Tiga

1073 Words
Karena sudah di wangsit untuk Leora tidak memasak maupun menyiapkan apapun yang bersangkutan dengan Raja. Ingat seberapa keras kepalanya Leora? Semua itu tidak berlaku. Di hari pertama kehidupan rumah tangganya. Pagi-pagi sekali setelah selesai mengurus dirinya sendiri, Leora memasak. Bersahabat dengan dapur bukan hal sulit baginya. Hidup jauh dan mandiri dari kedua orangtuanya membuat Leora paham seluk beluk setiap kesibukan. Ada telur, alpokat dan roti yang bisa Leora olah menjadi Avocado egg toast. Ini menu mudah untuk mengganjal perutnya sebelum beraktivitas. Leora memotong alpokat menjadi empat bagian dan menaruh di atas roti seusai mengolesinya dengan margarin. Menyalakan kompor dan teplon untuk memanaskan. Sembari menunggu, secangkir kopi hitam pekat yang telah di raciknya ia legut. Merasai pahitnya menelusuri kerongkongannya sebelum sebuah heels mengusik rungunya. Perempuan berambut merah panjang sepinggang, bergaun ungu menyala tersenyum mengejek. Leora abai. Masakannya usai. Lantas memindahkannya ke atas piring. Sekali lagi Leora perhatikan. Sepertinya salah. Seharusnya ia patuh dengan keotoriteran Raja yang mengatakan ‘jangan membuat sarapan atau apapun.’ Hati Leora lemah karena justru membuat empat porsi sekaligus. “Gimana rasanya nikah di atas kertas?” Yang hendak Leora buang rotinya menjadi urung ia lakukan. Netra beningnya beradu dengan si rambut merah. Ia susuri perlahan wajah perempuan itu dengan teliti. Lalu turun ke lehernya yang jenjang. Ada jejak merah di sana. Belahan dadanya yang terlihat juga menampilkan jejak kepemilikan. Leora simpulkan itu perbuatan Raja. Terus turun, Leora dapati bercak ungu di pergelangan tangan perempuan itu. Hingga cepat-cepat di sembunyikan karena merasa di perhatikan. Bibir Leora tersungging mengejek. Pertanyaan serupa pernyataan yang di lemparkan perempuan tersebut bagai tak pernah Leora dengar. “Dia oke di ranjang.” Pergerakan tangan Leora kaku namun masih bisa di kendalikan. “Menyesal kalau sampai kamu nggak mencicipi.” Hanya wanita panggilan. Maafkan pikiran Leora yang terlampau kejam menilai. Perempuan itu terus mengoceh. Yang juga Leora acuhkan. Ia nikmati sarapan paginya, meneguk kopinya hingga tandas. “Kamu mau?” Leora sodorkan sepiring roti yang baru. “Aku biasa sarapan dalam jumlah banyak.” Yang detik itu juga Leora bangkit. Mencuci tangannya dan bertanya, “Oh ya, bagaimana rasanya suami di atas kertasku? Sepertinya benar. Dia oke—tidak—ganas lebih tepatnya. Kamu yakin nggak butuh dokter?” *** Di mata Raja, Leora sangatlah suci. Sedang Raja terlalu gelap untuk—atau sudah—untuk menyentuh perempuan periang itu. Tangan-tangannya amatlah kotor. Hatinya kelam. Sampai ketika Raja hanya melihat adegan di depannya, sudut hatinya nyeri. “Selupa itukah dia?” “Secepat itukah untuk menutup bekas luka?” “Atau terapinya memang manjur?” Melihat salah satu p*****r yang dirinya panggil semalam untuk melayani, Raja tak bergeming di tempatnya—sampai eksistensinya menghilang—barulah Raja berjalan memasuki area dapur. Ada beberapa lembar roti di atas meja. Taruhan, itu sengaja Leora siapkan. Dan entah mengapa, hal itu membuatnya mendengus alih-alih sakit hatinya. Semili senyumnya terbit. Tangannya mengambil satu roti dan berjalan keluar. Agenda paginya padat. Selain rapat yang di gelar, hari ini banyak investor yang menentukan janji bersamanya. Perusahaan papinya tidak tanggung-tanggung dalam melebarkan sayapnya. Ia pikir, hanya sekedar kantor pemasaran dan percetakan yang merekrut beberapa penulis Indonesia. Sayangnya, hal mengejutkan membuat dirinya gigit jari setelah bergabung di bawah naungannya. “Gila lu ya?!” cecaran dari vocal yang frustasi melantun bersama kakinya yang menapaki lantai lobby kantornya. “Jelas-jelas malam pertama harus berkesan dan lu beneran bikin gue lebih dari berkesan. Sinting!” Namanya Arca Rambu. Satu tahun lebih muda dari Raja. Putra om Krisna—sahabat papinya. “Jangan buat gue jantungan, please. Ini nggak sekali dua kali lu naruh bekas ‘pakai’ lu di bangsal rumah sakit gue.” Ah ya, dia seorang dokter sekaligus pemilik rumah sakit swasta yang ada di daerahnya. Sombongnya, seluruh keluarganya berteman baik dengan para petinggi—pemilik saham apapun yang ada di Indonesia—namun kehidupan sederhana telah tertanam dengan apik sejak kecil. “Berapa totalnya?” “b*****t!” Rambu mengumpat di pagi harinya yang buruk. “Rajungan sinting! Mikroba pintu neraka bakal nangis berdarah-darah dengan jawaban lu!” Yang Raja kerutkan dahinya. Rambu kenapa sih? Ngomong aja nggak jelas. Sedang jauh di benak Rambu, bukan jumlah nominal uang yang dirinya mau. Tapi—sedikitnya harapan—keinginan untuk Raja berubah. Dan Rambu pikir, dengan menikah sudah menjadi sebuah alasan untuk seorang Raja berhenti. Bertaubat dari dunia gelapnya. Membuka lembaran baru. Memulai segalanya dari awal. “Jadi?” “Apa?” Setelah hening yang cukup lama, Rambu coba tenangkan otaknya yang mendidih dan sialannya Raja tetaplah Raja. Lelaki tampan sejagat yang tidak pernah mau mengakui seberapa besar kesalahannya. “Kalau Leora cuma lu jadiin tameng, lepasin tolong. Gue siap nampung.” Omongan Rambu sering kali tidak terfilter. Mulutnya persis tong kosong yang memicu keadaan sekitar. Bahkan terlihat jelas satu tangan Raja yang mengepal kuat. “Dia nggak sekuat itu buat nahan sakitnya. Gue hampir gila buat nyembuhin dia.” Rambu terus melanjutkan. Iringan langkahnya sejajar dengan milik Raja. Sampai ruangan terbesar di lantai teratas milik Raja terlihat, belum ada tanda-tanda untuk mulutnya menanggapi ucapan Rambu. “Cuacanya cerah.” Pungkas Raja menghentikan langkah secara mendadak. Ia pandangi sang surya yang menembus kaca-kaca besar bangunannya. Matanya terpejam. “Hari ini padat. Jalang baru bisa lu kirim ke apartemen gue. Thanks sebelumnya.” Entah bagaimana dengan nasib Rambu yang mengumpat sepanjang hari ini. Antara berkah dan kiamat mempunyai teman sebangsat Raja. Tapi Rambu sayang. Gimana dong? *** Jika tadi rajungan sinting yang Rambu umpatkan, kini demi kerang ajaib sedang dirinya serapahkan. Raja itu … jika tidak bisa berlaku kasar, minimal jangan membuat kegaduhan di rumah sakit yang menjadi langganan para p*****r berakhir di sana. Kelihatannya saja di rambut merah itu baik-baik saja. Pagi hari begitu menyapa istri seorang Raja yang berkutat dengan dapur wajahnya sombong maksimal. Dagunya terangkat ketika berbicara. Sinar wajahnya terpancar cerah seolah service yang dirinya berikan sungguh memuaskan. Sayangnya, bukan dirinya yang menjalankan tugasnya justru dirinya yang di buat babak belur. Pangkal pahanya nyeri tiada tanding. Kepalanya pening seakan ingin terlepas dari tempatnya. Kedua tangannya yang semalam terikat lebam. Cocok sekali dengan label korban penganiayaan. Ingatkah kalian dengan kekuasaan yang di miliki mampu mengalahkan segalanya? Polisi takkan bisa mengusut kasus ini jika harus di selidiki. Karena Raja bukan hanya seorang CEO muda di perusahaan mentereng. Namun juga pemilik bar, diskotek, p*******n yang ada di Jakarta. Jadi, sudah sepatutnya si rambut merah menuruti titah sang tuan. “Kalau begini caranya, eksistensi jalang bakal berkurang. Pemasukan menurun.” Rambu mengomel. “Gue mesti cari jalang baru.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD