bab 6

1091 Words
Tiga tahun pernikahan yang penuh penderitaan kini usai juga, aku masih mengingatnya saat pertama kalinya aku tersenyum dengan gembira yakni dimana hari terakhir aku menjadi istri sahnya Raihan Al Hakim. Aku bahkan mampu memberikan sebuah senyuman tulus dan manis untuk Rai, dia mengernyit saat melihatku. Aku hanya mengangkat bahu acuh, berbeda dengan raut wajah Rai yang sedari tadi cemberut, tapi sekarang itu tidak penting. Yang penting akhirnya aku bisa bebas dari jerat pernikahan bodoh ini. "Bahagia sekali!" Ejek Rai sinis. "Tentunya, kamu sendiri juga tahu aku menunggu momen-momen seperti ini." "Semalam pintu kamar kamu kunci? Aku gedor-gedor gak dibuka!" Aku melirik sebal, bagaimanapun suasana hatiku sedang bahagia. Kalau dia berada di sampingku, bisa-bisa moodku ambyar. "Maaf, semalam aku ketiduran sambil memakai headset, terus kamarnya aku kunci karena semalam kamu juga pulangnya telat. Aku pikir semalam kamu tidak pulang." Jawabku lembut. Dia menghela nafas, menahan kekesalannya padaku. Entah kenapa aku melihatnya sangat senang, akhirnya aku bisa mengerjai Rai. Baru saja Rai membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, pengacaranya datang dan menyapa kami. Saat penandatanganan surat perceraian, aku memandangi selembar kertas yang berisi deretan angka kompensasi yang akan diberikan Rai padaku, tidak terasa aku menitikan air mata dan itu semua tak luput dari pandangan Rai. "Kamu menangis? Menyesal karena berpisah denganku." Idih dia percaya diri banget mengatakan hal itu. "Justru aku bahagia, aku terharu akhriya aku bisa mendapatkan angka ini." Tunjukku pada lembaran kertas yang aku pegang. Aku menangkap gestur yang tak biasa dari diri Rai, yang membuatku bertanya-tanya ada apa dengannya? "Syukurlah kalau kamu bahagia, setidaknya itu cukup untuk modal kamu pulang ke Indonesia." Seketika empatiku hilang begitu saja, ternyata sikap dia masih saja sama tidak ada yang berubah. "Baiklah, kalian berdua sudah menandatangani surat persetujuan perceraian ini, prosesnya akan sedikit memakan waktu. Mungkin harus menunggu hingga tiga sampai empat bulan, saya harap kalian bisa bersikap kooperatif. Dan untuk surat-surat yang lainnya pihak kami akan mengirimkannya nanti." Kata sang pengacara dengan tegas, "Ada pertanyaan lain?" Kami berdua menggeleng, waktu tiga bulan adalah bukan waktu yang singkat, kenapa juga harus menunggu lama. Selesai berjabat tangan, kami pamit pulang. "Semoga kalian bisa berubah pikiran, sungguh sangat di sayangkan pasangan seperti kalian berpisah begitu saja." Komentar sang pengacara. Jangan menghayal jauh, Pak! Aku saja sudah muak dengan pernikahan ini, bagaimana mungkin bapak bisa berharap kami tetap bersama. Gila aja, jika aku harus bersama dengan Rai. Rai menutup pintu ruangan si pengacara, tingkahnya sedikit berubah dan membuatku kurang nyaman. Dia terus saja mentapku dengan dalam, tidak ada lagi tatapan elangnya. Apa dia kesambet? Aku berbelok menuju arah jalan lain. "Kamu mau kemana?" Tanya Rai. "Mobilku di sana." Dia menggeleng pelan, "Aku sudah menyuruh supir untuk membawa mobil kamu pulang.' "Kenapa? Bukannya tadi kita berangkat terpisah!" "Itu, karena ....." Dia menjeda kalimatnya membuatku menunggu "Karena aku menginginkannya." Aku menatapnya dengan kesal, bagaimana mungkin dia bisa semenyebalkan seperti ini. "Kalau begitu aku naik taksi saja." "Tidak bisa!" Sergahnya cepat, "Kamu itu masih istri aku, jadi kamu itu masih tanggung jawabku. Aku sudah terlalu pusing dengan masalah pekerjaan, jadi aku mohon jangan menambahnya dengan kamu yang pergi sendiri. Kamu sendiri juga tahu, akhir-akhir ini sering terjadi kejahatan di dalam taksi." Apa yang dikatakan Rai ada benarnya juga, aku juga sempat melihat berita Minggu lalu ada seorang penumpang wanita jadi korban perampokan dan dibunuhnya dalam taksi. Aku merinding jika mengingat hal itu, dengan terpaksa akhirnya aku naik mobil Rai yang sudah berada di sampingku. Ia membuka lebar pintu penumpang dan menutupnya dengan sedikit keras saat dia sudah duduk di sampingku, dia kenapa? "Take us home!" Katanya kepada supir. Rumah? Aku pikir itu bukan rumah, tapi neraka. Meski bangunannya memangnya megah dan mewah, tapi jujur selama tiga tahun ini aku persis seperti hidup di dalam penjara. Aku menelisik wajah Rai yang keningnya sedikit mengerut bahkan telunjuk kirinya mengetuk pahanya pelan, kebiasannya saat di sedang memikirkan sesuatu. Sebenarnya aku ingin tahu apa yang membuat pikirannya terganggu, tapi aku terlalu malas untuk menanyakannya. Aku membuka sebotol sampanye dan menuangkan isinya ke dalam gelas kecil, tak berselang lama Rai duduk di seberang meja bar menelisik ke arahku. Dia menuangkan sampanye ke dalam gelasnya dengan takaran melebihi punyaku. "Kenapa harus merayakannya sendiri?" Tanya Rai datar. Aku hanya mengangkat bahu acuh, seraya menuangkan kembali sampanye ke dalam gelasku. "Aku pikir kamu akan merayakannya dengan wanita-wanitamu itu!" Rai melakukan hal yang sama denganku, menuangkan kembali sampanye. "Kenapa? Kamu cemburu?" "Cemburu? Apa itu penting sekarang? Yang aku tahu saat ini adalah aku bahagia sebentar lagi bisa terlepas dari pernikahan sial ini." Rai menyesap minumannya. "Apanya?" Aku bingung sebenarnya apa yang ditanyakan Rai? "Maksudku, apanya yang sial? Setahuku menikah denganku malah bisa memberikan keuntungan untukmu." "Aku ingatkan jika kamu lupa, tapi harus mulai dari mana dulu? Ya, sikap dinginmu? Wanita-wanita itu? Atau ocehanmu? Aku hanya bersyukur kamu jarang di rumah, setidaknya tenagaku tersimpan tidak harus menahan setiap kekesalan saat berada di sampingmu." "Apa perlu aku meminta maaf?" "Tidak perlu, lagipula pernikahan ini bukan layaknya pernikahan pada umumnya yang di dasari dengan cinta dan kasih sayang. Pernikahan kita hanya beralaskan lembaran kertas." "Dari sekian sikapku, yang paling kamu benci yang mana?" Tanyanya lagi tanpa melepaskan pandangannya dariku. "Emh, wanita-wanita itu." Kataku setelah mempertimbangkannya. "Alasannya?" "Karena mereka, aku dianggap wanita bodoh, bahkan tak jarang orang-orang memandangku dengan tatapan iba, seolah aku ini wanita cacat yang tak mampu memuaskan dirimu terutama masalah di ranjang. Memang benar aku akui tidak bisa menjadi seperti wanita-wanitamu itu yang bisa memuaskan kamu." "Bukan karena cemburu?" Aku tertawa lepas, "Cemburu? Atas dasar apa aku harus cemburu padamu?" "Kamu gak mau tahu apa yang aku lakukan dengan mereka?" Aku menggeleng keras, "Sama sekali aku tidak mau tahu, bukankah dari awal kita sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan masing-masing!" "Hanya itu?" "Iya, hanya itu. Lagipula aku tahu kamu laki-laki normal yang memiliki kebutuhan yang tidak bisa kamu tahan. "Kamu gak mau tahu kenapa aku tidak melakukannya denganmu?" Aku menajamkan penglihatan ku selama beberapa saat, heran dengan semua pertanyaannya seolah ingin mengorek isi hatiku. "Aku sudah tahu." "Apa?" "because you don't want me," kataku lirih. Tiba-tiba saja hatiku sedikit sakit, jika melihat kenyataan yang sebenarnya. "Tenang saja, aku sadar diri dari awal bahwa aku bukanlah wanita impianmu." "Kamu mau melakukannya sekarang?" Tanyanya tanpa ekspresi sedikitpun di wajahnya. "Apa?" "Memenuhi kebutuhanku." Seketika aku tersedak minuman yang sudah berada di tenggorokanku, tiba-tiba Rai sudah di sampingku menepuk-nepuk punggung ku dengan lembut. " Are you kidding me?" Tanyaku, lalu tertawa menggelengkan kepala tidak percaya dengan ucapakan Rai. Rai merapikan rambutku yang sedikit berantakan menutupi wajahku, jujur ini membuat jantungku berdebar hebat. Tangannya bermain di belakang telingaku dengan santai, ada sensasi lain yang aku rasakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD