Setelah hampir sebulan tidak bertemu sang suami, Ara sekarang mendatangi rumah mertuanya—tentu saja hal itu karena permintaan sang mertua. Kata mereka, ada sesuatu yang hendak mereka bicarakan dengan Ara.
Ara telah lama mengaktifian nomor ponselnya, namun Arash tak ada menghubunginya. Mungkin saja Arash menghubungi ketika masih terblokir, namun setelah itu apa dia berhenti menghubunginya begitu saja? Apa suaminya itu benar-benar sibuk sehingga melupakan sosoknya?
Walau setahun terakhir mama mertuanya sering menyinggung perihal kehamilan, Ara masih tetap sopan dan menghormati perempuan yang merupakan ibu kandung dari suaminya itu. Ara baru mengeluh beberapa bulan terakhir ini kepada sang mama. Akan tetapi, sang papa yang mendengarnya malah murka kepada Ara.
"Makanya, jangan suka mabok-mabokan, ngerokok dan pola hidup kamu biar bisa cepat hamil. Makan jangan sembarangan juga. Wajar mertua kamu bilang begitu, karena gimana pun dia pengen punya keturunan darah daging anaknya."
Ara hanya diam mendengarkan ocehan sang papa, sama sekali tidak menyela. Ara itu subur dan sudah berusaha menjalankan apa yang disarankan orang atau artikel yang dibacanya agar segera punya momongan. Namun, Tuhan sepertinya belum berpihak kepadanya hingga saat ini. Merokok? Ara bahkan sama sekali tidak menyentuh nikotin. Hanya jika temannya berkunjung ke rumah atau apartemennya dulu, mereka yang merokok. Pun dengan minuman alkohol. Ara baru mengkonsumsinya 2 tahun belakangan, itu pun jika tengah ada masalah berat. Ara tak punya tempat berbagi cerita selain Beni dan mamanya.
Ara mendatangi rumah mertuanya sendirian lada malam hari. Begitu masuk, Ara disambut oleh mama mertuanya yang sama sekali tidak senyum ketika Ara mencium tangannya. Senyum Ara memudar. Dia menghela napas sejenak sebelum mengikuti mama mertuanya menuju ruang keluarga.
"Oke. Mama akan langsung aja pada intinya, alasan Mama minta kamu ke sini."
Ara mengangguk.
“Mama menginginkan seorang cucu dari anak Mama.”
Ara meneguk salivanya seketika. Mama mertuanya kembali mengingatkannya perihal anak di mana Ara yang tak kunjung hamil juga.
“Kamu dan Arash udah 4 tahun menikah, tapi sampai saat ini kamu belum hamil juga. Bagaimana kalau ternyata kamu memang man— “
“Aku subur, Ma. Aku nggak ada masalah kesehatan.”
Ara memang beberapa kali konsultasi dengan dokter obgyn, di mana sang dokter selalu berkata hal yang sama. Ara diminta untuk sabar dan berdo’a.
Mamanya Arash menggeleng.
“Sampai kapan? Sementara usia kami sebagai orang tua semakin bertambah.”
Ara tentu tidak bisa menjawab, karena Tuhan lah yang mengatur semuanya.
“Semisal Mama meminta Arash untuk menikahi perempuan lain, apa kamu setuju?” Mamanya Arash tak seperti suaminya. Jika sang suami ingin anaknya segera menceraikan Ara, beda dengan sang istri yang menawarkan opsi Arash menikahi seseorang lagi tanpa menceraikan Ara. Dia ingin Ara yang meminta cerai dengan sendirinya jika tidak ingin dimadu.
Mata Ara membola begitu mendengar ucapan blak-blakan mama mertuanya itu.
“Ma… “ Ara menggelengkan kepalanya. “Aku enggak bisa.”
Ara tak sanggup membayangkan bila dirinya harus dimadu.
“Terus, kamu emang punya opsi lain?”
Ara sempat mengutarakan pendapatnya ingin melakukakan proses bayi tabung. Namun, Arash tidak setuju dengannya.
“Mama udah membicarakan hal ini dengan Mas Arash?” Ara mencicit pelan.
“Sudah. Dia bersedia asalkan ada restu dari kamu.”
Ara tersenyum miris di dalam hatinya. Semudah itu Arash menyetujuinya, tanpa berunding terlebih dahulu dengannya? Ara sungguh tak menyangka.
“Aku butuh bicara dengan Mas Arash berdua,” ungkap Ara sebelum beranjak pergi. Tak ingin lama-lama berada di sana.
Hati Ara berdenyut nyeri. Tak menyangka jika sang suami yang sudah sebulan tidak bertemu dengannya itu, diam-diam menyetujui saran sang mama untuk menikahi perempuan lain.
Saat Ara baru saja keluar pintu rumah, mobilnya Arash memasuki garasi. Lelaki itu langsung turun dari mobilnya begitu melihat kehadiran Ara di rumah orang tuanya.
“Kamu ke mana aja menghilang?”
Ara pikir, Arash akan memeluknya karena rindu sudah lama tidak bertemu, nyatanya lelaki itu bertanya dengan nada dingin padanya.
“Mau ke mana pun aku, emang kamu peduli?” Ara bertanya balik dengan tak kalah dinginnya.
Arash berdecak. “Kamu ini benar-benar hobi banget mancing keributan, ya?”
“Lah, kenyataannya emang seperti itu. Kamu jarang pulang dan secuek itu sama istri sendiri. Dan yang bikin aku enggak habis pikir, apa alasan kamu sampe sekarang enggak mau publish hubungan kita?” tanya Ara dengan tatapan nanar. “Oke, dulu aku memang salah karena awalnya meminta untuk nggak di-publish dulu, aku udah minta maaf berkali-kali dan kamu pun enggak mempermasalahkannya. Tapi kenapa setelah itu sampai sekarang kamu yang nggak mau orang tahu? Tiga tahun aku menunggu, Mas. Apa kamu malu memiliki istri seperti aku?”
“Bukan begitu, a-aku… “ Arash mengusap wajahnya kasar. “Kita omongin ini di rumah, ya? Aku anter kamu pulang,” pintanya dengan nada lembut.
“Anter?” Ara tertawa miris. “Berarti cuma niat anter, terus pergi lagi? Begitu? Buat apa aku ada di rumah kalau kamu nggak ada di sana.”
“Oke. Malam ini aku akan menginap di rumah.”
“Enggak ikhlas banget kayaknya.”
“Mau kamu apa, sih?” ujar Arash mulai kesal. “Aku selalu aja serba salah di mata kamu. Padahal, aku selalu memaklumi. Memaafkan segala kesalahan yang kamu bikin.”
“Kamu inget awal keributan di rumah tangga kita karena apa?”
Arash terdiam, tampak sedang berpikir.
“Sejak kedatangan mantan pacar kamu itu. Sadar nggak kalau sejak itu kamu jadi lebih cuek lagi sama aku? Bahkan, setahun belakangan ini jarang pulang ke rumah?”
“Mulai lagi. Aku udah bilang kalau sibuk dan pulang ke apartemen yang lebih dekat dari kantor. Kenapa kamu nggak ngerti juga? Tolong… jangan bawa-bawa Syafa di sini, dia nggak ada kaitannya dengan tuduhan kamu yang enggak berdasar itu.”
“Oh, ya? Lagi asik dinner dan waktu weekend, dia sering hubungin kamu. Apa itu normal? Apa kerjanya 24 jam selama 7 hari? Apa dia tahu kalau kamu juga butuh waktu sama istri kamu?”
“Udahlah! Debat sama kamu nggak bakalan ada habisnya. Aku terus yang dipojokin, disalahin. Sementara kamu semena-mena, ngelakuin hal nggak jelas di luar sana!”
“Itu semua karena kamu! Tekanan dari keluarga kamu juga.” Ara menatap kedua mata lelaki itu lekat. “Kamu bahkan memyetujui untuk menikah lagi demi mendapatkan keturunan, tanpa berbicara sama aku terlebih dahulu?”
Arash tampak terkejut.
“Mama bilang sama kamu? Ra, aku bisa jelasin… “
Ara menggelengkan kepala.
“Aku enggak mau dimadu. Lebih baik bercerai dari pada ngeliat suami menikah lagi.”
***
Leo mendapatkan kabar dari asistennya jika Ara belum memberikan jawaban atas tawarannya untuk menjadi brand ambassador. Leo tak ada menghubungi perempuan itu lagi setelah terakhir kali Ara bilang jika kakinya sudah membaik dan setelahnya tak lagi membaca DM dari Leo. Mungkin DM perempuan itu menumpuk dan dia terlalu malas untuk membukanya. Leo tertawa miris, lagian dia tidak sepenting itu bagi seorang Ara yang baru saja merasa kenal dengannya. Akan tetapi, Leo tak menyerah begitu saja.
Setelah beberapa kali sharing cerita dengan adik sepupunya yang tumbuh bersama dari kecil, Vania, Leo bersemangat lagi untuk mengejar cinta pertamanya itu.
Leo yang saat ini berada di apartemennya, merebahkan diri di kasur tanpa berganti kemeja kerjanya terlebih dahulu. Leo menoleh ke arah samping dan mendapati layar ponselnya berbunyi pertanda ada notifikasi pesan masuk. Ada pesan dari personal assistant-nya. PA-nya itu menyebutkan jika manajer Ara baru saja memberi kabar bahwa sang artis ingin bertemu langsung dengannya. Leo langsung mengiyakan ajakan pertemuan itu.
Sementara, di rumahnya Ara menangis di kamar setelah baru saja ribut dengan Arash dan lelaki itu pergi dari rumah.
Ara malam ini akhirnya pulang ke rumah bersama Arash. Tiba di kamar, di saat Ara merapihkan setelah kerja Arash saat suaminya itu mandi, Ara mendapati sebuah kontrasepsi di kantong celana sang suami. Tangan Ara bergetar memegang benda tersebut. Lalu, pandangan matanya tertuju pada ponsel sang suami yang terletak di atas nakas.
Jantung Ara berpacu dengan cepat saat meraih benda pipih tersebut. Dia berhasil membuka ponsel yang terkunci tersebut setelah kali ketiga memasukkan sandi. Ternyata, Arash memakai sandi tanggal pernikahan mereka. Ara sempat senang mengetahui hal itu. Hanya sesaat, sebelum dia memeriksa satu-persatu chat yang masuk. Tak ada chat yang aneh. Namun, Ara mengernyit karena mendapati tak satu pun pesan dari Syafa. Bukankah itu aneh karena mereka seharusnya sering komunikasi sebagai atasan dan sekretaris?
Tangan Ara terus bergulir scroll layar ponsel sang suami. Tak ada nama aneh semisalkan Arash menyimpan nama Syafa dengan nama lain. Hingga Ara mengetik nama Syafa di kolom chat dan keluarlah chat dengan perempuan itu. Ara terkekeh ketika menggeser layar ke arah samping, di mana ternyata Arash menyembunyikan chat dengan perempuan itu, di archive.
Ara membuka pesan itu dengan tangan gemetaran.
Aku udah mau sampe rumah mama
Kemungkinan bakalan ada Ara di sini
Jangan chat lagi, oke?
Tangan Ara terus bergulir membaca pesan yang membuat d**a sesak seketika. Banyak chat mesra di sana, ditambah dengan kenyataan menyakitkan jika banyak foto seksi—tak senonoh yang Syafa kirim untuk Arash.
Kenyataan paling menyakitkan yang Ara baca di sana, ternyata suaminya selingkuh dengan Syafa telah sampai berhubungan badan. Arash sempat-sempatnya liburan bersama Syafa saat dirinya menghilang.
Ngapain juga beli lingerie?
Percuma, Sayang…
Toh nanti kamu nggak bakalan pakai apa pun saat di ranjang
Lalu, di sana Syafa menyebut Arash m***m.
Habis di dalam kamu itu enak banget
Duh, aku jadi pengen lagi kan
Tadi kurang puas mainnya
Ara sungguh mual membaca chat menjijikkan itu. Sedangkanya kepadanya, Arash tak pernah mengirmkan chat mesra dan m***m seperti itu. Padahal, dia adalah kekasih halal suaminya itu.
“Kamu ngapain?”
Ara terkejut ketika Arash tiba-tiba keluar dari kamar mandi. Lelaki itu berjalan cepat ke arahnya dan menyambar ponsel di tangannya.
“Ka-mu… selingkuh, Mas?”
Arash tak mengakui hal itu. Dia hanya berkata jika Syafa sering bercanda dan dia pun hanya iseng menanggapi candaan itu. Hanya sebatas itu saja. Namun, Ara bukan lah perempuan bodoh yang percaya begitu saja. Mereka kembali ribut hingga Arash pergi dari rumah malam itu.
Bercanda sampai mengirimkan foto segala? Siapa yang akan percaya?
“Ini nih yang bikin aku malas berada di rumah. Kamu selalu menuduh suami kamu yang enggak-enggak. Nggak mau percaya sama suami sendiri. Udahlah! Mendingan aku nginep di apartemen aja. Nyesal aku pulang ke rumah hari ini.”
”Aku mau pisah dari kamu!” teriak Ara histeris.
Arash sempat menghentikan langkahnya sejenak, kemudian berlalu pergi mengabaikan ucapan Ara.
“Ya, Ben?” jawab Ara sembari menyeka air matanya begitu menjawab panggilan telepon masuk dari Beni.
“Lo nangis? Kenapa?”
“Entar gue cerita.” Ara tersenyum miris. “Ada apa telepon?”
“Gue udah hubungin orangnya e-commerce Orani itu. Katanya oke, Pak Leo setuju untuk ketemu sama lo. Mau kapan lo bisanya?”
“Atur aja, Ben.”
Ara ingin mempertanyakan beberapa hal secara langsung kepada CEO PT Orani tersebut, sebelum mengiyakan tawaran yang diberikan padanya.