“Beberapa hari lagi, akan ada spesial dari sekolah kita.”
Penghuni ruangan ukuran 12 x 11 meter itu seketika senyap. Awalnya, terdapat sedikit kebisingingan yang dikarenakan oleh beberapa siswa paling jahil. Termasuk Marve yang berdebat asal dengan Auriga.
Mungkin siswa di ruangan itu sudah tahu apa yang dimaksud dari perkataan Bu Hani. Rumor telah beredar akhir-akhir ini. Rumor yang banyak orang percaya. Rumor yang berkaitan dengan kekuatan dan hal gila lainnya.
Sebagian besar bahkan hampir sembilan puluh lima warga Starry percaya akan rumor itu dan mereka justru sangat tertarik untuk menjadi bagian dari yang terpilih.
“Kayaknya di antara kita bertiga pasti bakal ada yang terpilih,” ucap Marve kepada Ruby yang duduk di belakangnya dan kepada Sofia yang berada di depannya, di baris kedua.
“Semoga lo aja, ya, Marve. Gue gak siap, sementara Sodia pasti gak percaya ginian tuh anak,” sindir Ruby kepada Sofia.
Saat itu, pikiran Lisa sedang entah berada di mana. Fokusnya terpecah, meskipun emosinya telah stabil berkat Marve dan Ruby. Hanya saja, gadis itu tiaba-tiba memikirkan perkataan Jenny. Bagaimana jika memang nantinya papa dia menikah lagi? Pikiran negatif terus menguasai gadis itu. Padahal, tidak biasanya dia seperti ini. Mungkin, dia hanya belum ikhlas untuk melepaskan Lily dari hidupnya.
Sekelebat ingatan tentang James tadi pun ikut mendadak muncul. Sial, Sofia benci akan hal menyakitkan yang terus berkeliaran di ingatannya. Kata-kata dari James yang membuat Sofia berkata dalam hati, “teganya dia”. James malah tidak mengunjungi Sofia kemarin padahal orang tua James datang saat pemakaman Lily. Sofia rasa, James telah menjadi korban cuci otak Jenny. Meski dari dulu cintanya tak terbalas, tapi setidaknya James yang dulu memiliki perasaan dan sedikit peka. Sedangkan semenjak masuk Starry Highschool, tepatnya setelah mengenal Jenny, James benar-benar jauh dari Sofia, James tidak memiliki rasa peduli sedikitpun kepada Sofia.
“Siswa terpilih akan mendapatkan surat spesial. Jadi siap-siaplah menunggu surat spesial sayang satu ini!” ujar Bu Hani diiringi senyuman beliau yang hangat.
“Bu Hani bunny sweaty. kira-kira ada berapa siswa yang terpilih itu?” tanya Marve yang membuat seisi kelas menengok ke arahnya.
“Sepertinya sekitar ….” Bu Hani berhenti sejenak, siswa pun kini beralih menatap lurus kepadanya dengan dihinggapi oleh rasa penasaran. “Rahasia,” lanjut Bu Hani.
Tentunya, jawaban dari Bu Hani langsung mematahkan harapan para siswa, kecuali Sofia yang sama sekali tidak tertarik akan hal seperti ini.
* * * * *
"Waktunya telah habis, Tuan Rodrigo."
Sofia segera mematahkan niatnya untuk menarik gagang pintu rumah dia sore ini. Ini memang tidak sopan, namun gadis yang penuh kesedihan hari ini ingin mengetahui apa yang sedang papanya bicarakan dengan tamu di dalam. Ya, tentunya Sofia mengharapkan ia menjadi gadis baik saja yang langsung pergi tanpa menguping. Tetapi, mood dia sedang tidak sebagus itu menjadi gadis baik. Dan dia memutuskan untuk mendengarkan sedikit percakapan dari dalam rumahnya itu.
Waktu apa yang telah habis? Apa kaitannya dengan papanya? Begitulah yang Sofia pikir-pikir sampai ia tak sabar untuk mendengarkan percakapan berikutnya. Ia bisa mengira-ngira tamu di dalam rumah yang tadi ia dengar suaranya. Seorang laki-laki kisaran umur lima puluh tahun dengan suara yang berat. Tentunya, Sofia tidak pernah mendengar suara ini sebelumnya. Maka dari itu, jiwa-jiwa penasaran nya meningkat drastis.
Sorot sinar pusat tata surya di waktu menjelang berganti hari itu menyorot tepat wajah cantikk Sofia. Terasa hangat dan seolah Sofia mendapatkan sapaan dari mamanya yang kemarin pergi.
"Tidak! Ramuan itu diperkirakan membantunya hidup selama setengah abad lagi. Sementara kemarin baru 17 tahun semenjak meminum ramuan itu. Lily seharusnya masih hidup!"
Pupil Sofia membesar seketika setelah mendengar suara papanya. Ramuan apa? Mama harusnya masih hidup? Ada apa ini? Sofia sama sekali tidak memahami apa yang papa dan tamu papanya itu bicarakan.
“Apa kamu tidak ingat? Jika Lily masih hidup dengan ramuan itu, maka hidup putrimmu dikendalikan oleh berbagai magis gelap karena yang akan terus berkembang sampai akhirnya, setelah 17 tahun magis kegelapan akan benar-benar menguasai dirii putrimu dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi banyak hal apalagi saat putrimu tidak bisa mengendalikan kekuatan . Lily yang tahu betul akan tentang itu, dia tidak ingin hidup putrinya hancur dan langsung menghubungi saya untuk mencari solusi. Namun, solusi satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menghilangkan satu nyawaa.”
Tubuh Sofia otomatis bergetar mendengar hal demikian. Ya Tuhan … Apa semua yang tamu papa Sofia bicarakan benar? Jadi, Lily merelakan nyawanya demi Sofia?
Meski masih ditimpa rasa kebingungan yang membuat Sofia pening, gadi itu tetap saja tidak bisa mengendalikan iar mata nya yang perlahan turun tanpa permisi. Dia pasti merasa bersalah akan semua yang terjadi. Akan kematian mamanya. Rasa sesak yang tadi di sekolah berlangsung, kini terjadi lagi. Rasa itu seakan terus menggerogoti jiwa dan aganyayang entah harus berkata apa lagi.
Cahaya sore yang kian meredup, beriringan dengan kesedihan Sofia yang kembali hadir. Suara bukaan pintu rumah hampir tak Sofia dengar. Dengan keadaan masih meneteskan air mata, tamu papanya berdiri di depan Sofia setelah pintu rumah terbuka. Pastinya, papa Sofia yang berdiri dibelakang tamunya melihat Sofia dengan terkejut,