7. Kekasih Julian

1300 Words
“A– aku–” Suara Shakila terhenti saat mendengar derap langkah kaki. Ia menoleh dan mendapati Julian berjalan ke arahnya. Dan di saat itu wanita yang berdiri di luar tersebut segera masuk ke dalam rumah dan merangkul Julian. “Sayang, siapa dia?” tanya wanita tersebut bernada manja. Julian melirik Shakila sekilas dan mengatakan, “Apa yang kau lakukan di sini?” Alih-alih menjawab pertanyaan wanita itu, ia justru memberi respon dingin. Mendapat respon demikian membuat wanita berambut panjang itu merengek. “Sayang, jangan begitu. Kau masih marah padaku? Kedatanganku ke sini karena ingin minta maaf sekaligus setuju dengan ajakanmu waktu itu. Aku sangat mencintaimu jadi aku akan melakukan apapun.” Julian melepas rangkulan kekasihnya dan berjalan menuju dapur untuk melanjutkan sarapannya yang tertunda. “Sayang! Sayang!” panggil Raline, wanita yang menjabat sebagai kekasih Julian. Tak ingin kehilangan kesempatan, ia mengikuti Julian mengabaikan Shakila yang masih berdiri di sana. Shakila menatap punggung Raline cukup lama sampai akhirnya tak lagi terlihat. Ia bertanya-tanya siapa wanita itu sebenarnya. Apakah istri Julian atau ibunya Davin? Tapi, melihat tubuhnya yang bak biola membuatnya berpikir tidak mungkin. Tak mungkin tubuhnya bisa sebagus itu di saat beberapa bulan yang lalu melahirkan Davin. Tapi, jika bukan istri Julian, siapa? Apa pacarnya? Simpanannya? Lalu di mana istri Julian sekarang? “Ough!” Shakila memijit kecil kepalanya yang berdenyut ngilu. Untuk apa ia memikirkannya? Itu semua bukan urusannya. Bahkan jika Julian punya 10 istri sekali pun, juga bukan urusannya. “Dasar laki-laki, tak pernah puas dengan satu wanita. Benar-benar makhluk tak punya otak sampai-sampai Davin yang masih bayi jadi korban,” gerutu Shakila. Meski berucap tak peduli, kenyataannya dirinya tak bisa. Ia kesal membayangkan Julian punya 10 wanita. “Ooee! Ooee!” Suara tangisan Davin membuat Shakila tersentak dan tersadar dari lamunan anehnya tentang Julian. Ia membuang pel di tangan dan bergegas menyusul Davin. Sementara itu di dapur, Raline masih tak berhenti merengek meminta maaf pada Julian. Dirinya bahkan sampai berlutut berharap Julian memaafkannya dan melupakan ucapannya mengenai Davin. “Kumohon, Sayang, maafkan aku. Aku benar-benar menyesal. Aku spontan mengatakan itu tanpa berpikir lebih dulu. Aku benar-benar menyesalinya," rengek Raline. Wanita yang berprofesi sebagai model tersebut berlutut seperti seekor peliharaan yang meminta belas kasihan sang majikan. Julian menghela nafas dan meletakkan sendok di tangan. Raline benar-benar mengganggu sarapannya. “Sebaiknya pergilah,” ucap Julian. Dirinya masih marah karena Raline menyebut Davin hanya lah beban. “Untuk apa kau mengurusnya? Anak itu hanya akan jadi beban.” Kalimat itu membuat Julian kesal dan marah membuat cintanya pada Raline seakan musnah. “Tapi, Sayang, aku bersedia merawat Davin. Aku mau tinggal di sini merawat Davin sampai ibunya sembuh. Aku janji.” Raline mengangkat satu tangan membuat janji berharap Julian luluh. Sayangnya, kesalahan kecil yang ia lakukan sudah menutup pintu maaf Julian. Derit kursi terdengar saat Julian bangkit dari duduknya. “Kalau begitu, buktikan ucapanmu,” ucapnya seraya melangkah. Wajah Raline mulai bersinar karena diberi kesempatan. Ia pun bangkit berdiri dan mengikuti Julian di belakangnya. Julian berjalan ke kamar Davin dan menemukan Shakila dengan hidung diberi penjepit hendak mengganti popok Davin. “Ah, Tuan. Davin baru saja buang air besar dan aku akan mengganti popoknya," ucap Shakila dengan suara sengau karena hidungnya diberi penjepit menghalau bau poop Davin. Julian tak merespon dan melirik Raline yang bergidik menatap benda kuning di popok Davin. “Buktikan ucapanmu,” kata Julian pada Raline. Raline yang berdiri di samping Julian sontak terperanjat kaget. “A– apa? A– aku? Ta– tapi dia bilang dia akan mengganti popoknya.” Julian menatap Raline datar seakan sorot matanya menyiratkan ancaman. Kemudian ia mengalihkan pandangan pada Shakila dan mengatakan, “Lanjutkan tugasmu di luar dan biarkan wanita ini yang mengurus Davin,” perintahnya. Shakila cukup terkejut dan mengarah pandangan pada Raline. Dan melihat bagaimana ekspresi Raline saat ini membuatnya tahu Raline tidak mau. “Lanjutkan pekerjaanmu! Lanjutkan pekerjaanmu!” ucap Raline tanpa suara, hanya mulutnya yang bergerak memerintah Shakila. “Um, Tuan, biar aku saja. Setelah mengganti popok aku akan–" “Lanjutkan pekerjaanmu dan biarkan wanita ini yang mengurus anakku!” tegas Julian sebelum Shakila menyelesaikan ucapannya. Dan apa yang dilakukannya itu sukses membuat Shakila kicep. Dengan tertunduk Shakila menurut. “Ba– baiklah.” Ia pun keluar dari sana dan melanjutkan acara mengepel yang tertunda. Setelah Shakila pergi, Julian menoleh menatap Raline. “Apa yang kau tunggu? Kau mau membuat Davin iritasi karena terlalu lama menunggumu mengganti popok?” Raline meneguk ludah dan dengan terpaksa berjalan menuju tempat tidur di mana Davin terbaring. Sesampainya di sisi ranjang, Raline hampir saja muntah saat mencium bau poop Davin. Sementara bayi itu hanya diam dan memainkan jari-jarinya seakan menunggu seseorang segera mengganti popoknya. Raline menoleh Julian dan melihat bagaimana pria itu menatapnya membuatnya sadar, Julian serius dengan semua ini. Dengan hati-hati Raline duduk di tepi ranjang. “Davin anak pintar, anak tampan, biarkan Tante mengganti popokmu, ya, Sayang.” Dengan tangan gemetar ia hendak mengambil popok bekas Davin kemudian membersihkan pantatnya dengan tisu basah. “Kenapa aku harus melakukan ini?! Apa Julian sudah gila?! Padahal dulu kami sepakat tidak ingin punya anak. Tapi kenapa justru dia merawat anak ini?! Tenang Raline, kau pasti bisa. Jangan biarkan Julian meninggalkanmu hanya karena masalah ini,” batin Raline. Satu tangannya mengangkat kaki Davin dan satu tangannya hendak menarik popok kotor. Namun, belum sempat ia melakukannya, dirinya kembali mual nyaris memuntahkan isi perutnya. Tiba-tiba cairan bening membasahi tangan Raline dan membuatnya menjerit. Davin pipis dan mengenai tangannya. Reflek ia pun melepas tangannya membuat kaki Davin jatuh pada popok bekasnya. “Sayang!” teriak Raline disertai rengekan dan menunjukkan tangannya yang basah karena ompol. Namun, bukannya bersimpati, Julian justru tampak kesal. “Kau benar, kita tidak harus punya anak. Melihatmu membuatku sadar, kau tak pantas jadi seorang ibu. Sekarang pergilah dan jangan pernah kembali ke sini,” ucap Julian dengan suara amat dingin. Kemudian ia memanggil Shakila dan menyuruhnya segera mengganti popok Davin. Raline masih di sana, ia tak terima diusir terlebih saat melihat Shakila mengganti popok Davin, dirinya juga tampak kepayahan dan tak becus. Sama seperti dirinya, Shakila juga terlihat jelas bukan ahlinya. “Lalu bagaimana dengannya? Dia juga tak becus mengurus Davin! Lagipula, kita bisa menyewa Babysitter profesional!” bentak Raline yang kehilangan kesabaran. “Kau tahu kenapa aku tidak melakukannya? Aku hanya ingin tahu apa kau pantas menjadi pendampingku. Dan sepertinya tidak.” “Jadi, kau sengaja hanya ingin mengujiku?! Tapi kau setuju saat kita sepakat tidak punya anak!” balas Raline dengan suara lantang. “Itu dulu dan sekarang aku berubah pikiran. Dan kau tahu kenapa aku memilih babysitter bodoh dan tak berpengalaman seperti dirinya?" Menunjuk Shakila dengan lirikan mata sekilas. “sebagai perbandingan. Bahkan dia yang amatiran bisa mengurus bayi lebih baik darimu," lanjutnya. Raline tak menyangka Julian bisa melakukan itu padanya seakan-akan pria itu yakin dirinya benar-benar tak pantas jadi seorang ibu. “Apa kau mencintaiku? Jika kau mencintaiku harusnya kau menerimaku apa adanya! Dan sekarang, hanya karena seorang bayi kau mengorbankan cinta kita? Kau benar-benar sudah gila!” “Cinta? Kau benar. Kau hanya mencintai uangku.” Raline tak sanggup berkata-kata, suaranya tercekat. Julian benar, tapi juga salah. Bukan hanya mencintai uang Julian, ia juga mencintainya. Wanita mana yang tak jatuh cinta pada pria setampan Julian? Tampan dan kaya, sangat lengkap menjadi pendamping hidupnya. “Um, maaf, permisi.” Tanpa rasa bersalah Shakila memotong pertengkaran Julian dan Raline. Ia membawa Davin keluar dari sana. Semakin lama di sana, semakin membuatnya ingin muntah seakan tengah melihat langsung sebuah drama. Dan apa itu tadi? Julian menyebutnya bodoh? “Fiuh, akhirnya aku bisa kabur,” gumam Shakila setelah di luar kamar. “Aku tahu kau juga kesal mendengar mereka bertengkar, kan, Vin? Tapi, sekarang kau aman,” ucapnya pada Davin dengan mengusap lembut pipi. “Aku yakin dia bukan mamamu. Jadi, di mana mamamu sekarang?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD