bc

This Is Love

book_age16+
1.2K
FOLLOW
9.2K
READ
billionaire
possessive
contract marriage
dominant
goodgirl
drama
comedy
twisted
city
first love
like
intro-logo
Blurb

Setelah ditipu oleh mantan kekasihnya, hingga membuat usaha butik pengantinnya bangkrut. Aretha harus kembali berurusan dengan seorang pria yang memintanya untuk menjadi kekasih bayaran selama 100 hari dengan peraturan-peraturan aneh yang membuat Aretha muak. Namun, siapa sangka karena kontrak itu kisah romansa yang sudah lama Aretha inginkan terwujud dan ia pun kembali dipertemukan oleh cinta pertamanya.

Pria bernama Ibra itu adalah seorang pengusaha real estate yang siap membayar berapapun yang Aretha mau setelah kontrak selesai. Seperti takdir yang perlahan mengikat, benih-benih cinta di antara keduanya pun muncul. Akankah Aretha mampu membuang semua perasaannya dan segera mengakhiri kontrak? Atau ia malah akan memperjuangkan kembali cinta pertamanya?

chap-preview
Free preview
BAB 1 : Awal mula kesialan
Aretha merutuki kebodohannya karena terlalu mempercayai Bara, pria sialan itu benar-benar seorang penjahat. Semua harta benda yang ia punya, habis sudah dijual. Bahkan mobil serta apartementnya yang ia beli dari hasil usaha butik pengantinnya, juga sudah dijual. "Lihat saja kau Bara! Aku akan membalasnya!" Padahal Aretha sudah memberikan cinta yang tulus dan ia juga sering memberikan pria itu uang. Wajahnya yang tampan itu memang benar-benar menipu. Ini semua karena Clara yang mengenalkan dirinya pada pencuri itu. Seharusnya sejak awal Clara mengatakan jika Bara bukanlah pria yang baik. "Semua yang kau lakukan tidak ada yang benar Clara, ya Tuhan." Aretha sudah menghubungi polisi tetapi butuh proses untuk mencari pria itu. Terpaksa, untuk sementara Aretha tidur di butiknya. Uang yang ia punya hanya sisa sedikit, itupun karena tersisa dari dompetnya. Aretha juga sudah memberhentikan 5 karyawannya untuk sementara waktu. "Aku harus bagaimana!" teriak Aretha frustasi. Uang tabungannya juga benar-benar telah lenyap, pria itu mengambil semuanya yang sudah ia kumpulkan. Aretha juga tidak mungkin meminta bantuan pada Clara, ia sudah banyak merepotkan wanita itu dan lagi pula ini juga kalau dipikir-pikir kesalahannya dirinya karena terlalu percaya pada pria itu. Aretha merebahkan tubuhnya di sofa, ia sangat bingung sekarang. Butik ini sangat tidak mungkin ia jual, ini adalah satu-satunya usaha yang sudah lama ia impikan. Meminta bantuan pada kedua orangtuanya juga percuma, ia pasti akan disuruh pulang. "Hidupku benar-benar sial." "Permisi." Aretha dikejutkan oleh suara seorang perempuan yang datang ke butiknya, ia pun segera bangkit dan merapikan sedikit penampilannya terutama rambutnya yang sedikit acak-acakan. "Selamat datang." Ternyata bukan seorang yang datang, melainkan pasangan yang tidak asing lagi di mata Aretha. Wanita berambut Ash brown itu tersenyum padanya, Aretha baru saja ingat jika wanita itu sudah membuat janji kembali sebelumnya dua minggu yang lalu untuk mengecek gaun pengantin yang sudah dirancang. "Jadi bagaimana, apakah gaunku sudah selesai?" tanyanya. Riasan wajahnya cukup tebal melapisi wajah judesnya itu. "Sudah." Untungnya gaun milik wanita itu memang sudah siap sebelumnya. Aretha merasa bersalah karena telah memberhentikan para karyawan berbakatnya. "Mari." Aretha bingung jika harus menjelaskan tentang butik pengantinnya yang kini diambang kebangkrutan, padahal butiknya adalah salah satu butik paling terkenal di kota Bandung. "Bukankah sudah kukatakan aku tidak ingin menikah denganmu?" Aretha spontan menoleh, langkahnya terhenti bersama langkah pasangan itu juga yang ikut terhenti dan saling melempar tatapan tajam. Aretha mengernyit, ia tidak tahu permasalahan apa yang tiba-tiba mereka debatkan. "Ini—" ucapan Aretha terhenti, saat pria berkemeja putih tulang itu memotong ucapannya. "Tidak akan ada pernikahan di antara kami, aku datang untuk memutuskan semuanya," ucap pria berjenggot itu menoleh ke arah Aretha. Wanita itu terlihat tidak terima, ia berdecak pelan. "Kenapa harus di sini? Bukankah kita sudah membicarakan ini sebelumnya di rumahmu?" "Kau ingin tahu kenapa aku ingin memutuskannya di sini?" Wajah pria itu jelas menunjukkan bahwa ia tidak menyukai wanita dihadapannya. Aretha tidak tahu harus bagaimana, ia hanya diam dan merasa frustasi karena harus terjebak di situasi seperti ini. Ah, hidup Aretha benar-benar tidak ada harapan. "Karena aku sudah memiliki kekasih," lanjut pria itu. Pantas saja, pikir Aretha. Laki-laki mana yang ingin meninggalkan kekasihnya dan menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Sudah pasti ini adalah perjodohan, Aretha selalu benci akan hal itu. "Aku tidak percaya, Ibra!" tegas wanita itu kemudian mengalihkan perhatiannya kembali pada Aretha. "Maaf jika kami menimbulkan keributan." "Wanita ini adalah kekasihku." Pria yang Aretha dengar namanya Ibra itu menunjuk tepat ke arahnya. "Dia adalah kekasihku!" "Apa?!" Wanita itu menatap tajam ke arah Aretha yang terlihat kebingungan karena memang ia tidak memahami situasinya. "Kau?" "Iya." Ibra tersenyum, wajahnya membuat Aretha memundurkan langkahnya. "Maksudnya apa ini? Mengapa saya?" tanya Aretha tidak mengerti, ia bahkan tidak mengenali pria bernama Ibra itu. "Saya gak—" Aretha tidak jadi melanjutkan ucapannya saat pria itu tiba-tiba melangkah mendekatinya dan menarik tengkuknya. "Tahanlah sebentar," bidiknya pelan. "Mak-su—" Aretha terbelalak kaget saat pria itu menempelkan bibirnya, ia terpaku saat tiba-tiba bibir itu bergerak di bibirnya. Aretha mencoba menjauh tetapi pria itu malah melingkarkan tangan ke pinggangnya. Aretha tidak percaya ini, ia masih terpaku bahkan setelah pria itu menjauhkan dirinya. Pria yang tidak ia kenali itu baru saja mencuri ciuman pertamanya yang sudah ia jaga selama ini. "Ah, aku tidak suka bau strawberry," desah pria itu kemudian berbalik dan tersenyum menang ke arah wanita yang memasang wajah kaget sekaligus marah. "Sudahlah Serena, kau cari saja pria lain." "Lihat saja kau Ibra!" Wanita itu langsung berbalik, ia melangkah cepat keluar dari butik pengantin Aretha. Aretha masih terdiam di tempatnya, ia masih belum bisa mempercayai apa yang telah terjadi padanya tadi. Aretha menatap pria di hadapannya, pria yang telah mencuri ciuman pertamanya dan menamparnya dengan keras. "Kau kira aku wanita apa?" Ibra tidak percaya ada wanita yang berani menampar dirinya, ia menyentuh pipinya yang terasa terbakar dan meringis pelan. "Beraninya kau menyentuhku." "Apa?" Pria itu tidak sadar atau memang sedang berpura-pura tidak menyadari apa yang harus saja ia lakukan? Air mata Aretha mengalir pelan, hidupnya benar-benar berantakan hari ini. "Pergilah dan jangan pernah datang kemari lagi!" Seharusnya wanita itu merasa senang karena dicium oleh dirinya, pengusaha kaya nan tampan dan terkenal ini. Wanita lain berebut ingin mendapatkan dirinya dan wanita itu bahkan menamparnya setelah Ibra memberikannya ciuman secara cuma-cuma? Sangat tidak bisa dipercaya. "Kau tidak tahu siapa diriku?" "Memangnya siapa kau?" Aretha bahkan tidak pernah melihat pria tidak sopan seperti itu, peduli sekali ia harus tahu siapa pria itu. "Apa kau pria yang sering melakukan pelecehan kepada banyak wanita?" "Kau, berani sekali kau!" "Ap?!" Aretha berusaha mendorong pria itu agar segera keluar dari butik pengantinnya, ia tidak ingin melihat wajahnya lagi. "Pergilah atau aku akan menghubungi polisi dan melaporkanmu." Ibra sudah berada di keluar, ia merasa seperti dicampakkan dan sebelumya ia tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh seseorang wanita. "Memangnya siapa dirimu?!" "Aku? Aku Aretha, pemilik gedung ini!" teriak Aretha tepat di depan wajah pria itu, lalu kemudian masuk dan segera menutup pintu butiknya. "Ciuman pertamaku telah dicuri!" teriaknya keras. Sangat menyedihkan, ciumannya harus berakhir seperti ini. Aretha bahkan berharap bisa mendapatkan ciuman yang romantis, bukan seperti ini dengan orang yang tak dikenalnya pula. "Ya Tuhan, bunuh saja aku!" *** Ibra memijit pelipisnya pelan, kesialan kembali menimpanya hari ini. Bisa-bisanya ia salah memilih target, ia pikir wanita itu akan merasa senang karena dicium olehnya yang terkenal seantero negara. Tapi, mau bagaimana lagi. Ia sungguh sudah tidak tahan terus ditempeli oleh Serena. Padahal Ibra sudah mengatakan dengan sangat jelas bahwa ia tidak akan menikah dengan wanita itu. Ia tidak peduli meski Serena adalah teman masa kecilnya, maupun kepopularitas yang akan didapatnya jika menikahi wanita itu. Lagi pula Ibra sudah sangat populer dikalangan wanita maupun pria dan kepopuleran itu tidak akan berakhir. "Katakan pada Tuan Farhan jika aku tidak akan menemui putrinya lagi," ujar Ibra pada supirnya, Heri. "Baik, Tuan." "Kau tau Heri, aku tidak suka wanita cengeng." Ibra sangat membenci Serena bahkan semenjak kecil dulu, ia sejujurnya tidak suka bermain dengan wanita itu karena ia selalu menangis sangat Ibra memegang bonekanya. Heri tersenyum, ia melirik Ibra melalui kaca spion tengah. "Tapi, dia sangat cantik Tuan." "Ambil saja untukmu." Ibra masih teringat dengan wanita pemilik butik pengantin tadi, ia merasa sangat kesal dengan wanita itu dan bersumpah akan memberinya pelajaran nanti. "Aku sudah memiliki istri dan anak," sahut Heri seraya terus memfokuskan dirinya menyetir di jalan raya yang mulai ramai dipadati pengendera. "Ya ya ya, kau adalah pria yang setia." "Aku harap itu sebuah pujian." "Ya tentu saja, itulah kenapa aku menyukaimu." Heri menarik sudut bibirnya lagi, ia merasa senang bekerja menjadi supir pribadi Ibra. Pria itu memperlakukannya sangat baik, seperti seorang teman. Sudah hampir 7 tahun ia bekerja dengan Ibra, tak ada sedetik pun ia menginginkan untuk meninggalkan pria itu. Ibra kembali menyapu bibirnya dengan sehelai tisu, bau strawberry dari lipstik yang wanita itu gunakan masih membekas. "Kenapa aku selalu terjebak dengan wanita yang aneh?" ~•~ "Apa?" Mata Clara membuat tidak percaya setelah mendengar semua cerita tentang Bara dari Aretha. Clara sendiri tidak menyangka, karena dari tampangnya Bara adalah pria yang baik. "Ah, wajah tampan benar-benar menipu." Aretha merasa hidupnya telah berakhir hari ini, yang ia miliki semuanya telah dicuri. Ciuman pertamanya apalagi, Aretha sudah menjaga bibirnya bahkan dari mantan-mantan pacarnya yang lain. Tapi, pria itu dengan gampangnya menyerobot menempelkan bibirnya. "Aku benci pria tampan." "Lalu soal pria yang menciumimu tadi bagaimana?" tanya wanita berambut hitam lurus itu. "Apa dia tampan?" Aretha yang sedang melahap sandwich di tangannya menatap tajam dengan mulut yang penuh. "Apa kau masih memikirkan hal itu? Aku tidak peduli meskipun dia tampan dan orang populer seperti dikatakannya!" Clara mendengus pelan, ia kemudian mengecek ponselnya yang telah dipenuhi beberapa notifikasi dari sosial media. Matanya melebar saat melihat pria tampan yang digilai oleh banyak wanita termasuk dirinya, baru saja memposting sebuah foto. "Lihatlah, bahkan tanpa tersenyum dia sudah sangat tampan," ujar Clara seraya menunjukkan layar ponselnya pada Aretha. "Heh?" Kedua alis Aretha menyatu, pria yang ada di layar ponsel Clara adalah pria yang menciumnya tadi. Rupanya pria itu benar-benar terkenal. Tapi, tetap saja kalau bertemu lagi Aretha akan menghajarnya sampai pria itu tidak lagi bisa berjalan. "Sebenarnya siapa dia?" "Apa kau tidak mengenalnya? tanya Clara tidak percaya. Aretha memang terlalu banyak berkutat pada gaun-gaun pengantin di butiknya tanpa tahu berita terkini. "Dia itu pengusaha real estate yang belakangan ini terkenal karena ketampanannya." "Dia pria yang menciumku tadi!" "Apa?!" Aretha tersentak kaget mendengar reaksi Clara yang memekakkan Indra pendengarannya. Aretha menjauh saat tiba-tiba Clara memegang kedua pipinya dan menatapanya seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. "Apa kau serius?" tanya Clara memastikan pendengarannya. "Iya." Aretha mengangguk pelan sembari terus menghabiskan sandwich di tangannya. Clara spontan berteriak, lalu memegang kedua bahu Aretha. "Katakan padaku, apa dia terlihat tampan jika dilihat langsung? Apa dia pandai berciuman? Setelah dia menciummu, lalu apa?" cecarnya tanpa henti. "Aku menamparnya," jawab Aretha jujur seperti yang ia lakukan. Clara langsung merosot di tempatnya, ia tidak habis pikir pada wanita di hadapannya yang sudah ia kenal 10 tahun itu. "Ya Tuhan Aretha, apa kau sadar yang telah kau lakukan?" "Aku menyadarinya, orang sepertinya memang pantas. Lagi pula dia yang salah." "Bukan, bukan tentang benar atau salahnya." "Lalu apa?" tanya Aretha. Sandwich di tangannya sudah habis ia lahap semuanya. "Kau bisa saja dilaporkan polisi." Clara tidak ingin Aretha terlibat masalah dengan orang-orang kaya seperti pria itu. Apapun yang terjadi, ia tidak akan menang melawan uang. "Karena penganiayaan." "Aku tidak salah! Aku hanya berusaha melindungi diriku!" "Oh, Ayolah. Uang yang akan berperan di atas segalanya. Jika dia sampai memenjarakanmu apa kau punya uang?" Aretha membuang napasnya gusar, benar juga. Apalagi ia sama sekali tidak punya uang sekarang, butik pengantinnya juga akan bangkrut. Tapi, Aretha hanya berusaha membela dirinya. Ah, benar. Melawan orang yang punya kekuasaan adalah hal yang salah. "Lalu aku harus bagaimana?" "Aku juga tidak tahu, berharap saja semoga dia memaafkanmu," ujar Clara. Ia juga tidak bisa memberi solusi apapun. "Tapi, kau bisa menghubunginya untuk meminta maaf." "Tidak, aku tidak mau!" Yang benar saja, Aretha tidak salah apapun. Kenapa ia yang harus minta maaf? "Tapi bagaima—" "Biarkan saja, kalau pun dia ingin melaporkanku yasudah. Lebih aku di penjara, aku tidak perlu repot-repot mencari uang lagi untuk makan." ~•~ Ibra rasanya ingin teriak, ketika ia baru melangkah masuk ke dalam rumahnya. Di sana sudah ada Serena dan sang Ayah beserta Ayah Ibra sendiri. Menghela napasnya panjang, Ibra mendekati sofa yang berada di ruang tamu. "Ada apa lagi?" "Ibra apa benar kau sudah memiliki kekasih?" tanya Jordi, menatap sang anak dengan kedua tangan dilipat ke atas d**a. "Kudengar wanita di butik pengantin itu adalah kekasih yang kau sembunyikan selama ini?" "Ya." Ibra melirik ke arah Serena yang tengah menangis di pelukan papanya. "Lalu bagaimana dengan Serena?" tanya Jordi bingung, ia sudah cukup lelah mengurusi Ibra belakangan ini yang terus saja menolak untuk dinikahkan dengan Serena. Ibra menggeleng sekilas. "Entahlah, itu bukan urusanku," katanya seraya berbalik hendak melangkahkan kakinya pergi. "Tapi, aku tidak yakin. Aku pikir Ibra sedang berbohong Yah," rengeknya sambil terus menangis sesenggukan. "Aku tidak berbohong." Ibra kembali memutar tubuhnya, kini pandangannya tertuju pada wanita itu. "Aku akan membawanya kemari besok, kami akan tinggal bersama di sini." Ucapan Ibra spontan membuat Serena syok di tempatnya, wanita itu bahkan mengeraskan suara tangisannya. "Tidak, aku tidak percaya! Kau pasti berbohong untuk menghindari pernikahan ini. "Bagaimana jika besok kau datang saja ke sini, akan aku perkenalkan dia padamu," tawar Ibra. Ia yakin akan menang dalam permainan ini dan terbebas. Jordi hanya menyungging senyum melihat bagaimana sang anak begitu menolak dijodohkan dengan putri Farhan. Padahal Ibra memang tidak punya kekasih, Jordi tahu putra sulungnya itu tidak punya waktu untuk menjalin sebuah hubungan. Sebenarnya ia juga menolak perjodohan ini, tetapi karena ia merasa tidak enak dengan Farhan yang merupakan rekan bisnisnya sejak lama. Apalagi Serena sangat menyukai Ibra, wanita itu terus saja merengek pada sang Ayah yang bahkan sudah terlihat lelah. "Ayah! Lakukan sesuatu!" Serena tidak akan tinggal diam saja, Ibra adalah satu-satunya pria yang ia sukai.Tidak boleh ada satu orang pun yang memilikinya selain Serena sendiri. "Kau tahu mengapa sejak kecil aku tidak menyukaimu?" tanya Ibra seraya memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. "Kau terus bergantung pada ayahmu dan menangis seperti gadis kecil, itu tidak lah imut Serena. Aku bahkan sangat membencinya, aku tidak akan pernah bisa membayangkan hidupku jika harus menikah denganmu." "Kau akan membawa ikut serta ayahmu untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di antara kita dan aku harus mendiamkanmu saat kau menangis? Ah, itu akan sangat melelahkan," lanjut Ibra. "Kau tahu aku bahkan tidak punya waktu untuk sekedar menikmati makan siang." Suara tangisan Serena masih terdengar, wanita itu menutupi wajahnya di bahu sang ayah. "Ta-pi ak-u sangat menyukai-mu." "Berhentilah." Ibra sudah mulai muak, suara tangis itu terasa merobek gendang telinganya. "Aku sudah menyukai orang lain." "Kau tidak tahu betapa sulitnya melupakan seseorang yang kau cintai!" Ibra yang hendak beranjak, kembali mengurungkan niatnya sebentar. "Aku tahu, aku sudah pernah merasakannya. Meski aku belum sepenuhnya melupakan dia, setidaknya aku telah berusaha." Serena hanya bisa menatap langkah Ibra yang mulai bergerak menjauh, pria itu menaiki satu persatu anak tangga lalu hilang dalam pandangannya. "Aku harus bagaimana sekarang Ayah?" Farhan menghela napasnya panjang, ia sangat merasa malu dengan sifat putrinya yang memang sejak kecil selalu menangis jika tidak bisa mendapatkan apa yang ia mau. Farhan seharusnya tidak terlalu memanjakannya, sekarang ia harus menanggung malu di hadapan Jordin. "Maafkan aku, aku merasa sudah salah merawatnya." Jordan tertawa pelan. "Tidak apa-apa, Ibra juga anak yang keras kepala. Maafkan dia soal perkataannya tadi." "Kalau begitu kami pamit saja dulu." Farhan bangkit berdiri, disusul oleh Serena yang berusaha menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya. "Lain kali kami akan coba mampir lagi." "Mampirlah saat sifat Serena sudah berubah," kata Jordan diiringi suara gelak tawa. "Aku tau dia anak yang baik." Ibra benar-benar mirip dengan sifatnya yang tidak suka dipaksa dan mengambil jalan atas kemauan sendiri. Itu sebabnya Ibra, semenjak masih remaja pria itu sudah hidup mandiri. Suara dering ponsel mengusik Jordan, ia mengambil benda persegi itu di saku kemejanya. Dengan tersenyum, Jordan menjawab panggilan tersebut. "Ya, bagaimana?" ~•~ Aretha menghela napasnya panjang, ia baru saja menghitung jumlah uang yang tersisa. Hanya cukup untuk makan selama beberapa hari saja, setelahnya Aretha harus mencari uang lagi untuk memenuhi kebutuhannya. Apalagi ia juga butuh uang uang untuk membayar sewa butik. Aretha beranjak untuk melihat semua bahan yang digunakannya untuk membuat gaun-gaun pelanggan. Ternyata tidak banyak lagi kain yang tersisa, bahan-bahan seperti pelengkap juga hanya tinggal sedikit. Aretha butuh modal, seharusnya besok ia sudah kembali menyetok bahan-bahan. Tapi, gara-gara Bara usahanya harus terhenti begitu saja. Apa sebaiknya ia melakukan pinjaman saja kepada orangtuanya? Tidak, Aretha tidak mau. Ia harus berusaha mencari uang sendiri, kalau meminta bantuan kepada kedua orang tuanya sudah pasti ia akan kalah dan mereka akan mencari keberadaannya. Aretha sudah cukup sulit menyembunyikan dirinya di sini dan ia tidak akan pulang sebelum orang tuanya memutuskan untuk membatalkan perjodohan itu. "Permisi." Aretha mendongak, matanya langsung melebar ketika menatap sosok pria yang telah sembarang menciumnya tadi pagi. "Sedang apa kau di sini? Heh?" tanya Aretha melangkahkan kakinya cepat menghampiri pria itu. Ibra mundur perlahan, ia juga sedikit takut jika tiba-tiba kembali mendapat pukulan di tubuhnya yang sempurna ini. "Aku datang untuk membuat penawaran padamu." "Penawaran?" tanya Aretha bingung. Ia mencoba menjaga jarak dan memegang sebelah heelsnya. Jika pria itu berani menyentuhnya lagi, Aretha tidak segan-segan untuk melempar heels setinggi 5 cm ini ke wajahnya. "Aku ingin kau menjadi kekasih bayaranku," ucap Ibra was-was karena heels merah di tangan Aretha cukup menyeramkan jika melayang. "Hah?" Apa pria itu sudah gila, tadi ia menciumnya sembarang dan sekarang meminta untuk menjadi kekasih bayaran? Ah, Aretha tidak bisa membayangkannya. Inikah pria yang Clara dan wanita-wanita banggakan di luar sana? Mereka sudah buta. "Pergi! Sekarang pergilah atau heels ini akan melayang ke wajahmu!" Ibra tidak tahu akan sesulit ini, tetapi ia harus melakukannya untuk membuktikan pada Serena kalau ucapannya benar. Sehingga perjodohan ini bisa segera berakhir. "Aku akan membayarmu berapa pun yang kau minta, hanya 100 hari, hanya 100 hari saja." "Berapa pun?" Aretha mendadak tergiur dengan ucapan pria itu, bagaimana tidak. Ia akan mendapatkan bayaran berapa pun yang ia mau. Hanya seratus hari pula, itu tidak akan sulit, tetapi apakah ini hal yang benar jika ia lakukan? "Bagaimana?" tanya Ibra, memastikan jika wanita mau menerima tawarannya. Ibra juga akan memberikan hadiah lainnya nanti, agar wanita itu mau. "Tidak hanya itu, aku juga akan mengabulkan 3 permintaanmu." Aretha terdiam, tangannya yang sudah terangkat dengan menggenggam heels perlahan turun. Ia berpikir sesaat, pria di hadapannya sekarang adalah seseorang yang kaya raya dan juga terkenal. Mungkin mudah baginya untuk membantu Aretha menemukan Bara. "Apa kau bisa membantu untuk mencari seorang penipu?" "Penipu?" Ibra mengangguk, ia punya banyak uang tentu mudah bagi dirinya untuk mencari seseorang. "Itu sangat mudah." Aretha melepaskan heels ditangannya dan memakainya kembali. Tangannya ia lipat ke atas d**a, ia juga ingin membuat penawaran kalau begitu. Aretha tidak akan menyia-nyiakan ini, ia harus meminta bayaran tinggi. "100 hari itu sangat lama, bayaranku lebih mahal dari yang kau kira. Dasar mata duitan, setiap wanita memang punya sifat yang sama itulah alasannya Ibra malas berurusan dengan mereka. "Sure, berapa pun yang kau minta, aku akan membayarmu setelah kontrak kita selesai."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

My Secret Little Wife

read
98.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook