Episode 4 : Pacar Arina

1362 Words
Sebagai seorang yang menjadikan aktivitas menulis sebagai pekerjaan, meski Arina hanya berebahan sambil memegang ponsel dan tampak bermalas-malasan, tapi sebenarnya Arina sedang bekerja. Arina yang masih mengenakan pakaian sama layaknya siang tadi, tengah menuliskan setiap imejenasi yang memenuhi pikirannya. Ia tengah menyusun cerita sedemikian mungkin, agar cerita yang ia hasilkan hidup dan dapat membuat setiap pembacanya hanyut ke dalam cerita. Awalnya, kegiatan tersebut ditentang keras oleh keluarga Arina, khususnya Pram sang papah. Terlebih selain mengkhawatirkan kesehatan Arina khususnya mata Arina, demi aktivitas menulisnya, Arina yang awalnya menjadi guru olahraga di salah satu sekolah menengah atas, juga sampai mengundurkan diri. Namun setelah melihat hasil dari kesibukan Arina, Pram sekeluarga tak lagi menentang. Mereka mengizinkan sambil terus memantau, sebab sering kali, Arina akan lupa waktu kalau sudah menulis. Tak jarang, dalam sehari, Arina juga sampai tidak keluar dari kamar saking sibuknya wanita itu menulis. Sampai-sampai, Marwa sang mamah harus lebih rutin mengingatkan bahkan mendulang Arina, agar bontot dari dua bersaudara itu tetap makan sekaligus mengonsumsi makanan bergizi. Jam digital di ponsel yang keberadaannya ada di pojok sebelah kanan bagian atas, tepat menunjukkan pukul enam sore, ketika telepon masuk dari nomor baru, menari-nari di layar ponsel Arina, menggantikan deretan tulisan yang telah Arina tulis. “Lho, ini siapa? Bukan oknum jahat yang mau nipu aku lagi, kan?” gumam Arina yang refleks mengerucutkan bibir sambil menatap curiga nomor telepon yang masih menghiasi layar ponselnya. Tepat satu minggu lalu, Arina memang mendapatkan telepon masuk dari nomor baru, yang mengaku sebagai pihak dari salah satu situs jual beli online ternama di Indonesia, selaku negara tempatnya tinggal. Arina dikabari telah mendapatkan vocer cashback sebesar dua juta. Hanya saja, penelepon tersebut meminta kode rahasia yang dikirimkan melalui sms pribadi dari pihak aplikasi situs jual beli yang dimaksud, dan otomatis membuat Arina sadar, penelepon yang kebetulan bersuara pria tersebut sedang mencoba melakukan penipuan kepadanya. Oknum tersebut berusaha mengambil alih akun Arina di situs jual beli online tersebut. Sungguh, sebuah pembelajaran bagi Arina yang langsung memblokir nomor penelepon, apalagi nomor penelepon tersebut terus mencoba menghubunginya. Namun imbasnya, gara-gara kejadian tersebut, Arina jadi malas menjawab telepon dari nomor baru yang baginya hanya akan membuang-buang waktunya saja. Akan tetapi, lantaran kini nomor baru yang sempat mencoba menelepon tersebut sampai mengiriminya pesan biasa, Arina pun menyempatkan waktu untuk membacanya. +628 … : [Selamat malam, Aunty-nya Jio? Ini benar nomornya Aunty Arina, kan?] [Perkenalkan, saya Alvaro Dimas Susanto, Om-nya Jio di bank siang tadi, selaku manager utama di bank yang Aunty datangi siang tadi, bersama Jio.] [Saya mendapat nomor Aunty, dari data diri yang Aunty daftarkan di rekening bank. Aunty masih ingat, kan?] [Sebelumnya maaf banget, ya, Aunty. Namun, saya ingin bertanya, apakah kartu pengenal saya masih Aunty simpan? Kartu pengenal tersebut sangat penting, apalagi khususnya hari besok, karena besok, saya akan ada pertemuan penting dengan atasan saya.] [Saya tunggu jawabannya, yah, Aunty. Terima kasih banyak. Maaf sudah mengganggu waktu Aunty.] Arina langsung menelan salivanya seiring wanita itu yang mengantongi ingatan kejadian di siang tadi. Iya, kejadian siang tadi, ketika Arina yang merasa kurang nyaman memegang banyak benda di tangannya, memutuskan untuk memasukkan sebagiannya termasuk kartu pengenal milik Alvaro, si pria yang menjabat sebagai manager utama di bank yang Arina kunjungi, ke dalam tasnya. “Ya ampun Arina … bisa-bisanya kamu lupa!” Setelah uring-uringan dan sampai menepuk asal jidatnya, Arina memutuskan untuk menelepon nomor Alvaro, karena baginya, berkomunikasi lewat pesan singkat sangat rawan salah paham. Belum lagi, selain semuanya berawal dari keteledoran Arina, pembahasan yang akan Arina lakukan juga terbilang sangat penting dan sepertinya akan berdampak fatal pada pekerjaan Alvaro. Arina langsung meminta maaf kepada Alvaro, ketika telepon yang dilakukannya terhubung dan langsung dijawab dengan sangat sopan oleh yang bersangkutan. “Kalau begitu, besok pagi-pagi sekali, saya antar kartu pengenal Om, ke bank, ya?” tawar Arina yang juga menyikapi Alvaro dengan sesopan mungkin. “Oh, enggak usah repot-repot, Aunty. Biar saya saja yang ambil ke Aunty. Enggak enak kalau harus ngerepotin. Biar saya saja yang ke sana sekalian silaturahmi.” Balasan Alvaro yang masih tertata sekaligus sangat santun, sukses membuat Arina bingung. “Hah? Silaturahmi bagaimana maksudnya, Om?” ucapnya refleks berbicara cepat. “I-ya … silaturahmi dengan nasabah bank sendiri, maksudnya. Iya, begitu maksud saya.” “Oh ….” Arina mengangguk-angguk mengerti. “Ya sudah Aunty, … tolong minta alamatnya. Biar saya catat. Saya usahakan secepatnya sampai biar enggak kemalaman. Enggak enak juga, kalau bertamu malam-malam, takut enggak sopan,” lanjut Alvaro dari seberang masih terdengar sangat sopan. “Nih orang dewasa banget. Sopannya sudah tinggat ibukota. Pasti sudah nikah! Duh, jangan-jangan, nanti aku dibejek-bejek sama istrinya, kalau acara telepon ini sampai ketahuan!” batin Arina yang memang langsung mengagumi kesopanan seorang Alvaro. Kemudian ia berdeham dan bersiap menyebutkan alamatnya. “Sudah siap buat catat, Om? Oke … jalan Asrama Tentara ….” Arina belum selesai menyebutkan alamat lengkapnya, tapi dari seberang, Alvaro sudah menyela. “Maaf, Aunty? Suami Aunty, ... suami Aunty, tentara?” “Hah? A-pah?” balas Arina yang langsung syok. Kenapa Alvaro mendadak membahas suami atau pun itu status Arina yang dikira sudah bersuami? “B-bukan. Saya enggak punya suami, Om. Saya belum nikah. Yang tentara itu papah saya.” Arina buru-buru mengoreksi anggapan Alvaro. “Setua itu kah aku, sampai-sampai, baru ketemu saja sudah mikir, aku sudah nikah?” batinnya sambil menunduk lemas. Tanpa Arina ketahui, dari balik pintu kamarnya yang sedikit dibuka, Jio yang menahan gagang pintu di sana, sudah cekikikan memandangi kesibukan Aunty-nya mengobrol dengan pria yang dipanggil Arina; Om Alvaro, melalui sambungan telepon. Jio pun menyusun rencana dasyat yang membuat bocah gembul itu tak kuasa mengakhiri senyum jailnya. Jio buru-buru berlalu meninggalkan Arina yang masih terduduk di tengah-tengah tempat tidur, dan Jio yakini sampai belum mandi, sebab Arina masih mengenakan pakaian yang sama dengan pakaian saat siang tadi.  *** “Aunty belum mandi dan malah sibuk teleponan sama pacarnya? Memangnya, ... Aunty punya pacar?” Marwa tak kuasa berkata-kata. Ia yang mengenakan kacamata min karena sedang merajut, berangsur menatap sang suami yang tengah duduk di kursi goyang, dan kebetulan ada di sebelahnya. Jarak mereka hanya terpaut meja bundar tidak begitu besar yang dihiasi sebuah teko berisi minuman rempah milik Param, berikut sebuah kotak berisi keperluan merajut milik Marwa. “Iya! Bentar lagi pacar Aunty mau ke sini, Yang!” balas Jio yang masih saja menyikapi keadaan dengan antusias sekaligus senyum lepas. “Kita tunggu saja seperti apa pria pilihan Arina, Mah. Kalau sampai nyeleneh, langsung papah tembak!” tegas Pram dengan suara lirih dan terdengar menyeramkan bagi Marwa yang mendengarnya. Apalagi ketika Marwa memastikan, suaminya sampai memukul-mukulkan kedua tangannya yang mengepal, pada pegangan tangan kursi goyang keberadaan Pram bersantai.  *** Arina yang sudah sampai mandi dan mengenakan piama panjang, bergegas keluar dari kamarnya, setelah Alvaro menelepon dan mengabari jika pria itu sudah sampai di depan rumah Arina. Namun, bersamaan dengan itu, Pram yang sedang duduk santai di kursi goyangnya juga buru-buru beranjak dan segera menyambar senapan yang sudah tersanding di sebelahnya. “Sudah datang, Rin?” sergah Pram yang kemudian menyiapkan senapannya. Arina yang awalnya akan sampai berlari dengan sebuah kartu nama milik Alvaro yang ia genggam menggunakan tangan kanan, refleks terperanjat dan menghentikan langkahnya. “I-iya, Pah? Maaf, Papah kenapa?” tanyanya ragu sekaligus takut. “Pacarmu sudah datang?” todong Pram masih menyikapi sang putri dengan sangat galak. Sampai-sampai, Marwa yang terjaga di sebelahnya sampai kelepaskan rajutannya yang berakhir terkapar di lantai. Arina masihbingung dan memang tidak mengerti maksud Pram. Namun, Arina juga menjadi semakin bingung, lantaran Pram langsung melangkah tegas sambil membawa senapannya, ke arah ruang tamu selaku keberadaan pintu masuk utama rumah mereka.  "Mah, Papah kenapa, sih?" tanya Arina memastikan kepada Marwah yang masih telaten mengelus d**a sambil mengatur napas pelan, di kursi sebelah kursi goyang yang Pram tinggalkan. Setelah menghela napas jauh lebih dalam, Marwa berkata, "itu ... tadi si Jio bilang. Katanya, pacar kamu datang. Jadi, Papah yang baru tahu, langsung penasaran dan akan langsung kasih pacarmu pelajaran, kalau dia sampai di luar ...." Marwa belum selesai menjelaskan, tapi Arina sudah langsung panik. Arina sengaja berlari sekencang-kencangnya, sebelum Alvaro yang tidak tahu apa-apa, langsung menjadi korban kekejian Pram yang sudah dikenal oleh umum, memiliki sifat sangat tegas sekaligus garang. "Ya ampun, Jio ... bisa-bisanya dia asal ngarang cerita!" batin Arina ketar-ketir dan merasa semakin panik, lantaran di saat genting seperti sekarang, jarak ruang keluarga keberadaannya dan pintu utama masuk ke rumahnya, mendadak terasa sangat jauh. "KAMU PACAR ARINA!" Suara tegas Pram sukses mematahkan langkah Arina yang menjadi ngos-ngosan. Demi Tuhan, Arina bingung harus bagaimana menyikapi keadaan sekarang? Namun, Arina yakin, Alvaro langsung syok, lantaran baru juga datang, pria itu langsung ditodong pertanyaan nyeleneh, lengkap dengan moncong senapan yang sudah membuat keadaan semakin mencengkam. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD