“Bagaimana keadaan mama saya, Dok?” tanya Aldo pada Dokter muda yang baru saja keluar dari ruang UGD, di mana mamanya Aldo tengah terbaring tak sadarkan diri.
Sementara Sinta hanya diam, ia memandang keluar jendela dengan tatapan yang sulit diartikan. Sinta duduk di samping bu Ati dengan wajah tenang. Tidak ada rasa cemas terhadap wanita paruh baya yang menyandang gelar mertua itu.
Melihat bu Ati siuman, tidak ada niatan sedikit pun menantunya itu untuk sekedar menanyakan keadaan ibu mertuanya yang baru saja menatapnya lemah. Iya Bu Ati akhirnya tersadar dari pingsannya. Sinta terlihat tidak peduli sama sekali pada ibu mertuanya.
Kecelakaan yang melibatkan kerusakan parah pada mobil yang mereka tumpangi, tidak meninggalkan luka sedikit pun pada tubuh Sinta. Beruntung hanya mobil yang mengalami kerusakan parah, mereka semua selamat berkat perlindungan dari Allah.
Aldo mengalami luka memar pada kedua tangannya, sedangkan bu Ati, kepalanya terbentur kursi kemudi, karena ia duduk tepat di belakang Aldo. Akibat benturan keras itu, membuatnya tak sadarkan diri.
“Ibu Ati mengalami trauma dan syok pasca kecelakaan, tetapi tidak perlu khawatir keadaan beliau sudah membaik sekarang. Silahkan jika ingin menemui pasien,” sahut sang Dokter setelah melihat ke dalam UGD terlihat bu Ati sudah tersadar.
“Terima kasih Dok. Saya mau menemui mama saya dulu ya, Dok?”
“Silahkan Pak!”
“Mah, maafkan Aldo! Karena keteledoran Aldo dalam menyetir, Mama jadi seperti ini,” ucapnya lirih sembari mencium dan memeluk mamanya.
“Bagaimana Mas? Apa kamu masih tetap akan menceraikan aku? Kamu lihat ‘kan baru saja kamu akan mengembalikan aku pada orang tuaku, Tuhan sudah melaknat perbuatan kamu, Mas. Kita semua hampir mati,” sela Sinta sembari memutar bola mata malas. Ia jengah menatap ibu mertua dan suaminya.
“Tuh lihat mama kamu, karena ikut campur urusan kita, kena karmanya ‘kan? Memangnya enak kena musibah? Lihat dong aku gak luka sedikit pun, jadi kalian tahu apa artinya? Artinya Tuhan telah melaknat perbuatan kalian, dan Allah, hanya melindungi aku dalam peristiwa ini,” ucap Sinta dengan pongahnya.
“Cukup Sinta! Kalau pun Tuhan mau memberi hukuman, itu padamu yang sudah membohongi kami semua, bukan pada kami. Kamu tega berbicara seperti itu, di saat kondisi mama seperti ini. Aku tetap akan menceraikan kamu. Setelah mamaku membaik, kita langsung mengantar kamu ke rumah orang tuamu.”
“Sudah jangan ribut Aldo! Tidak enak didengar orang.”
“Maaf Mah,” Aldo gegas duduk di samping mamanya.
Setelah mendapatkan perawatan intensif dari rumah sakit, kini bu Ati sudah diperbolehkan pulang. Aldo memesan Taksi untuk menjemput mereka.
“Tujuan ke mana, Pak?” tanya pak sopir.
“Ke desa di ujung pasar pagi Pak,” sahut Aldo.
“Kok ke Rumahku sih Mas?,” protes Sinta.
“Kamu lupa, aku sudah menjatuhkan talak padamu? Aku akan mengembalikan kamu pada orang tuamu,” sahut Aldo tanpa menatap istrinya.
Taksi terus melaju. Hamparan sawah yang mulai menguning, mereka lalui sepanjang perjalanan menuju rumah orang tua Sinta.
“Terima kasih Pak. Nanti saya hubungi lagi, setelah urusan saya selesai. Antar kami kembali ke kota!” ucap Aldo pada sopir taksi tersebut.
Sinta menenteng tas berisi pakaian miliknya dengan wajah masam. Sementara Aldo menuntun mamanya.
“Assalamualaikum,” ucap Aldo sembari mengetuk pintu. Tidak berselang lama pintu pun terbuka. Wajah Dimas tampak kebingungan melihat tamu yang datang menjelang magrib.
“Aldo, Tante, silahkan masuk!”
“Cuma mereka saja yang di suruh masuk? Aku sebesar ini tidak kelihatan,” Sinta menggerutu kesal. Dimas tidak menanggapi ucapan Sinta.
“Loh Tante Ati, Aldo, Sinta, silahkan duduk! Kenapa tangan kamu lebam-lebam Aldo?” tanya Mita yang langsung menghampiri adik iparnya itu.
“Tadi dapat musibah mbak di jalan,” sahut Aldo setelah menyalami Mita dan bu Lela yang duduk di kursi roda.
“Ya Allah, kok bisa? Tante juga terlihat pucat sekali,” Mita langsung beralih memperhatikan mamanya Aldo yang duduk di dekatnya.
“Tante habis pingsan karena kecelakaan itu Mita, tapi Alhamdulillah sudah mendingan, tidak sepusing tadi,” sahut bu Ati.
“Tidak lama Dimas datang membawa nampan berisi teh hangat dan beberapa potong kue lapis legit yang dibelinya sepulang kerja tadi.
“Maaf Dimas, kedatangan Tante malah membuatmu kerepotan,” bu Ati merasa tidak enak pada Dimas.
“Tidak masalah Tante, hanya teh dan kue, silahkan dinikmati hidangan sederhana ini Tante, Aldo!” Dimas mempersilahkan. “Terima kasih Nak Dimas.”
“Sebelumnya saya meminta maaf, kedatangan saya dan mama saya kemari, saya ingin mengembalikan Sinta. Saya sudah menjatuhkan talak padanya. Saya sudah tidak bisa meneruskan pernikahan ini lagi. Maaf sudah membuat kalian kecewa,” ucap Aldo terus terang, membuat Mita dan Dimas saling tatap dan kebingungan.
“Maksud kamu, kamu mau menceriakan Sinta Aldo? Dia sedang mengandung anakmu bukan? Kenapa tiba-tiba kamu menceraikan dia?” tanya Mita keheranan.
“Iya Mbak, Aldo akan menceraikan Sinta. Sinta rupanya hanya membuat kebohongan tentang foto dan kehamilannya itu, agar bisa menikah denganku Mbak. Sebenarnya dia tidak hamil Mbak,” terang Aldo yang membuat Mita dan Dimas sangat terkejut, begitu juga dengan bu Lina.
“Sinta apa yang kamu lakukan? Bikin malu saja!” teriak Bu Lina.
“Bu, Sinta cinta sama mas Aldo. Ibu ini bukanya bela Sinta anak Ibu, malah Ibu berkata begitu. Apa selama ini wanita miskin ini sudah meracuni pikiran Ibu? Iya apa yang sudah kamu lakukan Mbak? Lihat lah! Ini pertama kalinya Ibu kasar padaku.”
“Cukup Sinta! Dia kakakmu. Hormati dia! Dia yang selama ini merawat Ibu. Dia yang selama ini menjaga Ibu, harusnya kamu berterima kasih pada mbak Mita,” sentak Bu Lina, membuat Sinta menganga tak percaya.
“Kenapa Ibu berubah? Kenapa Ibu sekarang peduli sama wanita miskin ini? Bukankah dulu Ibu sangat membencinya?”
Mita hanya diam. Wajahnya tetap tenang menerima hinaan demi hinaan yang keluar dari mulut Sinta.
“Keterlaluan kamu Sin! Diamlah, jika tidak bisa berbicara sopan pada mbak Mita!” bentak Aldo.
“Jangan ikut campur! Kamu bukan suamiku lagi, Mas.”
“Seperti ini kelakuan kamu Sinta? Betapa menyesalnya Ibu punya anak menantu sepertimu. Tidak bisa menghormati dan menghargai orang lain. Menganggap orang tidak berada, hina. Lihatlah kelakuan kamu yang sangat hina itu!” Bu Ati emosi.
“Saya mewakili keluarga memohon maaf pada Tante dan juga Aldo atas kesalahan yang Sinta lakukan. Kami tidak menyangka Sinta bertindak sejauh ini,” ucap Dimas sembari mengatupkan kedua tangannya di depan d**a.
“Iya Nak Dimas, Tante tidak menyangka adikmu ini berbeda sekali denganmu. Sifat jahatnya yang membuat kami mengembalikan dia pada kalian. Saya dan anak saya sudah tidak sanggup lagi membimbingnya.”
“Maafkan saya Bu! Ini salah saya sudah memanjakan Sinta sejak ia kecil. Hingga dia bisa bertindak sesuka hatinya. Maafkan saya Bu!”
“Iya Bu tidak apa-apa. Yang sudah terjadi biarlah. Setidaknya sekarang ada perkembangan. Ibu sudah mulai menerima Mita. Ibu beruntung memilikinya Bu. Dia menantu yang baik yang diidamkan semua ibu mertua di dunia ini.”
Sinta pun langsung meninggalkan ruang tamu dengan kesal. Ia menutup pintu kamarnya dengan keras. Dia merasa kecewa dengan semua orang. Dia merasa asing pulang ke rumahnya sendiri.
“Ya sudah kami permisi, taksi yang saya pesan sudah datang. Semoga Ibu diberi kesembuhan. Mbak Mita Dimas yang sabar ya! Kami permisi Assalamualaikum,” pamit Aldo dan bu Ati setelah bersalaman pada sang empunya rumah.
Bu Lina terlihat sedih. Ia tidak menyangka pernikahan anak bungsunya hanya sekejap saja. Ia menyesal sudah memanjakan Sinta. Kini Sinta tumbuh jadi wanita yang egois, dan tidak mau kalah.
“Maafkan Sinta ya Mita! Maafkan dia! Ini salah Ibu susah salah mendidiknya.”
“Ibu tidak perlu meminta maaf. Suasana hati Sinta sedang tidak baik, sehingga dia mudah emosi Bu,” sahut Mita tenang.
“Bagaimana jika bapak dan Rangga sampai tahu alasan Sinta pulang ke rumah ini? Akankah mereka memaafkan adikmu?”
“Sudah Bu, jangan memikirkan itu! Kesehatan Ibu sudah mulai membaik. Dimas tidak mau Ibu sakit lagi.”
“Ayo Bu istirahat saja! Soal Sinta biar Mita yang tangani. Benar kata Dimas Bu. Ibu tidak boleh banyak mikir, nanti sakit lagi. Kepala ibu pusing lagi.”
Wanita paruh baya itu pun menurut pada menantu dan anaknya. Dimas membawa ibunya ke kamar. Sementara Mita mendatangi Sinta di kamarnya yang entah sedang apa?
“Sinta, boleh Mbak masuk?”
“Mau apalagi kamu, Mbak? Puas kamu, pasti kamu senang ‘kan sekarang? Ibu dan semua orang membelamu. Pergi kamu Mbak! Jangan masuk! Aku tak sudi melihat wajahmu yang menyebalkan itu.”
Mita pun urung membuka pintu. Ia tidak mau menemui Sinta yang tengah dilanda emosi.
Barusan saja hendak meninggalkan kamar Sinta, suara klakson mobil membuyarkan pikirannya.
“Mas Rangga,” Mita pun gegas keluar menyambut kedatangan suami yang pulang dari luar kota menjemput bapak mertuanya.