Chapter 07

1113 Words
Happy reading... Typo koreksi... ____ Drrrtt drrttt. Getaran dari ponsel di atas nakas yang baru saja di nyalakan setelah selesai di charger menyentak lamunan seorang laki-laki tampan yang belum bisa memejamkan matanya di atas tempat tidur. Usai berbicara dengan sang adik beberapa jam lalu, ia memilih menikmati berbaring sambil menatap langit-langit kamar termenung seorang diri. Ia berusaha duduk dengan perlahan, lalu mengambil ponselnya, keningnya mengkerut saat mendapat banyak notifikasi telepon tidak terjawab dan pesan suara. Tangannya membuka salah satunya, dan mendengarkan isinya lalu detik berikutnya kedua bola matanya melotot setelah mendengar pesan suara tersebut. "Kak. Raka sakit." "Kakak tolong cepat telepon Cla. Raka nangis terus mencari kakak." "Kak badan Raka panas." Lelaki itu segera buru-buru mendial nomor tersebut dengan gerakan tergesa-gesa. Matanya melirik jam dinding di dalam kamar. Shit. Umpatnya. Sekarang sudah pukul 23.00 malam. Berarti sudah sekitar 2 jam lalu pesan ini masuk ke ponselnya. Astaga. Raka maafin Ayah Nak. Batinnya menyesal. Lelaki itu masih berusaha mendial nomor tersebut, sampai di percobaannya yang ke lima barulah sambungan terhubung dan diangkat di ujung sana. Suara serak seorang wanita menyambut indra pendengarannya membuat Arkan memaki dan merutuki dirinya sendiri. "Hallo." "Rissa." Panggilnya tercekat kaku. "Kak Arkan." Seru suara di ujung sana terdengar memekik tertahan.  Arkan mendesah pelan, "Rissa maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf. Aku baru terima pesan kamu. Bagaimana keadaan Raka. Apa Raka masih panas. Apa Raka sudah tidur. Apa Raka sudah berhenti menangis. Raka kenapa Rissa. Apa Ra-" "Kak Arkan. Tenang dulu. Jangan khawatir. Raka sekarang sudah tidur kak. Ya. Dia masih demam. Aku sudah kasih parasetamol untuk penurun panasnya kak. Kalau besok demamnya belum turun juga aku sama Mama mau bawa Raka ke dokter." Potongnya menjelaskan. "Kenapa Raka bisa demam Sa. Apa Raka tadi di sekolahnya ada jatuh. Atau dia terlalu banyak minum es. Atau dia--" "Kak Raka itu Rindu kakak." Hening beberapa detik. Mendapati lelaki itu terdiam, Clarissa kembali berucap. "Raka sakit karena kangen sama kakak. Dia kemarin juga terus nanyain kakak. Tapi aku nggak bisa bilang kalau kakak masih di rumah sakit. Makanya aku--." "Maafkan aku Rissa. Astaga bisa-bisanya aku buat anak aku sakit gara-gara aku. Ayah macam apa aku ini." Rutuknya marah. "KAKAK. JANGAN BICARA SEPERTI ITU." Clarissa menghembuskan napasnya panjang. "Kak Raka cuma kangen saja. Besok kalau kakak sudah mendingan aku akan ajak Raka ketemu kakak. Aku janji." "Rissa." "Ya." "Boleh aku kesana sekarang." Hah. ____ Clarissa hanya bisa menatap sosok di hadapannya dengan wajah cengo, ia mengerjapkan matanya beberapa kali tidak percaya. Pasalnya sosok di depannya kini, benar-benar melakukan apa yang di katakannya beberapa  waktu lalu. Kini seorang Arkan Pramudya Angkasa tengah berdiri menjulang dengan jaket kulit berwarna hitam, dan celana jeans berwarna senada. Memandang lurus kearahnya. "Kak Arkan." Beonya masih dalam keterpakuannya. "Rissa." Clarissa menepuk pipinya keras, untuk memastikan jika nyatanya sosok itu memang benar-benar Arkan ayah putranya. Arkan hanya menatap wanita itu lekat. Sedikit geli melihat ekspresi wanita dengan piyama panjang berwarna merah tersebut. "Astaga kakak ngapain kesini. Ya ampun kak Arkan. Ini sudah malam kak." Pekiknya melotot melirik langit gelap di balik punggung berbalut jaket itu. Arkan jadi salah tingkah di tempatnya. Pasalnya ia tadi asal bicara saja. Tapi setelah di pikir lagi, ia justru benar-benar melakukannya. Datang bertamu tengah malam ke rumah ini. Yang Arkan lakukan hanya bermodal nekat. Sebenarnya hal lainnya karena ia juga tidak benar-benar bisa tenang jika belum melihat kondisi  putranya sekarang. Karena itu disinilah dia berdiri berhadapan dengan wanita cantik ini. "Ya ampun." Keluhan itu kembali di dengarnya. Arkan diam tidak berkutik, jadi bingung sendiri ingin berkata apa. Diam-diam ia merutuki dirinya. Karena tidak sabaran untuk bertemu Raka putranya. Lelaki itu pun pergi ke rumah kontrakan Clarissa tanpa ijin keluarga. Josh dan Nayla tidak tahu jika ia pergi keluar rumah. Lelaki itu bahkan nekat datang dengan motor besarnya. Membuat Clarissa menggeram melihatnya. "Aku mau marah sama kakak loh sekarang. Astaga kakak bisa-bisanya benar-benar datang kesini. Huh.. sudahlah. Sudah terlanjur. Ayo sekarang kakak masuk dulu. Di luar udaranya dingin." Arkan meringis bersalah. Ia melangkah ragu masuk ke dalam rumah. "Ibu Tiara mana Sa." "Mama tidur di kamar sama Raka." "Rissa aku minta maaf. Kamu nggak benar-benar marah kan." Clarissa mendelik, lalu berdecak sebal. "Kakak mau aku marah lagi. Padahal tadi aku sudah lupa sama marahnya. Aisshh.. kan jadi ingat lagi. Sudahlah kakak duduk aja. Aku buatin minuman hangat." Arkan kembali meringis. Ia buru-buru mengatupkan bibirnya rapat, takut Clarissa kembali marah padanya. Lelaki itu duduk berlesehan di atas tikar bergambar mobil. Di lihatnya wanita itu berkutat di dapur. Entah sedang membuat apa. Pandangannya beralih pada bilik pintu yang terbuka sedikit yang Arkan kenal adalah satu-satunya kamar di rumah ini. "Diminum dulu kak." Arkan menoleh dan merunduk melirik secangkir s**u  hangat sudah tersedia di depannya. Ia mendongak kembali menatap wanita itu lekat. "Terima kasih Sa." Di balas deheman dan anggukan wanita itu. Hening setelahnya, baik Clarissa maupun Arkan memilih menikmati minuman hangat yang ada di hadapan mereka. "Aku boleh lihat Raka Sa. Sebentar saja. Setelah itu aku langsung pulang." "Kakak benar tidak apa-apa pulang naik motor. Nggak mau naik taksi aja." Tanyanya bernada khawatir. Arkan mengulas senyum tipis, ia menggeleng kepalanya cepat. Arkan menggeleng, "Tidak perlu Rissa. Aku masih bisa pulang naik motor." "Tapi kakak kan--." "Aku baik-baik saja Rissa. Aku sudah sehat. Kamu jangan khawatir." Keduanya bersitatap, Lagi lagi Clarissa merasa terperangkap setiap menatap manik mata hitam legam milik lelaki itu. Apalagi pandangan Arkan yang selalu menatap intens dirinya membuat Clarissa sering terjebak. "Ayah." Deg. Clarissa dan Arkan menoleh kaget, di ambang pintu putranya berdiri sambil bersandar pada dinding dengan wajah sayu dan pucat pasi. Keduanya bergegas bangun dari duduknya, menghampiri tubuh Raka yang tiba-tiba oleng. "RAKA." Grep. Arkan berhasil menangkap tubuh putranya sebelum jatuh, mata putranya kembali tertutup rapat. Suhu tubuhnya  sangat panas membuat keduanya panik. Clarissa memanggil nama putra mereka berkali-kali. "Raka. Bangun Nak." "Raka." "Raka sayang bangun Nak." Arkan semakin cemas, ketika Clarissa tidak kunjung berhenti memanggil putranya dengan histeris. "Rissa." Wanita itu tetap tidak merespon, ia terus saja memanggil Raka sesekali menepuk pelan pipi putranya yang ada di pelukan Arkan. "Raka bangun Nak. Jangan buat Bunda takut Nak." "Raka bangun sayang." "RISSA." Bentak Arkan refleks. Clarissa terkesiap kaget, matanya merah memanas ketika mendongak dan bersitatap dengan manik milik lelaki itu. Arkan tertegun sekilas. Tangannya terulur memegang  pergelangan wanita itu yang masih bertengger di pipi Raka pelan. "Rissa jangan panik. Kamu tenang dulu. Kita bawa Raka. Ya. Aku cari taksi di luar. Kamu tunggu sebentar. Jagain Raka. Ya. Bisa." Clarissa mengangguk patuh, menerima Raka dan memeluknya putra kesayangannya itu erat. Bulir air matanya jatuh membasahi kedua pipi mulusnya, ia mendekap Raka semakin erat. Sepeninggal Arkan, Clarissa hanya mampu menangis tanpa suara dengan perasaan bersalah yang membuncah. Maafin Bunda Nak. Bangun Nak. Lirihnya. ____ Tbc>>> YA AMPUN RAKA...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD