“Sebentar lagi para mafia itu datang!”
Silvia memberi kabar, lalu menyilangkan tangannya di atas perut. Ia terkejut saat melihat Aulia berada di kamarku. Tanpa bicara lagi ia mendekati Aulia dan menarik kemeja lusuh gadis yang sejak tadi bersamaku.
“Kak!” Spontan saja aku menarik tangan Silvia, namun ia menepis tanganku begitu kuat.
Kudengar Aulia meringis, ia pun tampak kaget saat melihat Silvia dengan garang menarik kemejanya. Aulia tak berkata-kata apa pun, ia diam, hanya meringis dan sesekali berdecak kesal.
“Jangan coba-coba bicara macam-macam sama anak baru in, apalagi sampai membocorkan rahasiaku!” ancam Silvia, seperti ia bersungguh-sungguh.
Aku menatap Aulia yang seperti tidak ada takutnya. Ia hanya menarik sudut bibir sebagai respons, matanya tajam beradu dengan mata Silvia.
“Lepasin gue!” Aulia menggerakkan giginya.
“Aku akan lepaskan kalau kamu keluar dari kamar ini!”
Aulia mulai kesal, tiba-tiba dalam hitungan detik Silvia terjatuh ke lantai, ia berhasil membanting kaki Silvia dan menekuk tangannya ke belakang.
Silvia menjerit kesakitan.
“Jangan sok jagoan, Silvia. Gue tau lo ketua tahanan di gedung ini, tapi bukan berarti lo boleh semena-mena!” Sekali lagi Aulia memelintir tangan Silvia hingga wanita itu mengerang sekuat tenaga.
“Aulia, kumohon, jangan sakiti Kak Silvia!” Aku segera membantu Silvia untuk bangun, dan mendudukkannya. Kulihat, ia mengadu kesakitan.
“Percuma aja Lo baik sama dia, bantuin Silvia kayak bantuin anjing kejepit.” Aulia keluar kamar, setengah membanting pintu, kesal.
Aku bingung. Harus membela siapa di antara kedua teman baruku di gedung ini. Sivia, atau Aulia. Aku baru mengetahui bahwa keduanya tak saling menyukai. Mereka seperti memiliki masalah pribadi yang belum selesai. Entahlah, memikirkan diriku sendiri saja rasanya sudah payah, apalagi harus mengurusi masalah orang lain. Bagiku, semuanya teman, dua-duanya sudah menolongku di saat aku butuhkan.
Buah beri tanaman liar yang Silvia berikan, sangat ajaib. Meski masih merasa lapar, tetapi perutku tak terasa nyeri. Aulia juga sudah membantuku memberi air minum dari ember persembunyiannya, aku sungguh berterima kasih padanya, jika tidak, mungkin aku akan mati kehausan. Tenggorokan terasa kering dan sakit membuatku tidak nyaman.
“b******k tuh anak, bisa-bisanya dia nyakitin aku!” Silvia berdiri, mengibaskan rambut panjangnya kasar.
“Kakak tangannya sakit?” Aku melihat Silvia juga mengusap tangannya beberapa kali.
“Sakit, tapi gak apa-apa,” katanya, “aku tau dia gak akan bisa benar-benar menyakiti aku.”
Aku tak tahu lagi harus bicara apa, tak ingin pula mengetahui ada masalah apa di antara mereka. Lebih baik tidak tahu apa-apa, agar aku tidak memihak pada siapa pun. Aku tak ingin mencari musuh di sini. Tidak.
“Kak, apa yang harus kita lakukan saat mafia itu datang?” tanyaku, sebagai ketua, Silvia seharusnya memberitahuku.
Silvia menatapku sejenak. Ia seperti memikirkan sesuatu. “Ikut berpesta,” katanya, “tetapi ... aku gak ingin kamu ikut dalam kegiatan menjijikkan ini, Rania. Kalau kamu mau, kamu bisa ikuti saranku.”
Kedua tangan Silvia memegangi pipiku, kedua mata kami beradu, aku tahu ia berusaha meyakinkanku bahwa apa yang ia sarankan adalah yang terbaik untukku.
“Dengar, Rania. Aku ke sini untuk membantumu agar terhindar dari pesta, tetapi sejak awal aku tahu ada bocah itu di kamarmu. Dia tidak boleh tahu soal ini,' ungkap Silvia. Nada suaranya dibuat pelan, kami bicara berbisik-bisik.
“Kak kenapa Kak Silvia mau menolongku? Kenapa peduli padaku?” Aku ingin menangis saat mengatakannya. Aku terharu, aku pikir Kak Silvia gadis yang jahat.
“Karena aku yakin, aku bisa melihat dari sinar matamu bahwa kamu adalah orang yang Tuhan kirim untuk menyelamatkan kami semua.”
“Itu mustahil, Kak.” Tenggorokanku tercekat, bagaimana bisa?
“Aku merasakannya.” Silvia menepuk dadanya, “dan aku melihatnya,” ucapnya lagi.
“Apa Kakak ini paranormal?” Aku bertanya sinis, kata-kata Silvia membuatku takut, sekaligus merinding.
Silvia menarik tubuhku, mendekapku erat. “Percayalah padaku, Rania. Percayalah, Tuhan akan bersama kita, dan kamu perantaranya sebagai penolong.”
Aku terisak sekarang. Di kepalaku muncul banyak pertanyaan, bagaimana caraku menolong? Sedangkan aku saja terjebak di sini bersama mereka?
Terdengar suara mesin mobil dan motor memasuki halaman. Wajah Silvia pucat, wajahku juga, kami merenggangkan pelukan dan saling pandang.
“Mereka sudah datang, Rania. Pergilah!” suruh Silvia, “sebelum mereka menemukanmu!”
Tubuhku gemetar dengan tungkai terasa lemas. “Berapa lama aku di sana, Kak?” Suaraku gemetar ketakutan.
“Sampai aku menjemputmu!” jawab Silvia, lalu ia mendorong tubuhku ke luar kamar, kami menyusuri lorong gelap menuju sayap kiri. Hingga akhirnya kami menemukan sebuah pintu.
Silvia membuka pintu kamar itu dengan mudah, dengan cepat ia mendorongku ke dalam, menutup pintu lalu meninggalkanku.
“Jangan pernah keluar sampai aku datang!” serunya tertahan. Kudengar suara derap kaki Silvia menjauh dari pintu.
Hening. Tak ada suara apa pun.
Kamar ini gelap, bau apek, dan bau amis yang memuakkan. Beberapa kali aku menekan hidung kuat-kuat agar bau busuk itu tidak membuat isi perutku keluar.
“Hoek!” Aku benar-benar tak tahan. Ingin muntah rasanya, tapi tak ada apa pun yang bisa kumuntahkan.
Tanganku meraba-raba. Di sini tak ada jendela, atau ventilasi udara. Pengap. Satu-satunya celah adalah celah bagian bawah pintu. Tak ada pilihan lain selain berbaring di depan pintu dengan wajah menghadap garis bawah pintu agar bisa kudapatkan udara segar dari luar.
Oh, God. Aku baru ingat kalau kamar ini adalah kamar tempat di mana tengkorak-tengkorak para tahanan yang sudah mati!
***
“Di mana gadis itu?”
Aku mendengar suara laki-laki tak jauh dari kamar tempatku bersembunyi.
“Dia gak mungkin kabur, Bos!” timpal laki-laki lain.
Apa itu Def dan kawan-kawan?
Suara-suara musik mulai terdengar di lantai bawah, musik disko yang menyentak-nyentak.
“Silvia!” teriak laki-laki pertama tadi, ia terdengar kesal. “Di mana gadis itu?!” bentaknya.
Aku mendengar Silvia bicara, tetapi tak begitu jelas apa yang ia bicarakan, terlalu pelan.
Seseorang mendekati pintu tempatku bersembunyi, mengetuk lalu kulihat dari celah bawah pintu sepasang kaki berdiri tepat di daun pintu. “Silvia, kamu periksa kamar ini!” perintahnya.
Aku menarik napas lega. Rupanya Silvia lah yang diperintahnya memeriksa. Aku gegas bangkit, secara perlahan agar tak ada suara yang kutimbulkan dari dalam sini. Berdiri di belakang pintu dengan d**a berdegup kencang.
Pintu dibuka, Silvia melongokkan kepala sebentar sambil memegangi senter. “Gak ada siapa-siapa di sini!” teriak Silvia. Lalu ia kembali menutup pintu rapat-rapat. Sekali lagi aku mengelus d**a, syukurlah, Silvia benar-benar menolongku.
Tak lama, orang-orang itu pergi. Lantai ini kembali sepi. Di belakang pintu, tubuhku merosot ke lantai. Apa yang akan mereka lakukan jika aku berhasil ditemukan? Bayangan mengerikan itu muncul, aku tak sanggup jika harus melayani mereka.
Aku melihat ke sekeliling ruangan yang gelap. Berharap ada secercah cahaya yang bisa menerangi kamar ini. Aku berkhayal, ada sosok orangtuaku datang menyelamatkan. Atau Tuan Liem yang tiba-tiba datang.
Ah, aku berkhayal terlalu tinggi. Mengada-ada!
Suara musik itu masih terdengar, aku memikirkan apa yang saat ini mereka lakukan? Aku penasaran, pelan-pelan aku mencoba tuk keluar kamar. Namun saat beranjak aku tak sengaja menginjak sesuatu yang kenyal, bersamaan suara cicitan yang ramai.
Aku tahu, suara itu ...
Huwaaa! Itu suara anak tikus! Tanpa sadar aku melompat-lompat karena merasa jijik dan geli. Lalu membuka pintu dan buru-buru keluar dari kamar itu, berlari cepat menuju kamarku sendiri.
Terserah, aku tak peduli jika ketahuan oleh para mafia. Sekujur tubuhku merinding saat kubayangkan tikus-tikus itu berkeliaran di kamar itu.
Hiii, bikin geli!
Aku masuk kamarku sendiri, buru-buru menutupnya rapat-rapat. Kemudian membalikkan badan dengan napas memburu.
“Wow, rupanya gua kedatangan gadis cantik!”
Kudengar suara seseorang di dalam kamarku. Sekarang aku sadar, seorang laki-laki duduk di samping jendela sambil menghisap rokok. Sendirian. Asap rokok dari mulutnya ia semburkan ke seluruh ruangan.
“Uhukk!” Aku terbatuk, kukibaskan tangan agar asap rokok di sekitarku menghilang.”Si-siapa kamu?” tanyaku, masih di depan pintu. Kupikir, jika ia berani macam-macam, aku akan mudah keluar ruangan. Namun laki-laki itu seakan tak peduli. Cuek, dan bersikap santai.
“Harusnya gua yang nanya, lo kamu?” tanyanya, dalam gelap.
“Aku ....”
Aku baru saja ingin menjawab, seseorang mengejutkanku dengan mengetuk pintu sangat kuat.
“Varo, masih di dalam? Kita mau cabut, nih!”
Laki-laki yang berada di kamarku bergerak cepat, sangat cepat hingga aku tak menyadari ia sudah membekap mulutku dan menarik tubuhku lebih dekat dengannya.
“Masih. Gua masih sibuk. Kalian cabut duluan aja!” Vario berteriak di depan pintu yang tertutup.
“Oke, kita cabut duluan, ya!” sahutnya. Lalu pergi menjauh.
Barulah Varo menurunkan tangannya dari mulutku. Ia menatapku lekat. Wajah kami sangat dekat, hingga aku bisa melihat wajahnya meski diterangi sinar rembulan yang masuk ke kamar.
Laki-laki ini ... sangat tampan.