bc

NeverLast Christmas

book_age16+
214
FOLLOW
1K
READ
billionaire
love-triangle
family
goodgirl
independent
self-improved
CEO
drama
city
secrets
like
intro-logo
Blurb

Musim Natal merupakan momen yang penuh keajaiban bagi Emily Heywood. Ada begitu banyak harapan, kebahagiaan, kasih sayang, dan semua yang selalu di mimpikannya. Namun semuanya berubah seratus delapan puluh derajat saat Emily mengalami kecelakaan tepat pada malam Natal hingga menewaskan seseorang yang berarti dalam hidupnya. Emily yang terlalu takut menghadapi kenyataan kemudian memilih pergi ke Amerika sekaligus melanjutkan studinya.

Disisi lain, bilyuner muda dan sombong Aram Langford dapat dikatakan nyaris tidak mempercayai hal lain pada musim natal selain musim libur dan pengumpul pundi-pundi uang yang dimilikinya. Hingga ia bertemu Emily -setelah wanita itu kembali pulang ke London-, saat itulah Aram mulai percaya jika natal lebih dari apapun yang pernah ia pikirkan.

Tidak berhenti disana. Setelah pertemuan diantara keduanya, mereka mulai dihadapkan banyak hal. Emily dihadapkan oleh masa lalu yang mulai menghantuinya kembali. Sementara Aram mulai dihadapkan pilihan yang berat dimana ia harus memilih antara egois demi kebahagiaannya atau mengalah demi kebahagiaan disekitarnya. Lalu, apakah mereka berhasil bertahan melewati musim natal?

chap-preview
Free preview
Prolog : Nightmare Before Christmas
7.45 pm The Cotswolds United Kingdom "Emily, hadiah apa yang kau inginkan untuk natal besok?", Emily Heywood tersenyum simpul mendengar pertanyaan itu. Ia menatap keluar jendela. Melihat lampu hias disepanjang jalan Cotswolds Airport menuju Fossebridge, Cheltenham yang begitu sepi. "Tidak ada, pa.", jawabnya tanpa berpikir. "Tidak ada?", Eaton begitu terkejut mendengar jawaban putriny mengingat tidak biasanya gadis itu menolak tawarannya, terutama pada musim natal. Emily menoleh manatap Eaton. Lalu mengangkat bahunya sambil sedikit menggelengkan kepalanya. "Semua yang kuinginkan sudah terkabul.", jawabnya ambigu. "Memangnya apa yang kau inginkan?", tanya Eaton penasaran. Ia melirik Emily sebelum kembali memfokuskan pandangannya ke jalanan yang dihujani salju. "It's you, dad. You're my present this year.", "Me?", Eaton tidak bisa menahan senyum diwajahnya. "Really? Why?", Emily mengangguk kecil dan tersenyum lebar. "Tahun ini kau bekerja begitu keras sehingga kita jarang sekali berkumpul. Aku jadi ketakutan jika tahun ini kita tidak bisa merayakan natal bersama-sama. Dan, tidak ada hadiah yang lebih indah dibandingkan merayakan natal bersama keluarga, bukan?", Eaton terkekeh pelan sambil sebelah tangannya mengusap kepala putrinya. "Tidak perlu khawatir. Sesibuk apapun, daddy akan selalu pulang untuk merayakan natal bersama. Kau, Nate, mom, dan Steven...", Emily tertawa mendengar nama paling akhir yang disebutkan Eaton. "Sayangnya tahun ini dia tidak bisa ikut. Keluarganya membawanya pergi ke Aspen.", "Hmmm begitu rupanya...", gumam Eaton masih terdengar oleh Emily. Detik berikutnya ia bertanya. "Bagaimana hubungan kalian?", "Tumben sekali, daddy bertanya?", Eaton mengangkat sudut bibirnya. "Apa tidak boleh?", ia balik bertanya. "Hubungan kami baik-baik saja.", jawab Emily mantap. Eaton mengangguk samar. "Kalau sampai dia menyakitimu. Selalu ingat jika daddy dan Nate selalu ada di belakangmu.", "Dan apa? Kalian akan memukulinya?", tanya Emily sambil tertawa renyah. Ia tahu jika itu hanyalah lelucon. Kemungkinan besar jika kekasihnya sampai menyakitinya, Emily yakin seratus persen yang dilakukan Eaton adalah menjauhkan pria itu. "Mungkin...", Eaton ikut tertawa. "Atau daddy akan mencekiknya.", "Ah berbicara soal mencekik...", Emily menggantungkan kalimatnya. Ia mencondongkan tubuhnya kebelakang dan mengulurkan tangan untuk mengambil sebuah kantungan kertas berwarna merah dengan tali pita berwarna senada. Dibagian depan kantungan itu ada gambar bertema natal yang sangat khas digunakan sejak awal Desember. Ia membukanya, mengambil kain yang terlipat sangat rapi. "Daddy mungkin bisa menggunkan syal ini untuk mencekik Steven.". Eaton menerima syal itu dan menatapnya bergantian dengan Emily. "Kapan kau membelinya?", "Sebelum aku menjemput daddy di pelabuhan Dover. Aku mampir di toko souvenir.". jelasnya. "Aku juga membeli untukku, Nate, dan Mom. Jadi saat tahun baru nanti. KIta akan memakai syal yang sama.", Eaton menyesali kenapa ia juga tidak memikirkan hal yang sama seperti putrinya. Memberi hadiah secara spontan lebih menyenangkan ketimbang harus bertanya. "Rasanya tidak adil jika kau hanya meminta kepulangan daddy sebagai hadiahnya.", ia meletakkan syal itu dipangkuannya. "Sebenarnya hadiah ini masih dalam proses karena daddy ingin memberikannya ketika ulang tahunmu di bulan Mei nanti. Tapi sepertinya malam ini adalah malam yang lebih tepat.", "Apa?", Eaton membuka sun visor diatas kepalanya, mengambil sebuah kunci yang terselip di bagian tengah karton. "Ini...", ia memberikan kunci itu pada Emily. "Kunci?", "Kau ingat ruko tiga lantai dulunya toko kain milik Sir Myers yang ada di sebrang london eye?" Emily mengangguk cepat. "Ya aku ingat.", "Kau ingin memiliki patiserimu sendiri bukan?", Eaton tersenyum lebar. Sementara Emily, manik mata biru semburat putih bagaikan kristal es yang indah itu melebar. Ia benar-benar tidak menduga hadiah yang dipersiapkan Eaton untuknya. "No way!", serunya tidak percaya. "Daddy membeli ruko itu?", "Karena ini masih malam natal, so... Happy Christmas Eve.", Tanpa berpikir panjang. Emily melompat kedalam pelukan Eaton karena terlalu antusias sehingga pria itu sedikit kesulitan melihat jalan. "Woah slow down...", sampai-sampai mobil yang mereka tumpangi sedikit keluar dari jalurnya dan eruntung tidak ada kendaraan lain sehingga mereka masih selamat. Dengan cepat Emily kembali ke posisinya sambil meringis pelan. "Im so sorry. Im just- im very happy, daddy. Thank you so much.", balasnya dipenuhi rasa bersalah sekaligus senang yang bercampur menjadi satu. "Sama-sama, sayang.". Eaton tersenyum puas karena dirinya berhasil membuat keluarganya bahagia. Baginya, melihat kebahagiaan Emily, Nathaniel -putranya-, dan juga istrinya merupakan hal yang paling diinginkannya di muka bumi ini. Tidak ada hal yang lain. Sesaat ia memalingkan wajahnya untuk menatap putrinya yang tampak sibuk mengaitkan kunci itu pada rantai kalung yang melingkar di lehernya. "Emily...", "Ya?", "Karena kau memakai kunci itu sebagai kalungmu. Bisakah kau membantu daddy memasang syal ini sekarang?", Emily mengangguk cepat sebelum mengambil syal yang berada di pangkuan Eaton. Ia menatanya sejenak dengan rapi dan melebarkan kain itu. Kemudian dengan cekatan tangannya melingkarkan syal tersebut hingga menutupi seluruh bagian leher Eaton. "Sudah.", katanya. "How do i look?", Eaton bertanya sembari menatap Emily. Ia tersenyum. "It looks so go- Watch out!", Teriakan Emily membuat Eaton mengembalikan pandangannya ke jalan. Secepat kilat sebuah cahaya menyorot kedalam mata bersamaan dengan klakson yang memekakan telinga. Dengan cepat ia membanting kemudinya untuk menghindari tabrakan dan menginjak rem sekuat yang ia bisa. Namun tanpa diduga, tindakannya itu membuat mobil sedan yang mereka tumpangi terbalik sebelum akhrinya menabrak tepian pembatas jembatan hingga hancur dan nyaris membuat mereka terjun ke dasar. Dalam kondisi diambang seperti itu, Eaton yang terlebih dahulu membuka matanya samar-samar melihat putrinya tidak sadarkan diri dengan darah yang keluar dari hidung melewati pipi hingga ke kening. Ia mencoba meraih putrinya, tapi tubuhnya tidak dapat digerakkan karena terjepit. "Emily...", suara Eaton sangat parau. "Wake up, baby.", tidak ada tanggapan membuat Eaton memaksakan diri untuk bergerak. Ia tidak peduli dengan rasa sakit yang luar biasa menusuk dimulai dari pinggang hingga kakinya. "Emily!", Erangan gadis itu seketika membuat Eaton menghela napasnya lega. "Daddy?", "Im here. Im here.", Eaton meraih tangan Emily dan menggengamnya erat. Ia menahan putrinya agar tidak banyak bergerak atau mobil ini akan jatuh. "Jangan banyak bergerak, kau mengerti?", Emily mulai menangis. "Are we gonna die?", Eaton menggeleng. "No, you're not gonna die. Believe me. You'll be fine.", jawabnya berusaha menenangkan. "Kepalaku sangat sakit.", ia terisak. "Apakah kau kesakitan juga, daddy?", "Tidak, aku tidak apa. Kau lihat? Aku baik-baik saja.", Eaton tidak mungkin mengatakan pada putrinya jika ia tidak baik-baik saja. Ia tidak ingin Emily tahu dan malah membuatnya semakin menangis. "Im really scared.", "Daddy juga. Tapi tenang saja, polisi akan datang menolong kita. Ingat- mobil ini memiliki sistism eCall yang otomatis menghubungi 112 ketika kecelakaan?", Emily mengangguk pelan sebelum mengatakan, "Maafkan aku... maaf... maafkan aku. Ini semua salahku.", "Hei, baby...", Eaton mengusap air mata Emily. "This is not your fault, okay?", Emily masih belum berhenti menangis. Namun Eaton tetap setia berusaha menghibur putrinya. Beberapa menit kemudian, suara sirine terdengar membuat Eaton menghela napas lega. "Kau dengar itu sayang? Polisi sudah dekat.", Semakin lama suara sirine itu semakin dekat. Diikuti dengan cahaya biru dan merah yang menyilaukan mata membuat Eaton berusaha tersenyum. "Mereka datang.", Sekitar empat orang polisi turun membantu Eaton dan Emily keluar dari dalam tanpa membuat mobil jatuh. Sedangkan dua orang perawat yang baru datang dengan ambulan menyiapkan seluruh peralatan medis yang dibutuhkan. Ketika mereka sedang berusaha, tanpa sengaja Eaton mendengar jika polisi yang sedang membantu Emily cukup kesulitan karena jalur pintu keluar yang penyok akibat benturan. "Kalian bantu putriku dulu.", "Tapi, sir-", "Putriku dulu!", tanpa sadar Eaton membentak polisi itu agar menuruti perkataannya. Segera polisi itu mengikuti perminaatn Eaton. Mereka berempat berusaha menarik pintu agar terbuka dan memotong sabuk pengaman yang dikenakan Emily. Ketika Emily hendak ditarik keluar, ia menggeleng kuat. "Tidak, kita akan keluar bersama.", ia mencengkram erat tangan Eaton dan tidak ingin melepasnya. "Kau ingat kata daddy tadi? You'll be fine.", perlahan Eaton melepaskan tangan Emily dengan berat hati. Melihat putrinya ingin mereka keluar bersama sepertinya tidaklah mungkin mengingat keadaan. "Sampai jumpa...", Emily langsung ditarik keluar oleh polisi dan digendong menuju ambulan untuk diperiksa. Tanpa berhenti ia menangis- menatap kearah mobil dan jembatan yang tampak berantakan. Namun ketika ia hendak di baringkan diatas ranjang- pembatas jembatan yang tadinya masih menahan tiba-tiba amblas. Dalam sekejap mobil terjungkir dan jatuh. "NO!!!", Ia turun dari atas ranjang dan berlari tanpa mempedulikan rasa sakit yang menyerang sekujur tubuhnya. Ia memberontak, melawan orang-orang yang berusaha menghalangi jalannya sembari berteriak dan menangis histeris. Tidak banyak yang bisa dilakukan polisi. Dibawah jembatan yang cukup tinggi, hanya ada dasar dengan rel kereta api membuat Emily merasakan nyawanya seolah dicabut secara paksa dari raganya. Hingga ledakan terjadi. Tubuhnya langsung merosot ke tanah, terbaring lemah diatas jalanan dingin yang bersalju. Hanya awan jamur hasil ledakan mobil yang terakhir dilihatnya sebelum kesadarannya hilang. ...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The Prince Meet The Princess

read
182.0K
bc

HOT NIGHT

read
607.2K
bc

See Me!!

read
87.9K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.5K
bc

His Secret : LTP S3

read
651.3K
bc

OLIVIA

read
29.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook