BAB 12

1329 Words
“Mah! Mah tolong Mah!” Aldo berteriak panik memanggil mamanya sebab melihat Sinta pingsan di depan pintu kamar mandi. Sang mama yang mendengar jeritan anaknya, tampak khawatir dan lekas menghampiri Aldo. “Astagfirullah, kenapa Sinta, Do? Ayo bawa istrimu ke kamar!” titah sang Mama. Tampak raut wajah khawatir di wajah wanita paruh baya itu. “Baringkan pelan-pelan Do! Ini salah Mama sudah membuat dia kelelahan. Maafkan Mama Do!” “Aldo juga bersalah Mah. Sudah mengacuhkan istri Aldo selama ini. Aldo menyesal, Mah.” “Biar Mama gosokkan minyak, kamu cepat telepon Bidan Rina! Minta tolong sama Bidan Rina untuk datang kemari. Katakan ada masalah darurat!” “Baik Mah.” **** “Maafkan saya ya Allah! Saya tidak bermaksud menyakiti menantu saya. Saya hanya ingin mengajarkan hal yang belum pernah ia tahu sebelumnya.” Dengan telaten bu Ati menggosok dan memijat menantunya yang belum juga tersadar dari pingsannya. Niat hati ingin memberi pelajaran pada menantunya, malah terjadi hal yang tak diinginkan. “Bagaimana Bu, Rina? Apa yang terjadi pada menantu saya?” tanya bu Ati khawatir. “Menantu ibu HB rendah sekali. Ini berbahaya jika tidak lekas ditangani. Berikan makanan penambah HB, seperti bayam, kentang, alpokat, daging, dan kacang-kacangan! Kalau perlu, lakukan transfusi darah Bu!” “Baik Bu, terima kasih. Saya akan lakukan yang terbaik untuk menantu saya.” “Iya sudah Bu. Saya permisi dulu. Masih banyak pasien yang harus saya tangani di klinik.” “Baik Bu Rina, terima kasih banyak sudah bersedia kemari. Hati-hati di Jalan, Bu!” “Sama-sama Bu. Semoga lekas membaik menantunya.” “Aamiin, Bu.” Aldo pun mengantarkan Bidan itu sampai ke depan. “Aduh pusing Bu kepala Sinta! Sinta tidak sanggup menyapu halaman sepertinya Bu,” ucap Sinta lemah saat ia tersadar dari pingsannya. “Sudah biarkan Ibu saja yang menyapu. Kamu istirahat saja, Sin!” “Loh kok Ibu jadi baik sama Sinta? Pasti ada maunya ini?” “Kamu ini kalau pingsan bikin Ibu khawatir, pas sudah sadar bikin darah tinggi Ibu kumat lagi.” “Lagian sikap Ibu aneh, bisa tiba-tiba baik begini?” “Lah Ibu ‘kan jahatnya gak murni Sin, makanya bisa berubah-ubah. Tidak seperti .....” “Seperti ibuku ’kan? Begitu saja kok susah, Bu.” “Sudah, istirahat kamu, Sin! Jangan mengajak Ibu ribut terus!” “Lagian Ibu yang mulai. Dari awal kalau Ibu bersikap baik pada Sinta, tidak akan Sinta mengajak Ibu ribut.” “Loh sudah sadar kamu, Sin?” “Kepalaku pusing, Mas.” “Ya sudah kamu istirahat, ya? Maafkan Mas sudah cuek dan tidak peduli sama kamu selama ini. Mas janji, tidak akan melakukan kesalahan seperti kemarin-kemarin.” “Kalian kenapa sih? Kok pada aneh begini? Setelah kalian baik, aku justru merasa kalian asing.” “Bukannya Mas mau menceraikan aku setelah aku melahirkan? Lalu menikah dengan Santi menantu idaman Ibu?” “Itu tidak benar Sin. Kami hanya bercanda. Mengetes bagaimana reaksi kamu mendengar itu?” “Sebenarnya apa sih rencana kalian? Kenapa kalian membuatku bingung begini?” “Sudah jangan banyak mikir dulu! Istirahat saja! Ibu suruh istirahat saja, susah.” “Kasih Sinta penjelasan dulu Bu! Baru Sinta bisa istirahat dan tidur dengan tenang. Sinta terbebani dengan pikiran Sinta sendiri.” “Oh iya, apa kalian ada hubungannya dengan mbak Mita? Sudah dibayar berapa kalian hingga bisa berdrama seperti ini?” “Cukup Sin, jangan buat kami membencimu karena kebiasaan burukmu itu!” “Kebiasaan buruk apa, Mas? Aku dari dulu begini, keluargaku tidak ada yang protes. Semua menerima aku. Semua menyayangiku.” “Sudah Sinta Aldo, mau sampai kapan kita memperdebatkan masalah yang tidak penting ini? Sinta, Ibu minta sama kamu. Berhenti berpikiran buruk tentang kami! Kamu harus bisa membuka pikiran kamu!” “Kamu hidup di rumah dan keluarga yang berbeda. Kamu harus berubah. Kalau kamu seperti ini terus, siapa pun akan muak dan tak mau peduli sama kamu.” “Kami dan keluarga kamu memang berbeda. Keluarga kamu selalu bisa menerima kekurangan kamu walaupun sebenarnya mereka juga mungkin merasa muak, hanya saja mereka merasa tidak enak untuk menegurmu.” “Di sini, kami akan memberi tahu langsung kesalahan yang kamu perbuat, supaya kamu bisa memperbaikinya. Ibu harap kamu mengerti Sinta!” “Tuh dengar ucapan mama aku! Kamu harus berubah! Semua orang bisa saja pergi kalau sudah merasa muak.” “Sudah selesai ngomongnya, Bu? Mas juga, sudah selesai belum? Kalau sudah Sinta mau tidur dulu. Pusing kepala Sinta.” “Urus istrimu Aldo! Mama sudah pening sekali menghadapinya.” Bu Ati langsung keluar dari kamar mereka. Dia yang berjiwa baik, tentu tak pandai memainkan peran menjadi jahat. Sebenarnya bu Ati sangat sabar dan baik hati. Ia hanya ingin menantunya berubah. “Sinta, Mas minta sama kamu, kamu jangan melawan mama! Mulai sekarang, panggil mama aku dengan sebutan mama bukan ibu!” “Yang melawan siapa, Mas? Aku memang begini dari dulu. Kalian itu harus bisa menerimaku apa adanya.” “Aku memang menikahi kamu, karena aku mencintaimu Sinta, tetapi bukan berarti, aku menerima semua yang ada pada dirimu. Yang masih bisa diperbaiki, perbaikilah!” “Sudah Mas Sinta mau tidur dulu. Nanti lagi kita lanjut debatnya. Ayok sini, kita tidur Mas! Dari kita menikah, Mas selalu tidur bawah. Sini tidur sama-sama!” “Ya Allah ternyata ngomong sama kamu menyebalkan sekali. Lebih enak saling diam seperti kemarin-kemarin. Aku tidur di bawah saja. Panas di atas.” “Ya sudah terserah kamu saja, Mas enaknya bagaimana? Dikasih enak kok malah menolak.” Mereka pun tertidur di masing-masing tempat yang berbeda. “Pusing kali kepalaku, menghadapi menantu macam Sinta ini.” “Sayur....” “Ah rupanya yang aku tunggu-tunggu datang juga.” “Eh Mama Aldo, kenapa terlihat berbeda? Biasanya tiap mau belanja senyum-senyum. Ini kok diam saja?” celetuk bu Surti penjual sayur. “Biasalah Bu Surti. Masalah mertua dan menantu ini. Susah dijelaskan,” sahut bu Ati canggung. Ia tak suka ngerumpi, ia tak mau menambah dosa “Bu, saya mau daging sapi satu kilo. Alpokat lima kilo yang mengkal, bayam dua ikat, kacang tanah tiga kilo.” “Banyak sekali belanja Bu Ati siang ini, tumben?” tanya bu Surti heran. “Ini untuk menantuku. Dia kekurangan HB, kata Bidan Rina, suruh makan, makanan penambah HB. Setelah saya cari dan tanya sama mbah Google, rupanya yang saya sebutkan tadi yang keluar.” “Wah beruntung sekali menantu Bu Ati ini, punya mertua perhatian.” “Harus Bu, kalau kita mau menantu kita sayang dan perhatian pada kita, maka kita pun harus mencontohkannya terlebih dahulu,” ujar bu Ati.” “Kalau saya tidak bisa Bu, menantu saya tiap hari mengajak ribut saja, Bu. Suka meminjam uang, tapi tak pernah bayar. Mau menagih tidak enak, tidak ditagih, saya yang bingung tidak bisa putar modal buat jualan lagi,” keluh bu Surti pada pelanggannya itu. “Lah si Rosa perasaan banyak perhiasannya, Bu? Kok bisa dia pinjam uang sama bu Surti? Seharusnya dia yang wanita karier itu, yang banyak uangnya Bu.” “Saya juga tidak tahu, Bu. Setiap saya datangi ke rumahnya langsung drama nangis, yang sakitlah, apalah, padahal saya hanya ingin main saja, bukan mau menagih hutang.” “Walah yang sabar ya Bu Surti! Semoga si Rosa diberi kesadaran nantinya. Ya sudah Bu, uang saya masih ada satu juta sama Ibu ‘kan? Potong saja dari sana ya, Bu?” "Baik Bu, saya potong nanti.” "Ya sudah saya permisi dulu ya, Bu? Mau masak," pamit bu Ati pada Bu Surti. "Nggih Bu, saya juga mau lanjut keliling Bu. Jam segini masih banyak dagangan saya, Bu. Terima kasih Ibu susah memborong dagangan saya. Semoga rezekinya lancar terus, biar bisa belanja terus.” "Amin Bu, terima kasih doanya, semoga dagangan Bu Surti juga laris manis, Bu.” "Amin Bu, terima kasih kembali.” "Sayur....sayur..." Bu Surti kembali berkeliling menjajakan dagangannya. Masak daging, kupas alpokat, benar-benar mertua yang sabar. Biar menantunya belum menjadi seperti yang ia harapkan, tak akan membuatnya menjadi mertua yang kejam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD