Allura : 8. "Om serius?"

2035 Words
"Om, mampir makan dulu ya. Lura lapar." Elang melirik Allura sekilas. Hanya untuk memastikan jika Allura benar-benar berbicara padanya. Perempuan itu sedang mengotak-atik ponselnya. Entah untuk apa. Hanya sesekali bergumam, "wih enak, tapi mahal banget." Atau "dih, masa weekend gini nggak ada promo sih." "Kamu serius?" Allura mengangguk. Mengalihkan tatapannya dari layar ponsel ke Elang yang masih fokus menyetir. "Kenapa emang?" "Ya nggak apa-apa. Tapi bukannya kamu sudah makan di acara tadi?" Allura mendesis sebal. Lalu kenapa kalau ia sudah makan di resepsi teman Elang? Tidak boleh makan lagi, begitu? "Terus?" Elang kembali menatap perempuan di sampingnya. Nada suaranya mulai tidak enak didengar. Dan benar saja, wajahnya sudah menampilkan ekspresi mengerikan. Tatapannya tajam. "Nggak usah khawatir kali. Lura bayar sendiri sekalian traktir Om." Menghela napas panjang. Baru beberapa kali bertemu saja, Elang sudah hapal sifat Allura yang seperti ini. Mudah tersinggung. Allura akan langsung marah-marah kalau Elang salah bicara atau salah bersikap. Tentu saja ini hal menyebalkan. Perempuan kalau sudah marah akan sangat merepotkan. Lalu ini, Allura, perempuan yang memiliki sifat mudah tersinggung. Belum lagi usianya yang masih sangat muda dibandingkan dengannya. Tentu akan menjadi sangat-sangat menyebalkan. "Bukan itu maksud saya. Sudahlah, saya sedang menyetir dan nggak berniat berantem." Allura yang sebelumnya bersandar nyaman di kepala kursi, mulai menegakkan punggungnya. Tatapannya kian tajam. "Dih, emang Lura lagi ngajak berantem? Nggak kali. Situ aja yang kepedean." Elang hanya menggeleng. Tidak mau menanggapi kalimat Allura. Karena akan lebih panjang urusannya. Ingat Elang, yang berada di sebelahmu adalah anak kecil dengan emosi labil. Jangan terbawa alurnya. "Om pasti mau meledek 'kan karena porsi makan Lura yang banyak, nggak kayak cewek-cewek lain? Padahal tadi udah makan di tempat Kak Raya, tapi malah minta makan lagi. Terus situ nggak terima karena Lura nggak sesuai tipe Om? Gih sana pergi, cari cewek lain yang porsi makannya dikit dan nggak nyebelin kayak Lura. Dikira Lura senang banget kali dijodohin sama situ." Menghela napas panjang, dengan wajah memerah. Allura masih belum puas menyampaikan kalimat panjangnya. "Cari sampai dapat sana! Nggak akan ada yang mau sama Om, kecuali tante-tante seusia Om Elang. Tadi Kak Argan juga udah bilang 'kan, Om Elang seharusnya berterima kasih sama Lura. Karena Lura ini satu-satunya yang mau menerima Om Elang yang udah sepuh dan nyebelin. Lura ini penyelamat di hidup Om. Kalau Lura nggak ada, Om bisa jadi perjaka tua, nggak laku!" "Sudah?" tanya Elang setelah Allura diam agak lama. "Belum! Enak aja, main potong kalimat Lura!" Elang mengangguk. Mempersilahkan Allura untuk kembali menyampaikan unek-uneknya. Supaya puas sekalian. "Om seharusnya banyak bersyukur karena Lura baik hati. Kalau nggak udah kabur sejak seminggu yang lalu. Om nggak usah kepedean ya. Merasa situ penting banget. Dikasih yang cantik, muda begini, situ mau ngelunjak. Mau jelek-jelekin Lura, mau komentarin Lura yang makan banyak." Astaga! Coba sebut, di sebelah mana Elang menjelek-jelekkan Allura? Di sebelah mana ia mengomentari Allura yang makan banyak sampai membandingkan dengan perempuan lain? Elang hanya menanyakan, "kamu serius?" Sekadar memastikan jika Allura memang mengajaknya makan, lagi. Bukan berniat menjelek-jelekkan seperti yang Allura sampaikan tadi. "Sekarang sudah?" Allura mengangguk tanpa menatap Elang. Kedua tangannya terlipat di depan d**a. Wajahnya masih tidak menyenangkan, tatapannya masih sama tajam. "Mau makan di mana?" "Preksu aja, Om, itu depannya lapangan bola UNY." Elang menuruti itu. Tidak mau membuat Allura kembali berceloteh panjang. "Lura mau makan ayam geprek keju mozzarella, jamur goreng, terong goreng, cah kangkung, sama s**u cokelat. Om yang bayar!" Lihat, tadi siapa yang marah-marah dan mengatakan akan membayar pesanannya sendiri, lengkap dengan mentraktir Elang? Tapi karena Elang tidak mau mencari gara-gara, ia memilih mengangguk patuh. Lebih baik begini. Asal Allura diam dan senang dengan makanannya. Daripada mendapati Allura yang merengut kesal juga mulutnya yang enggan diam. Keduanya memasuki tempat makan yang digemari banyak mahasiswa. Karena rasanya yang enak juga harga terjangkau. Elang menarik Allura untuk memesan sebelum memilih meja. "Cabai berapa, Ra?" tanyanya begitu laki-laki yang mencatat pesanan menanyakan jumlah cabai untuk digeprek bersama ayam. "Setengah," jawab Allura santai. Tentu saja membuat Elang dan laki-laki di hadapannya tercengang. "Satu, ya? Yang setengah mau buat apa?" ucap Elang. Bagaimana bisa perempuan berusia dua puluh tahun, bermulut pedas, dan super menyebalkan seperti Allura memiliki selera pedas yang sangat rendah? "Dih, Lura minta setengah juga. Om mau tanggung jawab kalau Lura sakit perut?" "Cabai satu nggak bikin sakit perut, Ra." "Bodo! Pokoknya mau setengah." Elang menghela napas, untuk kesekian kalinya. Entahlah, ia benar-benar harus memiliki kesabaran yang luar biasa saat bersama Allura. "Mas, yang setengah untuk geprek satunya saja, jadi tujuh setengah." Setelah selesai dengan pesanan, keduanya mengambil duduk lesehan. Karena meja-meja lain sudah terisi. Mungkin karena bertepatan dengan waktu makan siang, membuat tempat ini ramai. Allura masih setia memasang wajah masam. Sejak tadi hanya bermain ponsel, tanpa menghiraukan Elang di hadapannya. "Mau sampai kapan kamu terus begini?" Allura beralih tatap. Melirik Elang dengan mata tajamnya. Elang sampai menghela lelah mendapati tatapan itu. "Om belum minta maaf." Astaga! Coba sebutkan, di sebelah mana kesalahan Elang? Elang mengangguk. Memang harus banyak mengalah jika tidak ingin ada keributan. Akan sangat memalukan jika mulut cerewet Allura kembali berkicau tidak jelas. Keduanya berada di tempat umum. Bukan tempat yang baik untuk melampiaskan emosi. "Baik. Saya minta maaf." "Salah emang?" "Ya, saya salah." "Kenapa?" Nah itu yang Elang tidak paham. Keduanya hanya diam selama perjalanan pulang. Lalu, Allura meminta mampir makan dan Elang memberi respon. Tiba-tiba saja Allura marah-marah tidak jelas. Jadi kalau dilihat dari pandangan Allura, kesalahan ada pada respon Elang. "Saya salah karena kurang memahami kamu. Mungkin kalimat saya membuat kamu tersinggung. Maaf untuk itu." Wajah Allura yang muram berubah seketika. Senyumannya mengembang indah, sampai sepasang matanya menyipit. Cantik, ya nampak sangat cantik. Elang sampai tercengang untuk beberapa saat. Memiliki hubungan dengan anak kecil membuatnya harus memutar otak. Memastikan agar mood Allura baik. Marahnya sangat menyebalkan, namun begitu ia mengalah dan menyampaikan satu kata maaf, Allura akan langsung berubah sumringah. Setelahnya Allura kembali seperti sebelumnya. Selama makan bersama pun, Allura banyak berceloteh. Untuk hal-hal yang tidak begitu penting, menurut Elang. Allura bercerita mengenai makanan-makanan yang tertata rapi di meja keduanya. Makanan kesukaan Allura semua. Elang hanya menanggapinya dengan anggukan. Bukan karena tidak menghargai. Tapi Allura yang berbicara cepat, membuatnya tidak memiliki waktu untuk memberi respon. Dan nampaknya, Allura tidak keberatan untuk hal itu. Bagi Allura, cukup dengan keberadaan sosok manusia di hadapannya untuk mendengarkan kalimat panjangnya. "Loh, Adeo," ucap Allura saat mendapati Adeo dan Dhia yang baru saja turun dari motor. Sepertinya baru akan makan siang. "Lo di sini juga, Ra?" tanya Adeo menatap Allura seraya memasang senyuman lebar. "Cantik banget kesayangan gue. Udah kondangannya?" tanyanya seraya mengacak rambut Allura. Membuatnya berantakan. Allura yang tidak terima memberi pukulan sebal di tangan Adeo. Membuat si lelaki tertawa renyah. "Lo berdua baru balik?" Keduanya mengangguk. "Tenggorokan gue kering banget teriak-teriak buat nyemangatin dia," ucap Dhia. Melirik Adeo sebal. Sementara Adeo hanya cengengesan saja. "Tapi nggak nyesel dong, 'kan gue menang." "Lo menang, De?" tanya Allura antusias. Adeo mengangguk bangga. "Aaa selamat," heboh Allura. Refleks memeluk dua sahabatnya. Menyisakan Elang menjadi satu-satunya manusia yang tidak paham dengan pembicaraan ketiganya. "Jadi kita dapat traktiran nih, Dhi?" "Yoi dong. Bocah satu ini 'kan udah janji sama kita." "Santai, santai. Apa sih yang nggak buat lo berdua?" ucap Adeo. Merangkul dua sahabatnya. Disambut tawa sumringah dari dua perempuan itu. Sementara Elang, sejak tadi hanya diam dengan tatapan tajam. Memperhatikan interaksi ketiganya yang terlihat akrab. Karena merasa diabaikan, Elang berdehem sekali dengan suara keras. Bermaksud menyadarkan ketiganya jika ada satu manusia tersisa di antara mereka. "Eh maaf, Om," ujar Allura cengengesan. "Guys, kenalin ini Om Elang, calon suami gue," ucap Allura. Adeo dan Dhia menatap lelaki berkemeja batik yang sejak tadi berdiri di sebelah Allura. Menelisik penampilan Elang dari atas kepala sampai ujung kaki. Setelahnya, Adeo mendekatkan diri, berbisik pelan tepat di telinga Allura. "Ra, kondangan bareng bapak?" Allura refleks melotot dan memukul bahu Adeo. Dhia hanya bisa diam sembari menahan tawa. Karena apa yang Adeo katakan sesuai dengan isi pikirannya. Penampilan Allura dan Elang terlampau kontras. Allura yang muda nan cantik dan Elang yang lebih dewasa dengan gayanya yang sedikit aneh. Belum lagi kacamata bulat yang melekat. Sebagai tambahan untuk penilaian seperti, Elang adalah manusia yang tidak mengikuti perkembangan zaman. "Om kenalin, Adeo," ucap Adeo seraya mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Dhia melakukan hal yang sama. "Mereka berdua ini sahabat Lura, Om. Adeo ini yang rumahnya di sebelah rumah Mama, adiknya Kak Meo. Sahabat Allura sejak delapan belas tahun yang lalu," jelas Allura yang diangguki oleh Adeo. Lelaki itu juga memasang senyuman yang nampak menyebalkan di mata Elang. "Nah, kalau Dhia ini sahabat kami di SMP. Satu-satunya manusia yang bisa tahan temenan sama kami berdua dalam waktu yang lama," lanjutnya. Elang mengangguk saja. Pantas terlihat sangat akrab, ketiganya sudah bersahabat lama. "Guys, gue duluan ya. Udah siang, mau nemenin Om Elang cari hotel." Adeo langsung memasang senyuman menyebalkan. "Wah, Ra. Belum sah ngapain cari hotel?" "Astaga, De. Sialan otak lo," umpat Dhia seraya memukul lengan Adeo. "Tahu dih teman lo, Dhi. Udah ya, gue duluan," pamit Allura. Menarik lengan Elang untuk menuju mobilnya. Tidak baik membiarkan Adeo dan Elang berbicara terlalu banyak. Allura hanya mengantisipasi, jika saja Adeo tidak bisa menjaga mulutnya dan ceplas-ceplos tidak jelas. Allura dan Elang kembali ke kos Allura untuk berganti baju dan mengambil tas Elang. Baru setelahnya akan mencari hotel untuk Elang menginap satu malam ini. Karena besok sore, Elang sudah harus pulang. Supaya Senin bisa berangkat bekerja seperti biasanya. "Kamu kelihatan akrab sama laki-laki tadi," ucap Elang begitu keduanya sudah duduk bersisian di sofa kamar Allura. Allura yang sedang memakan camilan langsung menoleh ke samping. Menatap sisi wajah Elang yang datar. "Maksudnya, Om? Ya jelas akrab dong, 'kan kami temenan lama." Elang mengangguk-angguk. "Kamu juga nggak keberatan dipeluk, dirangkul begitu." Kening Allura berkerut. Tidak mengerti arah pembicaraan Elang. Ya, memang ia tidak keberatan. Allura dan Adeo sudah bersahabat sejak kecil. Keduanya tumbuh bersama. Dan menurut Allura tidak ada yang salah dengan rangkulan atau pelukan dengan sahabat. "Dia laki-laki dan kamu perempuan. Memang wajar hal seperti itu dilakukan dengan status sahabat?" "Kok Om aneh?" Elang menghela napas panjang. Menatap Allura malas. "Kamu yang aneh karena membiarkan laki-laki yang bukan suami kamu asal memeluk begitu." "Ya ampun, Om. Cuma peluk 'kan, nggak sampai ciuman," ceplos Allura yang membuat Elang menatapnya tajam. Allura cengengesan ditatap seperti itu. Sepertinya ia salah bicara. Sudah tahu Elang adalah manusia langka yang masih bertahan di era modern ini. Tentu saja memeluk lawan jenis dianggap sebagai kesalahan. Bukan hal yang lumrah. Walaupun menurut Allura tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Allura dan Adeo adalah sahabat. Tanpa ada cinta yang tumbuh pada salah satunya. Allura bisa menjamin itu karena sudah terbukti selama delapan belas tahun ini. Allura berdehem. "Om, mau cari hotel jam berapa? Nggak keburu sore nih?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Allura tidak mau memperburuk keadaan. Saat-saat seperti ini, ia dan Elang mulai berbicara, mendekatkan diri untuk kemajuan hubungan keduanya, adalah momen langka. Dan Allura tidak mau merusaknya. Walaupun memang belum ada cinta di antara keduanya. Tapi Allura rasa bukan masalah besar selama hubungan keduanya tidak canggung. "Nggak jadi cari hotel." Jawaban singkat, padat, dan menimbulkan kerutan yang kian dalam di kening Allura. "Om mau langsung pulang?" Elang menggeleng. "Saya menginap di sini." "Ha, gimana? Maksudnya gimana, Om?" "Saya akan menginap di sini, di kos kamu." "Om mau tidur di sini? Sama Lura?" tanya Allura. Masih terkejut dengan kalimat Elang. Lelaki itu mengangguk singkat. Mulai beranjak dari duduknya. "Ta-tapi, Om, kita 'kan belum sah. Ya kali mau tidur di kamar yang sama," protes Allura. Mencoba menyembunyikan kegugupannya yang entah datang sejak kapan. "Lagi pula, nggak boleh bawa laki-laki ke kamar, tahuu," lanjutnya. Mengingat satu tata tertib di kosnya. Laki-laki hanya boleh masuk sampai ruang tamu di lantai satu. Atau jika sangat mendesak bisa sampai depan kamar. Elang bisa masuk ke kamarnya pun karena Allura sudah meminta izin dan menambahkan embel-embel Mama sudah tahu mengenai hal ini. Maka dari itu, ibu kos bisa memberinya izin. Tapi untuk menginap, sudah jelas tidak akan mendapat izin. Yang benar saja! "Itu akan jadi urusan saya," ucap Elang seraya memutar kenop pintu. "Tapi, Om ....," ucap Allura, menghentikan langkah Elang yang akan menuju lantai satu. Menemui ibu kos untuk meminta izin. "Kenapa?" "Om serius?" Anggukan yakin. "Kalau Adeo bisa seenaknya memeluk kamu, saya yang calon suamimu bisa melakukan hal lebih, 'kan?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD