19 - Fakta

2069 Words
Ayya mengetuk-ngetukkan jemarinya diatas meja, menatap malas beberapa pegawainya yang berlalu lalang mengantar pesanan para pembeli, sedang Ayya? Hanya duduk di dekat kasir serasa itu adalah tontonan yang sangat seru. Pagi yang cukup mumet. Pengennya Ayya tertidur sampai siang, sayangnya Kinta terus saja meneleponnya tanpa henti. "Kamu harus masuk Ay,kalau kamu engga masuk yang pantau resto siapa? Bintang kan sibuknya di dapur. Aku engga bisa masuk hari ini, ada keperluan lain yang engga bisa aku tinggal sama sekali." Ayya menghembuskan nafasnya bosan, mana Zam juga takkan kemari. Kenapa hari ini orang pada sibuk sih? Ayya ingin ikutan sibuk juga tapi malas. Baru melihat catatan laporan saja sudah membuat kepala Ayya mumet. "Kak Ayya, tolong geser dong. Pengen duduk juga, capek banget soalnya. Untung bentar lagi waktu shalat, jadinya pembeli udah berkurang." tanpa mengatakan apapun, Ayya menegakkan badannya, menarik kursinya untuk sediki bergeser. Ayya menatap Gadis, pegawainya yang baru hadir itu setelah meminta cuti selama seminggu, Ayya sedikit lupa mengapa Gladis minta izin. Merasa pegawainya butuh waktu menghilangkan lelahnya, Ayya kembali menatap kedepan. Apa ia kebanyakan melamun ya makanya pembeli yang tadinya memadati restonya kini kembali sepi, palingan hanya ada beberapa mahasiswa yang numpang wifi'an. Numpang wifian tidak terlalu Ayya permasalahkan, lagian meraka kan tetap pembeli walaupun hanya segelas kopi saja itu sudah lebih dari cukup. "Gla, kamu Coba kebelakang tanya sama Kana, pesanan nomor 8 dibungkus saja." Ayya menatap Gladis yang terlihat malas sekali masuk dapur menuruti perintah Anggita. Memang ya, mencari uang itu melelahkan. Ayya hanya sedikit beruntung, mempunyai keluarga yang begitu hangat dan saling menyanyangi. Mempunyai orangtua yang selalu mendukung anaknya, memberikan contoh yang baik. Ayya jadi merindukan omelan mamanya. Padahal sore nanti, mamanya akan pulang. Katanya sudah memberikan oleh-oleh untuk Ayya, ia sudah bertanya tetapi mamanya tidak ingin memberitahunya. "Kamu liat aja nanti setelah mama bawa pulang, mama kan sebentar lagi juga sampe rumah. Mending kamu berangkat kerja, jangan mentang-mentang kamu pemiliknya jadinya santai begitu ya? Mama engga suka kamu bertidak seenaknya begitu." Ayya menggelengkan kepalanya beberapa kali, mamanya itu baik banget pantas saja papanya begitu Cinta dan Ayya merasa beruntung bisa mempunyai orangtua sperti mereka. "Kak? Kepalanya sakit kok digeleng-geleng." Ayya dengan cepat menoleh kesamping, ternyata Gladis sudah duduk kembali di tempatnya. "Engga papa sih, cuman lagi perang sama pikiran sendiri, hal biasa untuk orang dewasa." Anggita mau tak mau tertawa pelan mendengarnya, punya bos lucu itu menyenangkan, dan Anggita bersyukur punya bos seperti Ayya. "Kak mau nanya." "Iya Gladis, bertanya saja. Biasa juga langsung bertanya bukan pake izin segala." balasnya, memiringkan sedikit kursinya hingga menghadap Gladis. "Kak Ayya kapan nikah?" Ayya mendengus kesal mendengarnya, memilih memperbaiki posisi kursinya kembali. Malas membahas hal seperti itu, baginya pernikahan itu masih jauh, tidak perlu buru-buru untuk hal yang tidak perlu sama Sekali. "Gla, sekarang aku yang tanya sama kamu. Gimana perasaan kamu andaikan ada orang yang bertanya seperti pertanyaanmu tadi pada kak Ayya?" Ayya tetap tak bergeming, membiarkan Anggita berbincang dengan Gladis. "Agak kesal sih, soalnya bukan urusan orang itu sama sekali." "Nah itu juga yang kak Ayya rasakan. Mau sedekat apapun kita pada seseorang tapi kita harusnya bisa pilih mana pertanyaan yang pantas untuk di tanyakan, kamu aja kesal pas ditanya. Kak Ayya juga manusia sama dengan kita bedanya kak Ayya itu humoris. Tetap aja, orang humoris juga punya perasaan." Ayya bertepuk tangan heboh, memberikan dua jempol pada Anggita yang barusan membelanya. Umur memang bukan tolak ukur kedewasaan seseorang, Ayya bangga memperkerjakan Anggita di bagian kasir. Gladis tidak tersinggung sama sekali, dekat dengan Ayya itu sudah lama. Jadinya hal biasa bahas seperti tadi, tapi mungkin bosnya itu moodnya sedang engga Bagus makanya pertanyaannya tidak di respon sama sekali. "Aku ambil pesanan dulu, bel nya sudah bunyi." setelah mengatakan itu, Gladis masuk kedalam dapur. Didekat kasir memang ada semacam bel yang terhubung dengan dapur, jika pesanan sudah siap. Pelayan tinggal masuk kedalam kemudian membawanya ke pemesan. Ternyata segampang itu ya. Masih dengan gerakan malas, Ayya mengeluarkan ponselnya. Ada banyak pesan yang masuk, tapi hanya saja Ayya tidak mood membalasnya cukup membukanya kemudian membacanya sekilas, lalu menutup room chatnya. Lagian si pengirim pesan tidak akan tau Ayya sudah membukanya atau bukan karena centang biru Ayya tidak berfungsi sama sekali, mengingat hal itu membuat Ayya tertawa pelan, Bagus juga ya. Kinta. Kamu beneran sudah di resto kan, Ay? Ay, jangan tidur lagi. Woyy kebo, bangun. Astagfirullah, yakin banget. Kamu masih tidurkan kan Ayya? Ayya membuka pesan lain, ternyata ada pesan dari adiknya. Adik lucu. Kak, kemarin aku ke papa minta duit terus lanjut nanjak mungkin pulangnya besok aja. Kata papa, liburannya di undur ke lusa. Aku bosan kalau engga nanjak sama sekali. Ayya malas membalasnya, lagian Ayya tidak begitu menggebu untuk pergi liburan palingan liburannya masih di daerah Jakarta karena papanya tidak bisa jauh-jauh dari kerjaan sama sekali. Kak Dita. Ayya. Zam sibuk banget ya? Soalnya aku telepon tapi engga diangkat sama sekali. Telepon sekertarisnya malah bilangnya engga tau. Kamu lagi sama dia? Kalau lagi sama dia bilangin dong untuk angkat telepon saya. Masa telepon sahabat sendiri engga diangkat. Ayya memutar bola matanya malas, terserahlah. Lagian mau Zam angkat atau tidak itu bukan urusan Ayya sama sekali. Ayya mematikan ponselnya, memilih berjalan ke belakang menuju mushalla kecil untuk shalat. Adzan dzuhur baru berkumandang tetapi Ayya memilih cepat mengambil wudhu, takutnya malah tertunda terus menerus. "Kamu disini juga, Ay?" "Hmm." jawabnya malas, yang bertanya adalah Bintang. Sahabatnya. "Kinta lagi menghadiri acara keluarganya, katanya engga bisa ditinggal. Aku marahin, kenapa engga bilang biar aku sama kamu bisa hadir sekalian tapi kata dia engga usah, yang punya acara masih keluarga jauhnya bukan keluarga dekat. Yaudah, aku bilannya happy ajalah." "Hmm." Bintang mendekati sahabatnya dan memeluknya erat. "Bintang ihh, sana ih. Aku pengen wudhu." Dengan tawanya, Bintang melepaskan pelukannya tetapi tangannya berpindah menarik kedua pipi Ayya. "Gemesin banget sih sahabatku yang satu ini. Kenapa? Engga mungkin datang bulan kan? Biasanya kamu engga normal kalau datang bulan. Kadang sehari setelah itu libur, selanjutnya datang bulan lagi. Dahlah, sana Ambil wudhu. Aku mau kedalam cek pesanan, kamu duluan aja dulu." Ayya hanya pergi menuju wc tanpa mengatakan apapun, Bintang hanya tertawa melihat kelakuan sahabatnya. Ini pasti gara-gara Kinta karena menganggu acara tidur panjangnya Ayya hari ini. Setelah berwudhu, Ayya masuk kedalam mushalla membuka lemari kecil yang berisi beberapa pasang mukena dan juga sarung, peci juga. Setelahnya Ayya fokus mengerjakan shalat. Setelah shalat, Ayya sengaja tidak mengganti mukenanya dengan jilbabnya kembali. Kembali ke depan menggunakan mukena dengan jilbab ditangannya. Tidak menyapa siapapun, memilih melanjutkan langkahnya masuk kedalam ruangannya. Sesampainya didalam, Ayya menyimpan jilbabnya di sandaran kursi kerjanya, mengubah bentuk sofa menjadi ranjang kecil yang bisa dijadikan tempat tidur. Matanya sangat mengantuk sekarang. Selesai, Ayya membaringkan badannya menggunakan bantal sofa sebagai bantal tidur, bermain ponsel tanpa membuka mukena sama sekali. Adem saja rasanya rebahan sembari menggunakan mukena. Adik lucu. Mama jadi pulang hari ini kan? Karena ini penting, jadinya Ayya membalasnya. Ayya. Jadi, paling nyampenya sore nanti. Katanya sudah beli oleh-oleh cuman aku engga tau mama belinya apaan. Rahasia katanya padahal sudah kepo banget. Ting. Cepat juga adiknya membalas. Adik lucu. Itukan memang kakak aja yang keponya kebangetan. Aku simpan ponsel kak, ini barusan sampe diatas mau menikmati perjuangan dan ambil beberapa gambar. Mungkin aku sampe rumahnya siang besok. Bye kak. Ayya. Heeehh, jangan lupa oleh-oleh. Ayya mengerutkan keningnya bingung, ditempat seperti memangnya oleh-oleh apa yang akan Panji berikan padanya? Ia tertawa pelan, memilih melihat status semua orang. Merasa bosan, Ayya bangun dari rebahannya. Mematikan data seluler ponselnya dan mencharger-nya. Kemudian kembali berbaring di sofa berubah wujud menjadi ranjang kecil. Perlahan alam mimpi menjemput Ayya, biar saya yang lain bekerja Ayya ingin tidur dan matanya tidak bisa diajak kompromi sama sekali. "Ay, ka- ehh sudah tidur." Bintang masuk kedalam, tersenyum menatap sahabatnya yang kini sudah terlelap. "Yasudahlah, nanti pas bangun aku bahasnya." gumamnya, kembali keluar ruangan dan masuk ke dapur. Setelah waktu shalat Dzuhur pembeli akan ramai kembali, paling banyak adalah mahasiswa setelahnya pekerja kantoran. Kadang juga ada pelajar. Ini adalah usaha mereka bertiga, walaupun Ayya lebih disematkan sebagai pemiliknya tetapi Bintang dan Kinta tidak terlalu mempermasalahkan karena memang biayanya dari ayah Ayya, walaupun uangnya sudah di kembalikan tapi tetap saja. Lagipula Ayya tidak pernah berlagak seperti bos, berbaur dengan yang lain nya seolah setara jadinya mereka semua nyaman bekerja tanpa tekanan apapun sama sekali. Persahabatan memang akan berhasil jika sama-sama saling mendukung bukan? *** Setelah mengirim pesan pada kakaknya, Panji membuka botol minumnya meneguknya dalam beberapa teguk dan kembali memasukkannya kedalam tas besarnya. Matanya tak henti-hentinya berbinar menatap kumpalan awan yang begitu cantik, sinar matahari yang begitu cantik dan pemandangan dibawah sana yang begitu memukau. Tendanya sudah berdiri sejak 15 menit lalu, memutuskan untuk bermalam dan akan turun subuh besok tepatnya setelah melihat matahari terbenam dan terbit pastinya. Kedua temannya yang Panji temani nanjak sedang sibuk mengambil gambar, satu lagi sedang memasak sesuatu dan satunya lagi sedang rebahan didalam tendanya, mereka perginya berlima dan punya tenda masing-masing. Untungnya, daerah sini memang terkenal dingin mau matahari diatas kepala sekalipun rasa panasnya tidak terasa sama sekali, malahan Panji rasanya ingin masuk kedalam tenda, menarik selimut dan tidur. Cuacanya sangat mendukung untuk tidur. Disini bukan hanya mereka berlima, ada banyak orang yang bersamaan nanjak bersamanya. Ada juga yang sudah bersiap turun, mungkin sudah disini sejak semalam. Tidak melihat matahari terbenam dan terbit ketika sedang berada diatas itu rasanya ada yang kurang. "Makan Woyy." Panji segera berdiri, mendekati temannya yang barusan memanggil mereka berempat. Dalam urusan memasak teman yang satu inilah yang akan mengurusnya, katanya sudah terbiasa sangat mandiri. "Wih bukan mie." "Bukanlah, ini masakan ala Chef Gino. Ayo makan." Mereka berempat hanya saling pandang dan saling tertawa kemudian menerima mangkuk kecil yang temannya sodorkan, makan diiringi canda tawa. Hanya butuh waktu 15 menit, acara makan itu selesai. "Gue sama Safraz mau kesana, mau ambil foto buat yang tersayang." Panji dan ketiga sahabatnya hanya menaikkan jempolnya bertanda setuju. "Gue beresin ini dulu, kalian tunggu disini." perkataan Gino dibalas gumaman oleh Andri sedang Panji hanya diam menatap langit biru yang begitu luas. "Pan, gue ngomong dan ini pribadi banget. Sebenarnya pengen bilang sama lo sejak kemarin, cuman gue berat bilangnya apalagi selama ini lo muji banget mereka berdua." Panji mengerutkan keningnya bingung mendengar apa yang Andri bisikkan padanya. Mereka berdua? "Yang gue maksud itu papa dan mama lo. Kemarin gue jemput adik yang barusan pulang ketemu sama nenek. Pas mau balik, gue liat mama lagi berbincang dengan papamu." Panji tertawa pelan, ia kirain kenapa. "Itukan kemarin memang papa gue yang ngantar mama gue, emang salah gitu kalau mereka saling berbincang?" ujarnya masih diselingi tawa kecil. "Pan dengerin gue dulu." Panji menghentikan tawanya, serius menatap Sahabatnya yang memang serumah dengannya selama seminggu ini. Andri sebenarnya tidak ingin mengatakan ini, tapi ia tidak ingin Panji terus tertipu dengan sandiwara yang selalu orangtua Panji perlihatkan. Andaikan Andri bisa memilih maka Andri akan memilih tidak melihat hal itu kemarin. "Dri? Yang lo maksud apaan?" Andri berdehem sekali, kemudian sedikit menunduk agar hanya Panji yang bisa mendengarnya. "Di samping papa lo, terdapat perempuan ya know lah penampilannya seperti apa, biasa kita temukan di pinggir jalan nunggu tamu gitu. Dan pas papa lo pergi, papa lo dan perempuan itu bergandengan dan jalan dengan mesra, ditempat duduknya mama lo nangis. Adik gue aja yang umurnya masih anak remaja nangis, katanya kasihan." "Dan bukan cuman gue yang liat, Pan. Beberapa orang di bandara juga liat cuman mereka mau ngapain? Mama lo kayak perempuan yang ada sinetron tau engga, yang biasa nenek gue liat di TV tiap malam." badan Panji menegang, matanya menatap nanar bebatuan besar yang bisa digunakan sebagai tempat duduk. "Adik gue bilang gini, dia lebih kasihan dari mama gue katanya. Mama lo lebih memprihatinkan, kalau mama gue bisa bersuara menuntut haknya sebagai perempuan sedang mama lo? Cuman bisa diem dan diliat banyak orang lagi. Miris Pan, lo tertipu dengan muka bucin palsunya papa lo itu." Panji belum mengatakan apapun, perkataan Andri adalah jawaban mengapa mamanya selalu menangis, selalu sedih dan senyumnya tidak tulus. Padahal Panji sudah berusaha untuk menerima jika nantinya ada kenyataan baru hanya saja kenapa ini menyesakkan sekali? "Papa lo lebih jahat dari papa gue, Pan. Iya! Memang bukan hak gue untuk menghakimi tapi rasanya gue yang engga terima dengan kenyataan yang gue lihat kemarin. Gue engga bisa sembunyiin ini dari lo Pan, gue engga bisa. Kesannya gue kecewa sama laki-laki pengecut kayak papa lo." Andri meninggalkan sahabatnya sendirian disana, memilih mendekati dua temannya yang masih sibuk mengambil gambar. Andri saja, sulit menerima apa yang kemarin ia lihat lalu bagaimana dengan Panji yang notabene orangtuanya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD