bab 4

1027 Words
Selang dua hari, aku di minta untuk datang ke kantornya Raihan. Sesuai janji, aku datang tepat pukul sembilan pagi tidak lebih dan tidak kurang. Begitu sampai di sana, aku pikir bisa langsung menemuinya tapi tidak. Tiba-tiba saja dia pergi bertemu dengan klien dan meeting untuk membahas projek barunya, itu yang dikatakan oleh sekretarisnya. Sudah hampir dua jam aku menunggu, entah sudah berapa majalah yang aku baca dan yang lainnya hanya di lihat. Tuhan, apa hanya alasannya saja bertemu dengan klien untuk menguji kesabaranku? Cangkir yang berisi teh panas pun sudah tandas dan aku malu untuk memintanya lagi. Dia tiba di kantornya bersama dewan direksi lainnya dan dengan polosnya melewatiku begitu saja. What the f**k? Dia pergi begitu saja? Apa-apaan ini? Karena sudah terlanjur menunggu, aku mengekor dengan langkah cepat mensejajarkan langkah dengannya, dia hanya melihat sekilas lalu melanjutkan langkahnya menaiki lift. Tanpa di minta aku masih mengikutinya, bodo amat dengan sikap dia yang dingin. Ia tiba di ruangannya dan langsung membuka pintu, aku pun ikut masuk. Aku berdiri di depannya dengan begitu sabar, padahal aku sudah ingin duduk. "Duduklah!" Kenapa tidak dari tadi dia menyuruhku duduk. Aku menunggu dia membicarakan tujuannya mengundangku datang ke kantornya padahal ini diluar pekerjaanku. "Jadi sebenarnya apa yang ingin Mas Raihan bicarakan pada saya?" Akhirnya aku yang bertanya karena sudah tidak tahan melihat dia hanya diam dan sibuk membuka tiap lembaran kertas yang ada di hadapannya. "Seharusnya kamu tahu apa yang akan kita bahas di sini!" "Soal apa? Ia mendongak kepadaku, matanya menatapku dengan tatapan elang, "Pernikahan " "Pernikahan siapa?" Lagi, lagi aku menjawabnya seperti orang bodoh. "Aku dan kamu, lalu tentang pernikahan siapa lagi?" Tanganku terasa dingin, jangan-jangan dia setuju dengan pernikahan ini? "Bukannya kemarin ayahku sudah membicarakannya terlebih dahulu denganmu, bukan?" Aku mengangguk. "Baiklah, pengacaraku akan menghubungimu nanti untuk membahas tentang pra-nikah dan tentunya kompensasi yang akan kamu dapatkan jika kita berpisah nanti." "Jadi, kamu .... Maksud saya Mas Raihan setuju?" Dia mengangguk cepat, "Apa yang ayahku katakan itu adalah perintah mutlak bagiku, jadi menikahimu adalah KEWAJIBAN bagiku dan satu lagi biasakan mengatakan aku, kamu. Aku tidak ingin orang-orang mengira kalau kita tidak saling mengenal dekat." "Baik, tapi bukannya Mas ... Kamu tidak menyukaiku? Aku bahkan tidak menyukaimu sama sekali." Seruku jengah. Dia menutup berkas yang sedari tadi di pegangnya, "Pernikahan bukan tentang dua orang yang saling menyukai atau mencintai, tapi terkadang hanya sebuah kewajiban yang harus di jalankan semata. Kalau memang kamu tidak setuju, kenapa tidak mengatakannya dari awal?" Mampus aku! Kenapa juga aku malah menyetujuinya. "Karena kupikir kamu akan keberatan dan langsung menolaknya begitu saja." "Kenapa kamu bisa berfikir seperti itu? Memangnya kamu cenayang yang bisa meramal pikiran orang lain?" Fix, kali ini aku benar-benar ada dalam masalah besar dan kenapa juga aku bisa mempunyai pikiran konyol seperti itu. Seharusnya aku menyadari satu hal, di mata keluarganya Raihan adalah sosok yang berbakti dan tentunya baik. Sudah jelas dia akan memenuhi semua perkataan ayahnya selama itu untuk kebaikan bersama. "Kalau tidak ada lagi yang perlu kamu bicarakan, silahkan keluar. Aku sibuk." Katanya sambil kembali membuka lembaran berkas yang tadi ia tutup. "Aku juga sibuk. Selamat siang dan terima kasih kerena sudah membuatku menunggu selama dua jam lebih di sini." Aku berjalan ke arah pintu dengan kaki yang dihentakkan. "Dela." Panggilnya. Aku balik badan. "Pernikahan ini hanya untuk ladang bisnis yang akan menguntungkan satu sama lain, jadi aku berharap jangan sampai kamu jatuh cinta padaku. Jadi kamu harus bisa menjaga dirimu dengan baik dan tentunya kita tidak perlu mencampuri urusan masing-masing terutama urusanku." Katanya dengan nada tegas. "Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, aku tahu, aku harus bertindak seperti apa. Dan aku juga berharap kamu tidak akan pernah jatuh cinta padaku, urusanmu milikmu dan urusanku milikku." Balasku dingin. Tiba di loby kantornya yang luas, otakku tidak berhenti berfikir. Apa yang telah kuperbuat? Apa ini jalan yang terbaik? Seminggu kemudian sesuai janji yang dibuat Raihan di rumah, kita akan bertemu dengan pengacara siang ini di kantornya. Pengacara Raihan menyodorkan setumpuk kertas yang tidak terlalu tebal dan juga tidak terlalu tipis. Dia menyuruhku untuk membaca semuanya dengan teliti. Itu adalah pra-nikah dan lembar kontrak pernikahan kami yang berumur tiga tahun. "Tiga tahun? Tidak salah?" "Tiga tahun itu pas. Satu tahun hanya akan menimbulkan keributan di pihak keluarga, apalagi pihak keluargaku, dua tahun masih bisa menimbulkan kecurigaan dan sepertinya tiga tahun adalah waktu yang pas. Atau mau ditambah jadi empat tahun?" "Tidak, terima kasih, tiga tahun saja aku tidak bisa membayangkan betapa menderitanya hidupku nanti." Raihan mengerucutkan bibirnya, "Sesuai janjiku, aku akan memberikan kompensasi yang lumayan besar jika kita berpisah nanti dengan syarat kamu tidak berselingkuh dengan siapapun selama kita menikah." "Apa aku boleh menuntut hal yang sama darimu?" "Di sini aku yang mengeluarkan uang, jadi aku yang berhak menentukan semua syaratnya." Aku memandangnya kesal, hanya saja mataku menangkap sejumlah uang kompensasi yang akan di berikan padaku jika kami berpisah. "Ini jumlah kompensasinya?" Tanyaku dengan nada antusias. Dia malah tersenyum sinis, "Bukan jumlah yang sedikit bukan? Aku juga akan mendukung usaha apa saja yang akan kamu lakukan, serta memberikanmu uang bulanan utuh untuk keperluan kamu sendiri. Jangan lupa membeli pakaian yang baru untuk mengganti seluruh isi lemarimu, aku tidak ingin menjadi suami yang menelantarkan istrinya." "Bagaimana kalau aku berselingkuh?" Raihan mengetuk mejanya menggunakan jari telunjuknya, seolah ia sedang berfikir. "Semua uang yang telah aku berikan padamu akan berubah menjadi hutangmu padaku, makanya jadilah anak yang baik, manis dan penurut." Tuturnya dengan sebuah senyuman, tapi bagiku itu terlihat seperti ancaman. Kali ini aku lebih memilih diam, bagaimanapun uang adalah hal yang paling penting dalam pernikahan ini, katakanlah aku serakah toh ini juga demi keluargaku. Mataku fokus pada lembar kertas yang k*****a, memang tidak ada yang di rugikan di dalam bisnis ini. Raihan akan tetap menjadi anak yang baik di mata keluarganya, dan aku akan memperbaiki perekonomian ku. Untuk saat ini bukan waktunya memikirkan benar dan salah, bukankah aku bekerja untuk mencari uang? Ya, uang! Aku butuh uang ini, tak apa menjadi seorang janda dari Raihan si pengusaha kaya, meski pada akhirnya semua orang akan beranggapan bahwa aku menikah karena uang, it's oke toh itu semua juga benar. Setidaknya apa yang aku lakukan masih jauh lebih terhormat dibanding harus menjajakan diri di tempat hiburan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD