BAB 14

1151 Words
“Itu bukanya Sinta, perempuan manja yang sudah membuat separuh hidupmu pergi?” tunjuk Anisa sesaat setelah Sinta keluar dari klinik, membuat Rina mendongak. Kebetulan sedang tidak ada pasien. Jadi mereka bisa mengobrol lebih leluasa. Anisa adalah salah satu perawat yang bekerja di Klinik Rina Alona, yang kebetulan sangat dekat dengan Rina. Mereka sudah lama kenal, sehingga Rina yang sudah percaya pada Anisa, selalu cerita apa saja yang ia alami.” “Iya, aku menyesal tidak memperjuangkan cintaku dulu. Seharusnya aku jujur sama Aldo tentang perasaanku sejak dulu.” “Aku pernah menulis surat buat Aldo waktu sekolah dulu, eh gak tahunya ketahuan sama Sinta pas mau aku masukkan ke tas Aldo. Aku marah pas dia memaksa buat membacanya. Tapi aku juga tidak bisa mencegah.” “Eh besoknya Aldo sama dia langsung dekat dong, pas aku cari tahu ke teman dekat Aldo, dia bilang dapat surat ungkapan isi hati dari si Sinta, karena Sinta bubuhkan namanya di sana, padahal kan dia tahu, itu surat aku tulis buat Aldo.” “Asli dari situ aku muak banget sama dia, eh tapi dianya tidak punya perasaan. Malah curhat lagi sama aku, kalau dekat sama Aldo. Sahabat macam apa coba kelakuan kayak gitu?” “Ternyata si perempuan manja itu pun juga tidak berubah sama sampai sekarang, kasihan Tante Ati baik dapat menantu kayak jin iprit begitu.” “Aku tidak yakin hubungan mereka akan langgeng. Semua yang diawali kebohongan tidak akan bertahan lama Rin.” “Kita lihat saja, sampai mana Aldo kuat hidup sama si Sinta itu Nis? Sinta tetap menganggap aku sahabat, padahal aku ogah banget. Sudah manja, jahat, licik lagi. Padahal ‘kan dulu dia tahu, aku suka banget sama Aldo, bukanya membantu, malah main tikung.” “Sudahlah Rin, ikhlaskan Aldo! Di luar sana masih banyak pria yang mengantre buat jadi suami kamu.” “Bukan masalah rela tidak rela, kalau misalnya si Sinta beneran tulus sama Aldo dan sayang juga sama keluarga Aldo mungkin aku bisa Ikhlaskan Nis, tapi ini berbeda. Bu Ati sudah aku anggap ibu sendiri. Dia baik sekali, rasanya aku tidak rela, kalau Sinta memperlakukan mereka dengan semena-mena. “Lalu kamu mau apa? Mau merebut Aldo dari Sinta? Atau mau menunggu mereka bercerai?” cecar Anisa. “Menurut kamu?” Rina bertanya balik. “Ya mana aku tahu Rin? Aku ‘kan belum berpengalaman soal percintaan.” “Aku tidak akan merebut, aku hanya akan menunjukkan pada Aldo juga ibunya, kalau Sinta bukanlah menantu yang baik-baik. Iya walaupun mungkin mereka sudah tahu akan hal itu, tapi mereka tidak sepenuhnya tahu, akan kelicikan Sinta.” “Kalau Aldo sampai marah dan menceraikan Sinta bagaimana? Dia sedang mengandung sekarang. Sebaiknya lupakan saja si Aldo Rin! Aku tidak setuju kalau kamu sampai berbuat nekat. Kamu ini seorang Bidan yang disegani banyak orang. Jangan sampai perbuatan kamu, mencoreng nama baikmu, Rin!” “Hamil? Kamu percaya dia hamil? Itu juga salah satu kebohongan besar, sandiwara si anak pemalas itu agar Aldo menikahinya. Lagian aku diam-diam meraba perutnya, tidak ada apa-apa Nis. Percaya deh sama aku dia itu hanya pura-pura. Lagian kalau hamil perutnya membesar Sin. Ini kan tidak. Jangan mentang-mentang langsing, terus alasan perut belum kelihatan.” “Apa? Sejauh itu dia berani berbohong pada suami dan juga keluarganya? Kalau sampai ketahuan, Bagaimana? Aku tidak sanggup membayangkannya Rin.” “Iya baguslah kalau ketahuan, jadi aku tidak perlu susah-susah lagi buat menyingkirkan Sinta dari kehidupan Aldo. Kamu bayangkan saja, dulu apa pun yang aku alami, lagi jatuh cinta, lagi bahagia, lagi patah hati, apa pun itu, aku selalu bercerita sama dia.” “Tentang Aldo, berulang kali aku katakan sama dia, kalau aku mencintai Aldo, responya baik, dia kasih dukungan, kasih semangat, saat aku bercerita, tahunya begini akhirnya. Kebusukan sahabat, eh salah mantan sahabat yang lama terpendam terungkap juga.” “Mana pakai cara licik lagi biar bisa menikah dengan Aldo? Makanya aku tidak ikhlas. Harusnya bersaing secara baik-baik.” “Sudah Rin, menurut aku ikhlaskan saja sih! Kenapa tidak kamu pacari saja si Dimas. Dia jauh lebih baik dari si Aldo.” “Yah jadi kakak iparnya Sinta dong? Malas banget aku punya ipar macam dia.” “Kamu masih ingat tidak sama Mbak Mita!” “Mbak Mita kakak iparnya sahabat busukmu itu Rin?” “Iya mbak Mita. Kasihan dia punya ipar kurang ajar. Kalau aku jadi mbak Mita sudah aku racun itu si Sin..” “Permisi Bu, saya mau berobat,” ucap seorang pasien saat Rina belum selesai berbicara. “Oh mari silahkan Pak!” obrolan mereka pun berakhir. ***** “Eh Sinta, biarkan kalau masuk dan keluar rumah mengucap salam! Kalau mau pergi pamit dulu sama Ibu atau sama suami kamu, jangan main menyelonong saja. Di rumah ini ada aturannya.” “Aturan, aturan terus Ibu ini, bosan Sinta mendengarnya. Biarkan Sinta hidup normal seperti biasanya Bu! Jangan ubah Sinta!” sahutnya ketus. “Sana mandi! Hari ini jadwal periksa kandungan, biar Aldo yang antarkan. Kemarin ‘kan kamu sendirian, Aldo juga mau tahu perkembangan anaknya.” “Apa Bu? Periksa kandungan?” Sinta berdehem. “Sinta capek Bu. Lain kali saja, ya? Terlambat tidak masalah.” “Tidak bisa Sinta. Aldo sudah bilang tadi sama Ibu akan menjemput kamu setelah jadwal kerjanya selesai,” sahut Bu Ati tegas. ‘Lah mampus gue, celaka. Berakhir sudah drama rumah tangga gue kalau begini,’ guman Sinta dalam hati. “Ya sudah Bu, Sinta masuk kamar dulu, ya? Mau siap-siap.” “Iya sana Sin.” Setelah menutup pintu dan menguncinya, Sinta tampak modar-mandir di kamarnya karena gelisah, kebohongannya akan terungkap.” “Gak bisa diam aja nih, hah mending minta tolong sama Rina ‘kan beres urusan. Untung tadi sempat minta nomornya.” [Aku minta tolong sekali lagi ya, Rin? Tolong aku! Mertua aku yang rese itu nyuruh periksa kandungan diantar sama mas Aldo, aku periksa sama kamu saja ya, Rin? Aku minta jangan ember! Aku sebenarnya tidak hamil Rin. Kalau aku periksa ke tempat lain, sampai ketahuan, bisa tamat riwayat aku Rin.] Ting Pesan terkirim pada Rina. “Nah sini Nis, kamu lihat sini! benar kan firasat aku. Ini anak memang cuma pura-pura saja.” Anisa pun mendekat, duduk di kursi panjang sebelah Rina, dan membaca pesan dari Sinta. “Wah parah, asli parah temanmu ini. Terus kamu mau bantu gitu?” “Ya gak lah. Mamanya Aldo baik banget Nis, gak tega kalau aku mesti ikut andil dalam drama menantunya yang kurang ajar itu. Mendingan aku bongkar sekalian aibnya secara halus. Anggap saja pembalasan dariku, jadi aku anggap lunas.” Sementara di kamarnya, Sinta sudah merasa tidak tenang, karena pesannya hanya dibaca saja oleh Rina. “Aduh kok dibaca saja sih? Rese nih si Rina. Balas dong Rin! Bentar lagi pasti mas Aldo datang.” Beberapa menit balasan pesan tak kunjung Rina kirimkan. Sinta kian gelisah. Tangannya mendadak dingin, dan berkeringat. Tak lama kemudian, pintu pun di ketuk, hingga Sinta melonjak kaget.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD