1. Hari Kedua di Jakarta

1608 Words
“Oh My God, kamar gue!” “Gila! Ini kamar udah kayak medan perang aja, bisa kena omel Pak Budi nih gue. Dasar, Alena b**o!” maki Alena pada dirinya sendiri seraya memunguti beberapa potong pakaian yang tersebar di atas ranjang dan memasukkannya ke keranjang baju kotor. Ini semus efek ia lupa meletakkan sesuatu dan berakhir membongkar kopernya asal kemarin. Alena menatap miris kondisi kamar yang sudah seperti kapal pecah. Satu dari dua koper di samping pintu kamar terbuka dan isinya mencuat keluar. Tiga buah kardus berukuran sedang di samping koper, kardigan warna maroon tersampir asal di meja belajar, juga seprei yang salah satu sisinya berada di lantai. Benar-benar kacau. Sebenarnya, ia ingin langsung membereskan kekacauan ini kemarin, tapi karena terlalu lelah, ia akhirnya memilih melempar diri ke tempat tidur. Dan hari ini, ia jadi menyesal tidak membereskannya kemarin. Dua jam sudah Alena berkutat dengan kamarnya. Kini, semua barang-barang sudah berada di tempatnya masing-masing. Seprei yang semula berwarna krem, diganti dengan motif bunga. Tak lupa ia menempelkan jam dinding berbentuk bulat bergambar kartun di atas meja belajar. Baru setelah itu, ia mandi. Selesai mandi, Alena menuju ruang tengah di mana seorang pria dengan rambut yang mulai botak tampak fokus menonton tayangan berita di televisi. Alena menyapanya. Budi, pria itu, menoleh dan menggeleng pelan. “Ini sudah jam setengah sebelas, Len. Nyenyak banget, ya, tidurnya?” Alena terkekeh pelan dan mendaratkan tubuh di sofa tunggal. “Papa mau?” tanyanya seraya menyodorkan sebuah piring berisi roti bakar pada pria itu. “Tidak, buat kamu aja.” Gadis itu mengangguk dan melahap roti bakar dengan isian selai cokelat favoritnya. Dari dulu, ia memang selalu sarapan roti bakar dengan selai cokelat, atau apa pun asal bukan nasi. Sebab, perutnya sering bermasalah jika ia sarapan nasi. “Oh, iya hampir aja lupa. Papa ada sesuatu buat kamu. Bentar, Papa ambil dulu.” Budi beranjak bangkit. Beberapa menit kemudian, kembali dengan sebuah map merah dan sebuah paper bag cokelat di tangannya. Diserahkannya barang-barang itu kepada putrinya. “Ini apa, Pa?" Budi tak menjawab dan malah menyuruh Alena membukanya. Detik berikutnya, mata Alena membeliak. "Papa daftarin aku ke SMA Angkasa?” pekiknya saat mendapati map tersebut berisi berkas pendaftaran dan surat pernyataan bahwa ia diterima di sekolah tersebut. “Iya, Papa daftarin kamu ke sana karena searah juga sama kantor Papa. Apalagi ada teman SMP kamu juga yang sekolah di sana. Jadi, kamu nggak akan merasa sendirian nanti." Gerakan tangan Alena yang sedang membuka paper bag pun terhenti. “Teman SMP Alena? Namanya siapa, Pa?” tanyanya penasaran, mengingat ia dulu jarang membawa teman-temannya ke rumah, kecuali dua orang .... “Aduh, Papa lupa siapa namanya. Tapi Papa ingat wajahnya, dulu dia pernah ikut antar kita ke bandara. Siapa ya namanya? Kamu ingat nggak, siapa teman kamu yang waktu itu ngantarin kita?" Ingatan Alena langsung terlempar ke beberapa tahun lalu, saat di mana ia terpaksa pindah karena Budi pindah tugas ke Balikpapan. Saat itu di antara dua sahabatnya, hanya ada satu orang yang ikut mengantar mereka ke bandara. Orang itu ... "Maksud Papa, Riga?" “Papa lupa, Len, mungkin iya. Pokoknya dia yang waktu itu di bandara, terus Papa malah jadi obat nyamuk gara-gara kalian asyik ngobrol di ruang tunggu,” jawab Budi. Jawaban yang kemudian mengantarkan Alena pada sebuah keyakinan baru perihal suatu hal. “Emang Papa ketemu Riga di mana?” Terlalu antusias, hingga membuat kopi yang diminum Budi tumpah ke baju. Alena meringis, menyatukan kedua telapak tangannya di d**a dan meminta maaf. "Jadi, Papa ketemu di mana? Kapan?" “Kemarin sore, Papa ketemu dia di minimarket depan kompleks. Dia lagi sama perempuan, pacarnya mungkin. Waktu temannya lagi milih-milih, Papa coba samperin. Eh, dia ternyata masih ingat sama Papa. Akhirnya, kami ngobrol dan dia juga nanyain kabar kamu.” Mendengar itu, tanpa sadar bibir Alena membentuk lengkungan tipis. Sangat tipis, hingga papa tidak menyadari itu. Sebuah titik terang muncul. "Kamu tahu, Papa merasa tenang kalau kamu sekolah di sana. Selain karena sekolah itu adalah sekolah impian Luna, di sana kamu sudah punya teman yang kamu kenal. Jadi, Papa juga bisa sekalian nitipin kamu ke Riga untuk bantu ngawasin kamu." Yang satu ini seketika meredupkan senyum Alena. "Papa kira Alena barang apa, pakai dititipin segala? Alena udah gede, Pa, udah bukan anak kecil yang perlu diawasi segala. Jadi, tolong jangan minta Riga buat awasin Alena. Dia bukan bodyguard," protesnya. “Papa melakukan ini semua demi kebaikan kamu, Alena. Kamu itu kalau nggak ada yang awasin, pasti selalu bertindak seenaknya. Papa nggak suka. Sudah, pokoknya Papa akan tetap minta tolong Riga untuk mengawasi kamu.” Budi berujar final. "Dan satu lagi, sampai kapan pun kamu akan tetap jadi putri kecil Papa, Sayang,” ucap Budi sambil mengusap lembut rambut putrinya. Gadis itu memejamkan mata. “Alena kangen Mama,” ujarnya kemudian setelah cukup lama keheningan menyelimuti mereka. Kini, di sinilah Alena sekarang, di area parkir sebuah tempat dengan mengenakan dress hitam lima senti di bawah lutut. Mengikuti Budi, ia melangkah masuk ke sebuah area pemakaman umum. Tujuannya adalah makam yang berada tepat di bawah pohon kamboja. “Assalamualaikum, Ma. Mama apa kabar di sana? Baik-baik aja, kan? Alena sama Papa juga baik-baik aja. Maaf, dua tahun terakhir kita nggak bisa jengukin Mama. Lena kangen banget sama Mama,” ucap Alena masih sambil mengusap nisan almarhumah mamanya. Cairan bening yang sedari ditahan kini luruh membasahi kedua pipinya. Dadanya sesak setiap kali ke tempat ini. “Ma, Luna jagain Mama, kan, di sana? Luna nggak bikin Mama kesel, kan?” Lagi-lagi air mata Alena jatuh. Ia merasakan punggungnya ditepuk-tepuk pelan oleh papanya. Setelah tangisnya sedikit reda, Alena berbalik, membiarkan papanya melepas rindu. Ia menatap satu makam lagi yang tepat di samping makam mamanya. Aluna Prameswari. “Halo, Kak Luna. Apa kabar? Maaf, ya, Lena sama Papa baru bisa jenguk sekarang. Soalnya, Kemarin baru aja pulang. Kak, Lena kangen banget sama kakak.” Alena menyeka air matanya. Tubuhnya bergetar diiringi isakan. “Oh iya, Kak, Papa daftarin aku ke SMA Angkasa, loh. Aku seneng banget. Itu, kan, sekolah impian kakak dulu. Doain, ya, semoga aku bisa cepat beradaptasi di sekolah itu, Kak. “Kak, udah siang, Lena sama Papa pulang dulu, ya? Besok Lena juga udah masuk sekolah. Tapi Lena janji bakalan sempatin waktu buat jengukin Mama dan Kak Luna. Nitip Mama, ya, Kak. Jagain Mama, jangan dibikin kesel terus. Bye, Kak Luna,” pamit Alena seraya mengusap nisan sang kakak dan mamanya. “Ma, Lena sama Papa pulang dulu, ya? Lena janji bakalan sering ke sini. Assalamualaikum Mama, Kak Luna.” Alena memandang sekali lagi kedua makam tersebut lalu beranjak pergi. Akhirnya rasa rindu pada dua perempuan yang disayanginya sedikit terobati. Pasalnya selama beberapa tahun terakhir, ia hanya bisa mengirimkan doa-doa tanpa bisa berkunjung ke makam mereka. "Mau makan dulu atau langsung pulang?" tanya Budi sesaat setelah mobil meninggalkan area parkir pemakaman. “Langsung pulang aja, Pa. Lena mau istirahat dulu, sama sekalian Lena izin pergi, ya?” “Mau ke mana kamu, Len?” “Jalan-jalan doang, Pa. Udah lama nggak me time soalnya. Boleh, kan?” “Ya sudah, Papa izinin. Asal pulangnya jangan kemalaman.” “Siap!” *** Jalan-jalan yang dimaksud Alena adalah jalan-jalan di antara rak-rak penuh buku yang memanjakan mata. Jemarinya menyusuri punggung buku, mengabsen satu per satu judulnya, dan menarik keluar salah satunya untuk membaca cuplikan di sampul belakang buku. Dulu waktu SMP, Alena sering menghabiskan akhir pekannya dengan pergi ke toko buku. Mengabsen jajaran buku atau n****+ yang ada di rak 'New Books' dan 'Best Seller'. Ditambah lagi, seseorang selalu menemaninya. Meski lama, tapi orang itu tidak pernah mengeluh dan tetap menemaninya. Ah, mengingatnya saja membuat senyumnya mengembang. Pandangan Alena jatuh pada sebuah n****+ dengan sampul bergambar langit malam. Segera ia meraihnya, tapi ternyata ada tangan lain yang juga menyentuh n****+ tersebut. Buru-buru ia menarik tangannya kembali tangannya, begitu juga orang tersebut. Alena menoleh dan mendapati seorang gadis seusianya tersenyum kikuk. Tubuhnya ideal hanya mungkin lebih gemuk gadis itu daripada dirinya. Pipi tembam gadis itu sangat berbeda dengan pipinya yang tirus. Rambutnya hitam sepunggung. Namun, wajahnya terkesan judes. “Maaf. Mau ambil ini juga? Silakan. Aku bisa cari yang lain,” ucap Alena. “Enggak usah, ambil aja. Gue bisa cari n****+ lain,” jawab gadis berwajah judes itu, lalu kembali fokus pada jajaran n****+ di hadapannya. “Eh, ini ada satu lagi ternyata. Kalau gitu, ini buat kamu, aku bisa ambil yang ini. Atau kamu mau tukeran?” ujar Alena sambil menyodorkan n****+ tersebut. Tangan kirinya mengambil n****+ yang sama dari rak. “Isinya sama aja. Gue ambil yang ini,” jawab gadis itu sambil mengambil n****+ yang Alena sodorkan. “Oke. Lo suka n****+, ya? Eh, pakai ‘gue-lo’ nggak apa-apa, kan?” tanyanya ragu. Sebenarnya ia tidak mau sok akrab, tapi melihat gadis itu sepertinya juga suka n****+, ia jadi penasaran. “Nggak apa-apa, santai aja. Iya, gue suka n****+. Lo juga?” Alena mengangguk antusias. “Iya, gue juga. Dan ini salah satu yang gue incar, tapi baru nemu sekarang.” “Lah, sama dong! Gue nyari buku ini dari lama, tapi baru nemu sekarang. Suka aja gitu sama hal-hal yang berbau bintang.” “Lo As—apa sih itu yang suka bintang sama luar angkasa?” “Astrophile.” “Nah, iya, Astrophile!” “Lo Astrophile juga?” Alena menggeleng cepat. “Bukan. Gue cuma penggila n****+ aja, bukan penggila unsur luar angkasa gitu. Tapi temen gue ada yang sama kayak lo. Maniak banget sama luar angkasa gitu.” “Oh, ya? Seru, dong. Jarang banget loh, nemu orang yang suka luar angkasa gitu. Susah malah.” “Seru apanya, yang paham dia—” “Nada!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD