.
“Itu mereka. Mari saya perkenalkan.” Tampak seorang ibu dan seorang bapak berusia akhir empat puluh sedang duduk di sofa. Nurma mendekati kedua orangtua asuh itu diikuti oleh Carissa dan Gemma.
“Pak Demsi.” Gemma terkejut melihat ternyata lelaki paruh baya itu adalah koleganya di kantor.
“Gemma.” Demsi beranjak dari Sofa dan meyambut uluran tangan Gemma. Mereka berjabatan. Sebuah etika yang lazim dilakukan antar kolega jika bertemu di luar kantor. “Oh, iya, kenalkan ini istri saya.”
Wanita di samping Demsi beranjak berdiri dan memperkenalkan dirinya, “Linda.”
“Sedang apa di sini, Gem?” Demsi bertanya lalu memandang ke arah Carissa yang sedang menggendong Arif. “Oh, ini istri kamu kan Gem?”
“Iya, Pak,” sahut Gemma. Ia memandang ke arah Carissa. “Bapak Demsi datang di pesta pernikahan kita.”
“Oh, halo, Pak.” Carissa bergantian menjabat tangan Demsi dan Linda.
“Kamu terkenal sekali di kantor. Carissa kan?” Demsi bertanya disusul tawanya yang terbahak-bahak. “Penodongan di ruang meeting. Kamu tau kan Gem, cerita itu sampai di kantor pusat. Adi Nugraha tidak pernah berhenti mengulang-ulang cerita itu setiap meeting komite di pusat.”
Gemma ikut tertawa bersama Demsi, sementara wajah Carissa justru memerah karena menahan malu. Ia sama sekali tidak menyangka, kejadian itu begitu menghebohkan. Jika ia malu, bagaimana Gemma yang harus menghadapi omongan orang akan hal ini setiap hari? Sepertinya mulai sekarang ia harus bersikap lebih ramah pada Gemma.
“Oh, ini Arif.” Suara Linda menjeda mengejutkan lamunan Carissa.
Nurma yang sedari tadi hanya bisa berdiam diri tanpa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka, kini bersuara, “Nona Carissa, Bapak Demsi dan Ibu Linda ini lah yang akan mengadopsi Arif.”
“Wah! Dunia ini memang sempit,” Seru Gemma. “Bapak Demsi baru dapat promosi ke Kalimantan. Tapi, saya sama sekali tidak tau Bapak yang mengadopsi anak dari panti asuhan milik istri saya.”
“Oh, jadi ini yayasan milik Carissa?” sahut Demsi. “Ini keinginan istri saya. Kami punya tiga anak perempuan, istri saya ingin punya anak laki-laki, tapi nggak kuat kalau harus hamil dan mengasuh bayi di usia kami yang sudah segini. Makanya, kami memutuskan untuk adopsi saja.”
“Iya, benar.” Linda menyetujui perkataan suaminya lalu mengambil Arif dari gendongan Carissa. “Aku jatuh cinta pada Arif sejak pertama kali ke sini. Ayo, Arif ikut Mama, ya.”
Arif yang pada dasarnya mudah akrab dengan siapa pun terlihat bahagia berada dalam pelukan Linda.
“Kalian sendiri bagaimana?” Demsi bertanya pada Gemma yang ditanggapi dengan raut wajah tak mengerti oleh pemuda itu. “Kalian berencana punya anak berapa?”
“Uhuk! Uhuk!” Carissa refleks terbatuk saat mendengar pertanyaan Demsi. Sementara Gemma terlihat sedikit salah tingkah.
“Semoga cepat dikaruniai momongan, ya.” Kali ini giliran Linda yang bersuara.
` “Amin.” Demsi menimpali. “Oh, ya. Berkas-berkasnya semua sudah selesai kan? Kami mungkin tidak akan pernah lagi kembali ke Manado, kecuali kalau saya dipindah lagi ke sini.”
“Semua dokumen adopsi sudah selesai, Pak.” Nurma menyerahkan sebuah map kepada Demsi.”
“Kalau begitu kami bisa pergi kan? Saya masih harus ke kantor. Kalau Gemma sih lagi cuti honeymoon, ya kan Gem?”
Gemma hanya tersenyum hambar menaggapi kalimat Demsi.
“Baik-baik ya, Arif. Kak Ica akan sangat merindukan Arif.” Carissa mendekati Arif dan mencium dahi anak itu lama. Hatinya kembali merasakan kesedihan.
“Kami pergi dulu, ya.” Demsi menjabat tangan Nurma, Gemma dan Carissa sekali lagi sebelum melangkah keluar dari ruangan diikuti Linda di belakangnya sambil menggendong Arif.
“Kak Ica. Dadah. Dadah.” Arif tertawa sambil melambaikan tangan kecilnya.
Carissa hendak menyusul Arif namun Gemma menarik gadis itu kembali ke dalam pelukannya. “Jangan menambah kesedihanmu dan kesedihan Arif. Jangan khawatir. Aku kenal baik dengan Bapak Demsi dan istrinya. Mereka keluarga yang harmonis. Percayalah, Arif berada di tangan yang tepat.”
Gemma mengeratkan pelukannya pada Carissa sementara tangan kanannya membelai lembut rambut Carissa. Selalu terasa benar memeluk gadis ini. Bagi Gemma, mendekap Carissa, entah kenapa, selalu terasa benar. []