9. Ada Yang Salah

1176 Words
Dari semua hal yang ada di sekolah, bel pulang menjadi sesuatu yang paling ditunggu oleh semua murid, dan mungkin para guru juga. Jika bel istirahat seperti oase di tengah gurun pasir, bel pulang seperti lautan luas yang ditemukan setelah perjalanan jauh melewati gurun pasir tersebut. Murid-murid akan berhamburan keluar kelas begitu bel pulang berbunyi. Sama seperti yang terjadi di kelas Alena sekarang. Bel pulang berbunyi dan guru mata pelajaran terakhir baru saja keluar, tapi hampir semua murid di kelas sudah keluar. Beberapa masih sibuk beres-beres di bangku masing-masing. Ada juga yang mulai merapikan bangku karena kelas akan dibersihkan petugas piket. “Alena, lo dijemput, kan? Gue bareng ke depan, ya?” Pertanyaan Via langsung dihadiahi anggukan oleh Alena. Alena segera membereskan barang-barangnya ke tas, kemudian mencangklong tasnya seraya beranjak dari kursi. “Ayo, Vi,” ajaknya. Alena ingin cepat-cepat pulang. Pasalnya, tadi pagi papanya bilang akan pulang cepat dari kantor hari ini dan akan mengajak ia makan di luar. Sudah cukup lama, ia tidak makan di luar bersama papa sejak pria itu semakin sibuk dengan pekerjaannya. “Kayaknya mereka belum baikan, deh,” celetuk Via begitu mereka sudah di luar kelas. Pandangannya sesekali tertuju pada dua gadis di kelas tadi. Alena mengikuti arah pandang Via. “Kayaknya iya. Bingung gue harus ngapain lagi biar mereka bisa balik kayak dulu. Sumpah, gue kangen berisiknya mereka. Lo pasti iya, kan?” “Iya, sama, Len! Biasanya mereka yang suka ngajakin anak-anak cewek ngerumpi, segala macam di kelas. Eh, sekarang boro-boro mau ngerumpi, lihat mereka saling sapa aja kita udah bersyukur banget. Kadang tuh gue sampai kepikiran, kapan ya mereka bisa baikan lagi?” Tidak hanya Via, Alena juga memikirkan hal yang sama. Meskipun ia sering cemburu dengan kedekatan Nada dan Gamma, tapi tak bisa dipungkiri kalau Nada adalah orang baik. Kelakuan ajaib Nada dan Manda selalu bisa mengimbangi berisiknya suasana kelas akibat ulah murid laki-laki. Langkah mereka berbelok ke kiri, menuruni tangga ke lantai satu. Tepat ketika kaki Alena menginjak anak tangga terakhir, suara seseorang terdengar memanggilnya. Alena pun menoleh ke sekitar, mencari sumber suara, sebelum mendapati seorang laki-laki—dengan seragam yang masih rapi, meski sudah jam pulang sekolah—berjalan ke arah mereka. Di tangan laki-laki itu terdapat setumpuk buku. “Kenapa, Ri?” tanya Alena begitu berhadapan dengan laki-laki itu. “Kalian udah mau pulang?” Riga balik bertanya. Alena dan Via mengangguk. “Kalau gitu, lo pulang duluan aja, Vi. Alena biar bantuin gue bawa buku-buku ini ke kelas dua belas,” lanjutnya. “Kok gue, sih?” protes Alena, tapi terlambat, karena Riga sudah keburu memindahkan setengah tumpukan buku tadi ke tangannya. Gadis itu berdecak kesal, berniat kembali melayangkan protes, tapi Riga sudah lebih dulu berlalu pergi. “Dasar cowok ngeselin!” Tawa Via meledak. Membuat Alena segera menginjak ujung sepatu Via, karena tawa gadis itu berhasil mengundang perhatian beberapa murid yang lewat. “Kalau gitu, gue pulang dulu ya, Len. Lo yang sabar.” Gadis itu menepuk bahu Alena dua kali. “Dan semangat bantuin calon ayang!” “Kurang ajar! Sabar, sabar, bantuin kek. Enak aja cuma gue yang kena.” “Maaf ya, Alena, tapi kali ini gue nggak bisa bantuin lo. Yang disuruh Riga kan elo, bukan gue, jadi ya udah terima aja. Lagian jarang-jarang loh Riga minta tolong, apalagi sama cewek. Udah, nggak apa-apa, Len. Anggap aja ini latihan.” “Latihan?” “Latihan jalan berdua sama calon pacar. Bye, Alena!” Tanpa memedulikan amukan Alena di belakang sana, Via melambaikan tangan, kemudian berlari pergi sambil tertawa. Alena misuh lagi. “Alena, ayo! Lama banget, sih.” Suara Riga berhasil menambah kekesalan Alena. Laki-laki itu ternyata belum pergi dan menunggu di belokan koridor dekat lapangan. “Buruan, Al. Bukunya mau dipakai buat pendalaman ini.” “Iya, sabar, lagi jalan ini. Lo juga jalannya jangan cepat-cepat, dong. Gue susah, nih.” Lagi-lagi Alena protes. Untungnya, Riga mau mengurangi kecepatan langkahnya. Mereka berjalan bersama menuju gedung IPS. Menyusuri koridor, belok ke kiri, dan berhenti di kelas paling ujung. Kelas XII IPS 6. Riga meminta Alena memindahkan kembali buku yang dibawa gadis itu ke tumpukan yang dibawanya. Kemudian, menyuruh Alena menunggunya di depan kelas. Pandangan Alena menyapu sekitar. Kelas ini berhadapan langsung dengan lapangan utama, berseberangan dengan gedung IPA, dan di samping kelas, terdapat pohon ceri yang daunnya rimbun. Lokasinya teduh, pun udara di sini jauh lebih sejuk daripada titik lain di SMA Angkasa. Mata Alena menyipit saat melihat ke arah kelasnya. Dari posisinya, ia bisa melihat ada dua gadis dan satu laki-laki tengah mengobrol di depan kelas. Tidak lama, karena salah satu dari gadis itu kemudian pergi dan menyisakan dua orang lainnya di sana. Ia masih asyik mengamati kedua orang itu, tapi tiba-tiba satu tepukan mendarat di bahunya. Alena berbalik. Riga sudah kembali dari tugasnya mengantar buku-buku. Laki-laki itu menaikkan alis, penasaran dengan apa yang dilihat Alena, tapi saat ingin mencari tahu, gadis itu justru menarik lengannya pergi. Mereka menuju parkiran. Riga mengulurkan sebuah helm, yang langsung diterima Alena. Kemudian memintanya naik ke boncengan. Setelahnya, Riga segera melajukan motornya keluar area sekolah. Namun, bukannya langsung mengantar Alena pulang, Riga membelokkan motornya ke sebuah warung bakso, lokasinya berjarak beberapa meter dari sekolah. Mereka masuk dan memesan dua porsi bakso dan dua gelas es jeruk. Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. “Al,” panggil Riga. “Lo kapan sih mau move on dari Gamma? Nggak capek apa lo tiap hari makan hati terus lihat dia bareng sama Nada?” Alena mendongak. Keningnya berkerut. “Wait, jangan bilang lo—” “Gue lihat lo ngelihatin Gamma tadi,” potong Riga sebelum Alena selesai bicara. Tadi saat keluar kelas dua belas, Riga mengira Alena sedang melamun. Namun, ketika mengikuti arah pandang gadis itu, ia akhirnya tahu alasan di balik perubahan raut wajah Alena. “Jujur, gue kangen Gamma, Ri. Gue kangen ngehabisin waktu sama dia kayak dulu,” aku Alena akhirnya. “Apa yang dulu udah terjadi, nggak akan bisa terulang lagi, Al. Lo harusnya sadar, siapa lo sekarang. Lo itu cuma masa lalu buat Gamma. Jadi, jangan berharap lebih sama dia.” “Sekarang mungkin gue cuma masa lalunya dia, tapi siapa tahu nanti justru gue yang jadi masa depannya Gamma, bukan Nada,” balas Alena seraya menatap lurus pada Riga. Laki-laki itu meletakkan alat makannya. “Jangan gila, Al. Berhenti mengharapkan sesuatu yang nggak pasti. Lo itu bukan cinta sama Gamma, tapi lo begini karena nggak bisa damai sama perasaan lo sendiri,” sahut Riga. Emosinya tiba-tiba naik. “Tapi lo nggak—” “Sudah, stop. Jangan bahas Gamma di sini. Mending lo buruan habisin baksonya, habis itu gue anterin lo pulang. Bokap lo bilang dia udah di rumah, soalnya.” Sebenarnya Riga sudah berkali-kali meminta Alena untuk melupakan Gamma, tapi gadis itu keras kepala. Alena masih mengharapkan Gamma, padahal orang yang diharapkan saja sudah bersama orang lain. Sungguh, ia pusing harus bersikap bagaimana lagi. Ia ingin bersikap tidak peduli kepada Alena, tapi sisa-sisa perasaannya untuk gadis itu dulu, ternyata berhasil menahannya. Hingga beberapa hari kemudian, Riga menyadari bahwa ada yang tidak salah dengan Alena.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD