"Kisah cintaku berliku dan jalan di tempat. Bagaikan usus yang sedang sembelit." Nara Lovata Edrea
***
Waktu berlalu dengan cepat. Semakin malam, suasana di mall tersebut juga semakin ramai. Di tengah hiruk pikuk mall tersebut. Tawa dan canda di antara Rei dan Nara terlihat begitu kontras.
Senyuman mereka yang merekah, tatapan hangat yang mereka pancarkan dan es krim yang ada di kedua tangan mereka membuat semua orang yang melihat akan mengira jika mereka berdua sedang berkencan dengan mesra.
Akan tetapi, momen manis dari keduanya itu memancing perhatian dari Keira. Seorang gadis cantik nan sexy dengan pakaiannya yang minim.
"Rei!!" sapa Keira yang tidak menyangka melihat sosok Rei di mall tersebut.
Tatapan Rei jelas berubah saat melihat sosok yang ada di hadapannya tersebut.
"Keira ..."
Suara lirih Rei justru di sambut dengan senyuman licik dari wanita itu.
"Hmm.. Kamu punya mainan baru Rei? Aku tidak menyangka, kamu mau makan es krim seperti itu?" cemooh Keira dengan tatapannya yang tajam.
Rei terlihat gugup mendengar ucapan dari Keira. Tapi, Keira terlihat tidak ingin menyia-nyiakan keresahan yang Rei tunjukkan.
"Kamu manis, sih, meski kamu tidak terlihat seperti wanita Rei yang biasanya. Tapi, aku harap kamu tidak tertipu dengan wajah tampannya itu," ucap Keira seraya menarik rambut Nara.
"Yah, meskipun kamu suka mempermainkan wanita. Tapi, bermainlah bersamaku sesekali Rei. Aku merindukanmu."
Cup ...
Keira menarik kerah baju Rei. Ia pun langsung mengecup bibir Rei dan berlalu pergi dengan tangannya yang sedikit mengitari pinggang Rei.
"Hei, hentikan!!" teriak Rei kasar menghentikan tindakan Keira yang tiba-tiba.
Rei langsung mendorong tubuh Keira. Sontak Keira tersenyum puas. Ia berhasil mengusik Rei. Melampiaskan kekesalannya yang terpendam pada Rei yang kerap mengabaikan dirinya. Mengabaikan godaan yang sering ia tunjukkan pada Rei.
Sementara itu, Rei sangat panik dengan apa yang Keira lakukan saat ini. Ia cemas bukan main. Pandangannya hanya tertuju pada Nara.
"Bagaimana ini? Semoga Nara tidak salah paham!" Rei berdoa dalam hati dengan penuh harap dan keresahan yang menyelimutinya.
Meski Rei tidak mengerti mengapa hatinya terasa begitu kacau. Satu hal yang ia ketahui dengan jelas adalah pandangan Nara terhadap dirinya. Baru saja ia akrab dengan Nara. Ia tak ingin hubungannya rusak akibat Nara yang menyaksikan kejadian tersebut.
Rei yang terkejut akan tingkah dari Keira tersebut, berubah pucat pasi. Wajah Rei terlihat muram dengan dahi yang sedikit berkerut. Rei memalingkan wajahnya dan kembali menatap Nara. Jelas dari ekspresi Nara jika ia tengah kebingungan dengan situasi tersebut.
"Ma-maaf i-itu.. Aku bisa jelaskan!" ucap Rei terbata-bata.
Rei sangat bingung saat itu. Untuk pertama kalinya ia merasakan ketakutan yang luar biasa. Entah mengapa ia takut jika Nara marah padanya atau sakit hati melihat wanita itu menciumnya. Meski ia sendiri tidak paham dari mana asal kepercayaan diri tersebut.
"Oh, tidak apa-apa! Itu wajar, kan. Mungkin pacarmu cemburu karena melihat kita berdua di sini," ucap Nara dengan senyuman lebarnya yang tenang.
Seketika, Rei terdiam mematung. Berbeda dari segala dugaannya. Nara yang masih bersikap ramah dan tersenyum padanya itu justru membuat hatinya semakin sesak terbakar tanpa mengerti api apa yang telah menyulutnya. Ia kesal dan geram, tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa.
"Hmm... Rei," panggil Nara yang memecah lamunan Rei kala itu.
"Benar, kok! Aku tidak apa-apa. Justru aku harus minta maaf sudah membuat pacarmu salah paham!"
Kali ini ucapan Nara terdengar berbeda, suaranya sedikit bergetar dengan matanya yang terlihat semakin berkaca-kaca.
"Ah, kamu menahannya sekuat tenaga," benak Rei yang mendapati jika Nara tengah menggenggam erat roknya dengan tangan yang sedikit gemetar.
Sekuat tenaga Nara menyembunyikan perasaannya. Hatinya terasa begitu ketir menyaksikan Rei yang berciuman dengan wanita tersebut, Dalam waktu seketika perasaan Nara bisa jungkir balik. Mulanya ia senang bukan kepalang menemani Rei berbelanja berbagai kebutuhan. Nara sedikit berharap jika kegiatan kali ini akan jauh lebih mendekatkan mereka.
Akan tetapi, apa yang ia saksikan membuat Nara berpikir jauh lebih keras. "Memang tidak mungkin seseorang dengan wajah seperti itu tidak memiliki kekasih." Nara tertunduk semakin dalam dengan tangannya yang gemetar.
Nara yang berhati-hati akan perasaannya itu sudah pernah membayangkan jika kelak ia mendengar jika Rei sudah memiliki kekasih. Nara sudah mempersiapkan hatinya untuk hal tersebut, mengingat pertemuan mereka yang masih seumur jagung. Tapi, hati Nara saat ini, tidak bisa berbohong, jika sejak awal ia sudah jatuh hati pada Rei dan tidak bisa menerima kenyataan itu begitu saja.
Es krim yang mereka makan telah meleleh ke tangan Nara. Jemari Nara di penuhi dengan dinginnya es krim lembut yang telah meleleh. Perasaan terkejut akan kehadiran Keira membuat mereka lupa untuk menikmati es krim yang sedari tadi ada di genggaman mereka.
Rei yang menangkap keresahan pada Nara akhirnya tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
"Aku tidak punya pacar. Dia juga bukan pacarku. Lalu ... ..." ucapan Rei terhenti sejenak.
Rei pun menarik tangan Nara, mendekatkan jemarinya ke bibirnya. Jari mungil Nara yang penuh dengan lelehan es krim itu perlahan di jilat dengan lembut oleh Rei. "Hmm.. Lalu, aku berharap kamu tidak baik-baik saja!"
Lidah Rei terasa hangat menyentuh jemarinya yang semula terasa membeku. Nara terdiam dan tenggelam dalam pikirannya yang masih melayang. Ucapan Rei terus terngiang dalam benaknya. Nara pun semakin menggenggam erat roknya dengan satu tangannya. Rok tersebut sedikit terangkat dan memperlihatkan sedikit kulit pahanya yang putih mulus.
"Se-sepertinya wanita itu benar. Kamu suka mempermainkan wanita!" ungkap Nara dengan terbata-bata dan hanya di sambut senyuman ketir dari Rei.
Apa yang di katakan oleh Nara membuat Rei terdiam. Ia tidak menyangka jika Nara akan berkata seperti itu. Di satu sisi, ia tidak ingin Nara salah paham padanya.
"Hmm.. bagaimana jika kita makan malam sekalian berbicara. Ada yang ingin aku ceritakan juga sih." Rei yang sudah berpikir keras itu. Kini bertekad untuk jujur pada Nara tentang kisah percintaannya.
Tentu saja, mereka makan di restoran yang ada di mall tersebut. Kala itu, Nara benar-benar tidak bisa mencerna makanannya dengan baik. Nara terlalu gugup untuk menyadari apa yang akan di bicarakan oleh Rei.
"Hmmm.. apa tadi aku sudah mengunyah makanannya dengan benar? Ah, padahal aku memesan menu kesukaanku. Tapi, kenapa aku merasa tidak yakin apa yang sudah aku makan," benak Nara yang tidak yakin dengan caranya menyantap makanan tersebut. Satu hal yang sudah pasti jika kelak bisa saja ia mengalami gangguan pencernaan.
Rei menatap lekat Nara yang hanya fokus dengan makanannya hingga makanan terakhir masuk ke dalam mulutnya. Piring itu kini kosong dan hanya tertinggal jus buah yang masih penuh di gelasnya. Ia tak mengatakan sepatah kata pun pada Nara.
Rei sedikit gugup. Tapi, ia telah membulatkan tekadnya untuk mengatakan yang sejujurnya pada Nara.
"Seperti yang kamu dengar Nara, aku memang pria jahat yang mempermainkan wanita. Sebelumnya, aku hanya tidak mengerti apa itu cinta. Sehingga aku menerima semua wanita yang datang padaku."
Rei terdiam sejenak. Ia kembali menatap Nara yang menyeruput minumannya dengan santai. Rei kembali bingung dengan apa yang mungkin dipikirkan oleh Nara.
Di dalam hati, Rei penuh dengan pikirannya tentang Nara, "Huh, sebelumnya dia bersikap tidak tenang dan terlihat memendam emosi. Kali ini, dia malah terlihat begitu santai."
Sejujurnya Nara tidak menyangka jika Rei akan berkata jujur padanya. Ia tidak berharap begitu besar hingga Rei bersedia menceritakan kisah percintaannya. Tapi, hal itu pula yang membuat perasaan Nara sedikit lega. Tentu saja Nara paham jika tidak mudah bagi Rei untuk jujur akan masa lalunya tersebut. Walau Nara tidak yakin itu adalah sebuah masa lalu.
"Lalu, kamu masih mempermainkan wanita?" tanya Nara santai yang disambut gelengan kepala dari Rei.
"Tidak, aku tidak melakukan hal itu lagi. Aku meninggalkan segalanya di hari aku melarikan diri dari rumah."
"Hmm.. Kamu sungguh meninggalkan segalanya?" tanya Nara lagi. Kali ini dengan tatapannya yang serius.
Rei mengangguk pelan. Kepalanya tertunduk dengan dalam. "Aku meninggalkan segalanya. Kali ini aku benar-benar sadar saat aku tidak memiliki apapun. Tidak ada orang di sekitarku yang benar-benar bisa menolongku."
Tatapan Rei terlihat sedih, ia pun kembali menatap Nara dengan tatapannya yang dalam. "Aku menyadari itu semua dan berakhir seperti ini. Jika kamu tidak membantuku dengan memberikan pekerjaan padaku. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa."
Rei tidak pernah menceritakan apa penyebab ia bertengkar dan pergi dari rumah. Tapi, Nara bisa merasakan jika Rei bukanlah pria yang jahat. Jika Rei sudah menyadari apa yang ia lakukan dulu adalah salah maka itu sudah cukup baginya.
"Aku tidak tahu kehidupan seperti apa yang kamu jalani dulu. Tapi, jika kamu sendiri sudah memaafkan dirimu dan menyadari segala kesalahan yang telah kamu lakukan. Maka bukankah hal yang wajar jika aku juga menerima dirimu yang sekarang."
"Kamu sudah melakukannya dengan baik Rei.."
Nara tersenyum di akhir ucapannya. Senyuman yang terlihat begitu tulus dan tanpa sedikitpun tipu muslihat. Terlihat jauh berbeda dengan orang-orang yang dulu ada di sekitarnya. Orang-orang yang terus tersenyum hanya demi mendapatkan kesan baik darinya. Orang-orang yang mendekatinya karena mengetahui latar belakang dirinya.
Rei pun tersenyum dan kemudian berkata, "Aku benar-benar tidak punya apa-apa lagi, loh.."
"Hmm.. kamu, kan, masih punya aku!"
Kali ini Nara kembali tersenyum dengan cerah. Senyuman yang terlihat begitu cantik di mata Rei. Namun, ada hal yang sedikit mengusik pikiran Rei.
"Ah, kamu juga pasti punya kisah cinta tersendiri ya!"
Tanpa Rei sadari, ia menyuarakan isi pikirannya.
Bola mata Nara sedikit mendelik ke atas. Ia mencoba berpikir sejenak. Kemudian ia kembali tersenyum. "Iya, aku juga pernah pacaran sekali. Tapi, kisah cintaku sangat berliku dan jalan di tempat. Bagaikan usus yang sedang sembelit."
"Haah, sembelit?" Rei menganga heran.
"Ftttt ... Fttt ..." Nara terkekeh geli melihat reaksi dari Rei.
"Kamu mau mendengarkan kisah cintaku Rei?"