1. Seharusnya aku tidak mendorong kamu saat itu!!

1618 Words
"Mereka bilang, penyesalan selalu hadir belakangan. Tapi, bagaimana bisa, aku menyadari sejak awal, ini akan menjadi sebuah penyesalan." Nara Lovata Edrea. *** Langit biru yang membentang luas dan awan putih bersih bertebaran indah di langit siang itu. Matahari bersinar sangat terang membuat bayangan setiap orang menciut, bersembunyi. Angin berhembus lembut membelai sela rambut Nara. Nara menghela nafasnya perlahan. Tatapannya jauh memandang gedung-gedung lain yang menjulang tinggi di sekitar gedung kantornya. Nara Lovata Edrea tengah menikmati jam istirahat siang di atap kantornya. Ia menyeruput kopi yang ada di genggamannya secara perlahan. Nara sedikit merasa lelah. Ia masih tidak terbiasa dengan rutinitas pekerjaannya. "Tubuhku rasanya remuk setiap harinya," keluh Nara seraya memijat lembut pundaknya yang kaku. "Aku lebih suka menulis n****+ seperti dulu. Aku bisa menulis berjam-jam di depan komputer dan melewati waktu dengan cepat. Di kantor, aku merasa jam sama sekali tidak bergerak," keluhnya lagi sambil menyandarkan bahunya di kursi taman. Nara kembali menatap sekitar. Hijaunya tanaman berhasil menyegarkan pikirannya sejenak. Pandangan Nara pun berakhir pada jam tangan yang ia kenakan. "Kenapa hanya di jam istirahat saja waktu terasa sangat cepat berlalu?" Nara yang melihat jam istirahat siangnya itu telah usai. Ia pun bangkit dari kursinya dan kembali menuju ruangan kerjanya. Kakinya masih enggan untuk melangkah, ia masih ingin berleha-leha di atap gedung tersebut. Sesekali nafasnya berhembus kasar. Ia benar-benar enggan untuk kembali bekerja. Saat yang bersamaan suara orang-orang yang juga mulai kembali ke ruang kerja mereka mulai terdengar samar oleh Nara. "Hei, sudah dengar tidak? Pak Reiki katanya akan menikah!" "Aku dengar akhir bulan depan mereka akan menikah." "Benarkah? Cepat sekali. " "Wah, aku tidak ada harapan!" "Walau kabarnya mereka menikah dijodohkan tapi aku tetap penasaran seperti apa pasangan pak Reiki itu?" "Memang yang namanya orang kaya. Tidak masalah mau menikah bulan depan atau minggu depan. Selama ada uang, persiapan pernikahan seperti apapun pasti beres." Perbincangan tersebut berasal dari para pegawai wanita di perusahaan tersebut. Mereka membicarakan tentang pernikahan sang CEO yang sudah menentukan tanggal pernikahannya secara tiba-tiba. Reaksi para wanita yang kecewa sekaligus penasaran itu kini semakin merebak dan sampai pula di telinga Nara. Reiki Savian Altezza adalah CEO dari Altezza Group. Meski usianya tergolong muda. Ia sudah ditetapkan secara resmi menggantikan posisi ayahnya. Ada rumor yang mengatakan jika kakek Reiki tengah sakit keras. Hingga ayahnya Tony Savian Altezza langsung menetapkan Rei sebagai penerusnya dan memutuskan untuk merawat sang ayah yang tengah sakit keras tersebut. Kini Reiki terkenal tidak hanya dari statusnya saja. Tapi, ia juga terkenal akan parasnya yang tampan serta kemampuannya dalam mengelola bisnis dengan sangat baik. Banyak yang mengatakan jika perusahaan mengalami banyak kemajuan berkat kinerja bagus Reiki yang membuat nama perusahaan tersebut semakin disorot dan berkembang. Tentu saja kabar pernikahan Reiki yang menjadi idaman banyak wanita itu, pasti akan membuat gempar seluruh wanita yang ada di perusahaan. Akan tetapi, sedikit berbeda reaksinya dengan Nara. Nara tidak hanya merasakan kekecewaan tapi Nara benar-benar sangat patah hati akan kabar tersebut. "Rei ..." Nara hanya bisa memanggil nama Rei dengan lirih. Hatinya sangat tercabik begitu mendengar kabar tersebut. Sejak awal ia memutuskan untuk meninggalkan Rei ia sudah menduga jika hal tersebut kelak akan menjadi penyesalan terbesarnya. Kabar yang bukan hanya sekali ia dengar. Kabar yang selalu berhasil membuat hatinya remuk berkali-kali. Rei adalah pria yang ia cintai. Kekasih yang dulu ia abaikan dan Nara menyesali hal tersebut. Terlebih saat ia merasa kini harapannya untuk mendapatkan Rei kembali sudah musnah seutuhnya. Nara hanya bisa tertunduk selama di dalam lift hingga tiba di lantai ruang kerjanya. Langkah kaki Nara yang semula berat kini semakin terasa berat. Ia merasa jika kini kakinya bahkan sudah tidak lagi berpijak pada lantai. Rasanya tubuhnya telah melayang dan hanya mengikuti kemana orang-orang di depannya melangkah. Braaaak … Praaank … "Aduh.." Nara menabrak sesuatu. Ia memecahkan sebuah vas bunga yang terletak di depan pintu ruangan CEO. "Maaf.." "Maaf.. akan saya bersihkan!" Nara menundukkan kepalanya beberapa kali. Menunjukkan sesal yang dalam pada semua orang yang juga menyaksikan kejadian tersebut. "Iya, ini salahku. Ini adalah kesalahanku. Seharusnya aku tidak mendorong kamu saat itu. Seharusnya aku tidak bersikap sekejam itu padamu. Seharusnya sejak awal aku tidak melepaskan kamu," benak Nara yang tiba-tiba mengenang Rei. Pria yang masih sangat ia cinta bahkan sampai detik ini. Saat yang bersamaan, sepasang sepatu pria terlihat menginjak serpihan vas bunga tersebut. Suara retakan dari serpihan yang terinjak itu berhasil memecahkan lamunannya. "Maaf, saya yang salah. Saya tidak memperhatikan jalan ... ..." Ucapan Nara itu terputus begitu melihat sang pemilik dari sepatu tersebut. Nara yang menengadahkan kepalanya itu seketika berdiri, merapikan roknya yang sedikit kusut dan kemejanya yang tertarik. "Pak Reiki, maaf saya memecahkan vas bunganya," ucap Nara dengan tatapan matanya yang bergetar. Tatapan mata semua orang tentu tertuju pada mereka. Seolah sebuah pertunjukan yang menarik. Mereka menanti reaksi yang akan keluar dari Rei untuk Nara. Mereka pun mulai berbisik-bisik membicarakan Nara yang kini tertangkap basah tengah berulah. "Bereskan lalu datang ke ruangan ku!" sentak Rei yang membuat kedua bahu Nara sedikit terangkat akibat terkejut. Reiki Savian Altezza sudah cukup terkenal akan sikapnya yang dingin dan tegas. Reiki dikenal tidak bisa menerima kesalahan. Ia sangat ketat jika berurusan tentang pekerjaan dan lingkungan kerja. Sikap tegas Rei tidak pernah pandang bulu. Tentu saja, hal yang terjadi kali ini membuat semua orang sudah mengira jika Nara pasti akan terkena masalah akan kecerobohannya tersebut. Nara kembali membersihkan serpihan tersebut, bola matanya bergetar dan ia menggigit sedikit ujung bibirnya. Aaaargh … Tangan Nara tersayat oleh kaca dari vas bunga tersebut. Akibat pikiran Nara yang melayang. Ia menggenggam erat tangannya yang tersayat. Darahnya menetes cukup banyak. Bahkan berhasil mengotori lantai. Tapi, tidak ada yang memperdulikannya. Nara pun bergegas membereskan vas bunga tersebut. Usai membereskan vas tersebut dan menghentikan pendarahan di tangannya. Nara kembali merasa sangat gugup. Hati dan pikirannya kini benar-benar tidak bisa dijabarkan. Rasa campur aduk yang nyaris membuatnya meledak. Tangannya yang sakit tak sebanding dengan sakit di hatinya saat ini. Tapi, Nara kembali mengumpulkan keberaniannya. Ia harus menghadapi Rei sesuai dengan perintahnya tadi. Ia bersiap untuk menghadapi apapun yang ada di balik pintu tersebut. Tok ... Tok ... Tok … "Masuk!" Rei menatap Nara yang masuk dengan perlahan dan wajah yang terus menunduk ke lantai. "Tegakan kepalamu!" Suara tinggi Rei menyambut Nara begitu ia masuk ke dalam ruangan tersebut. "Bukankah itu tujuanmu memecahkan vas bunga itu?" Teriakan Rei mengisi seluruh ruangan tersebut. Membuat mata Nara terbelalak dan memandangnya dengan tatapan heran. "Apa lagi maksudnya?" benak Nara yang tidak mengerti akan ucapan dari Rei yang selalu menganggapnya mencari perhatian. "Kamu sengaja memecahkan vas itu?" tanya Rei lagi yang kemudian mendekati Nara. Rei terus mendekati Nara. Ia melangkah dengan langkah yang pasti. Membuat Nara yang gugup itu melangkahkan kakinya ke belakang. Mencoba menghindari Rei yang terlihat murka dengan tatapannya yang penuh emosi. Bruuuk … Nara sudah terdorong dan akhirnya terjatuh di sofa. Ia menatap sekelilingnya dengan gugup. Rei merendahkan tubuhnya. Tangannya menyentuh sandaran sofa yang ada di belakang Nara. "Kamu ..." Nara gemetar, ia kini menatap wajah Rei yang terlihat penuh amarah. Ia mencoba memahami apa yang membuat Rei sanngat marah padanya. Wajah Rei semakin mendekat. Rei pun berbicara dengan suara yang geram dan bergetar, "Kamu sengaja mencari perhatianku?" Suara kasar Rei tentu membuat Nara terbelalak. "Jawab aku Nara!!" "Kenapa kamu selalu membuat banyak masalah?" Kali ini Rei menarik dagu Nara dengan kasar. "Lihat aku Nara!" Plaak .. Nara menepis tangan Rei. "Kamu ..." Rei melonggarkan dasinya. Amarahnya memuncak. Ia kembali menatap Nara yang semakin menunduk di sofa tersebut. "Kenapa?" "Nara, aku benar-benar tidak bisa mengerti kamu." Tubuh Nara gemetar, ia menggenggam erat roknya. Kini tidak hanya Rei yang emosi. Nara juga jelas terlihat memendam amarahnya. "Kamu marah? Katakan jika marah! Kenapa malah selalu menunduk seperti itu?" "Bukankah biasanya kamu akan selalu buka suara? Kenapa kali ini kamu hanya diam?" Lagi, Rei membentak Nara. Nara benar-benar geram. Ini sudah yang kesekian kalinya Rei terus memojokkannya dan menuduhnya ini dan itu. Kali ini Rei juga menuduhnya dengan kasar. "Apa ini cara baru kamu mencari perhatianku?" sentak Rei lagi. Geram, akhirnya Nara pun membuka suaranya. "Rei, hentikan. Aku benar-benar tidak habis pikir. Aku memang bersalah padamu. Tapi, aku tidak hina seperti yang kamu pikirkan itu, Rei. Kenapa? Kenapa kamu selalu memperlakukan aku seperti ini?" Nara, menggigit ujung bibirnya. Ia menahan air matanya. Napasnya sudah menderu kencang. Bertahan dari air mata yang sudah tidak terbendung. "Aku hanya tidak sengaja menabrak vas bunga dan memecahkannya. Apa sesulit itu kamu mempercayai aku?" Suara Nara mulai bergetar. Air mata yang tak sanggup ia bendung akhirnya menetes membasahi pipinya. "Aku hanya menyesali keputusanku dulu Rei. Aku menyesal hubungan kita berakhir saat itu. Aku ... ..." Nara yang tak sanggup menyelesaikan kata-katanya itu kini tertunduk dan menangis terisak. "Kamu pikir aku percaya dengan kata-katamu? Kamu lupa apa yang kamu lakukan padaku? Hapus air mata palsu itu, Nara!" Nara tersentak mendengar kata-kata tersebut. Ia menatap Rei sejenak. Menarik napas dengan dalam dan berkata. "Kamu ingin aku menjawab apa Rei? Bukankah kamu tidak percaya apa pun yang aku katakan?" Nara memalingkan tubuhnya. Ia pun keluar dari ruangan Rei begitu saja. Tanpa memerdulikan apa yang Rei pikirkan tentangnya. “Aaarght …” Rei mengerang kesal. Ia melempar dasinya dan menghempaskan tubuhnya di sofa. "Nara, kenapa?" Rei menatap langit-langit ruang kerjanya. "Bukankah kamu bilang kamu tidak bisa memutuskan pertunangan kamu? Apa karena kamu sekarang sudah tahu, jika latar belakangku jauh lebih baik dari tunangan kamu itu? Apa alasanmu menyesal Nara? Cinta atau hartaku?" Rei pun larut dalam lamunannya. Pertanyaan demi pertanyaan terlintas di pikirannya untuk Nara. Waktu berlalu, meski jam kerja sudah lama berlalu dan langit sudah sepenuhnya gelap. Tapi, Nara masih harus bekerja lembur. Kerjaannya tertunda akibat pikirannya yang kacau. "Aku harus segera menyelesaikan ini dan pulang," tekad Nara yang tak ingin lagi membuang waktunya. "Sudah aku putuskan. Mungkin ini saatnya untukku menyerah Rei. Aku harus segera mengatakannya padamu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD