"Lura, lama banget sih," teriak Adeo dari pintu depan kamar kosnya. Disusul suara ketukan yang tidak kalah ribut dari suaranya.
"Iya, sebentar."
Sabtu yang menyebalkan telah tiba. Mau tidak mau Allura harus memenuhi janjinya untuk pulang. Bersama Adeo yang sudah sejak tadi menunggu, lengkap dengan mulutnya yang tak henti menggerutu. Allura saja heran, sahabatnya itu sebenarnya laki-laki atau perempuan?
Setelah menghabiskan hampir satu semester tanpa pulang kampung, akhirnya Allura akan kembali merasakan atmosfer yang membuat emosinya selalu mendidih, bernama rumah. Pun lantaran permintaan Mama untuk perjodohan bodoh itu.
"Astaga, Lura. Lo mau pindahan apa gimana sih?" teriak Adeo saat mendapati Allura yang muncul dari kamarnya. Membawa dua koper besar berisi pakaian.
"Lo pindahin semua isi kamar lo ke sini?" tanyanya lagi. Tentu saja Adeo tidak mengerti dengan kelakuan Allura yang selalu aneh. Keduanya hanya akan berada di rumah selama dua hari, Sabtu dan Minggu. Senin pagi sudah harus kembali karena ada perkuliahan siang.
"Udah lo diam aja sih, nggak usah rusuh. Bawain ke bawah tuh."
Adeo memang kesal tapi tidak menolak permintaan Allura. Membawa dua koper besar itu ke bawah. Menuju mobil yang sudah menunggu keduanya dengan sabar. Ya, karena ada pemberian bintang untuk menilai pengemudi. Jika saja tidak, mungkin si pengemudi sudah kabur sejak tadi.
"Senin pagi nanti gue nggak mau balik ke sini bareng lo kalau bawaan lo sebanyak itu," ucap Adeo seraya memasang sabuk pengaman.
"Sesuai aplikasi ya, Mas?"
"Iya, Pak."
Allura tidak menanggapi. Langsung memasang earphone. Mengabaikan Adeo yang hanya bisa menghela napas lelah.
Memang Allura tidak tahu diri. Sudah ditunggu lama, seenaknya menyuruh ini dan itu, lalu akhirnya mengabaikan keberadaan Adeo. Jika saja Adeo tidak menyayangi sahabatnya ini, sudah sejak awal ia tinggalkan. Memang siapa lagi yang mau berteman dengan perempuan super menyebalkan yang suka seenaknya ini? Dasar nenek lampir!
"Lo satu-satunya manusia yang nggak senang kalau pulang," komentar Adeo. Arah pandangannya masih menyapu jalanan. Menikmati lalu lintas di kota gudeg yang tidak terlalu padat. Suasana khas kota maju yang tidak melupakan kebudayaan. Membuat siapa saja yang mendatanginya akan dibuat jatuh cinta.
"Lo tahu sendiri gue punya masalah di rumah."
Adeo beralih tatap. Allura mengenakan earphone tapi bisa merespon kalimatnya.
"Lo dengar?"
"Gue bukan lo yang keseringan pakai earphone dengan volume full. Yang b***k lo, De, bukan gue."
Sialan memang Allura. Tahu begini Adeo tidak akan mengajaknya berbicara. Ya, walaupun apa yang Allura katakan adalah sebuah kebenaran. Adeo yang selalu memiliki dunia sendiri jika telinganya sudah tersumpal earphone. Tidak pernah menyangka jika penggunaan suara keras akan membuat telinganya mengalami penurunan pendengaran lebih cepat.
"Lo kalau punya masalah baik dikit sama orang, Lura. Seenggaknya gue punya sedikit belas kasih. Dan mau dengerin curhatan lo."
Allura melirik dengan tatapan tajamnya. Versi tatapan Allura paling menyebalkan dibanding yang lain. Wajah Allura memang polos dan menggemaskan. Seperti anak kecil yang tidak berdosa.
Tapi berbeda jauh dengan omongan dan sikapnya yang minim sopan santun. Yang istimewa dari sosok Allura adalah ia selalu memiliki kompasnya sendiri. Allura memang nakal, tapi tidak pernah sampai melebihi batas. Allura tetap tahu batasan. Seperti memiliki remnya sendiri.
"Sorry to say ya, Adeo, gue sama sekali nggak berminat untuk dikasihani."
Baik. Nampaknya suasana hati Allura sedang hancur. Membuat semua kalimat yang keluar dari mulut Adeo adalah kesalahan. Jika sudah seperti ini, Adeo akan memilih diam. Membiarkan Allura dengan pemikirannya sendiri. Memberi waktu untuk meredam emosinya.
Satu jam sepuluh menit. Mampu mengubah suasana yang tenang nan anggun dengan kebudayaan menjadi panasnya ibukota. Terik mentari yang bersinar, menyengat, membuat kulit terasa panas. Belum lagi udara yang tercemar lantaran polusi di mana-mana.
Allura hanya berdiri diam. Menatap jalanan yang mulai ramai. Beberapa calon penumpang yang baru tiba di bandara, dan beberapa lainnya baru saja turun, sedang menunggu jemputan.
Adeo masih berdiri di sebelahnya. Mengotak-atik ponselnya untuk memesan taksi. Memang sudah terbiasa seperti ini. Keduanya jarang meminta jemput jika pulang. Jauh berbeda saat akan berangkat. Bunda Adeo akan turut serta mengantar sampai bandara dan membawakan beragam oleh-oleh. Lengkap dengan nasihat panjang lebar yang membuat telinga Adeo merah.
Bunda memang terlihat berlebihan. Namun ada di sana letak kasih sayangnya. Adeo adalah anak bungsu di rumah. Hanya memiliki Romeo sebagai satu-satunya saudara kandung. Romeo juga sudah menikah dan tinggal bersama istrinya. Membuat suasana rumah lebih sepi dari yang seharusnya.
Wajar kalau Bunda merasa sangat kehilangan saat Adeo akan kembali berangkat ke kota perantauan. Dan ya, dengan penuh kesadaran, Allura mengakui kalau ia iri dengan hubungan Adeo dan bundanya.
Ia juga ingin memiliki seorang ibu seperti Bunda. Penuh perhatian dan kasih sayang. Bukan malah ibu yang sibuk dengan pekerjaan. Juga kondisi rumah tangga yang hancur berantakan.
Allura menghela napas kasar begitu mobil yang ia tumpangi berhenti di depan gerbang menjulang. Rumah tiga lantai dengan warna monokrom. Memberi kesan elegan, namun suram. Itu yang Allura rasakan setiap kali melihat rumah keluarga.
Ada banyak cerita yang tergores di setiap sudutnya. Masih terkenang rapi dalam memori. Kebersamaan, suara tawa, suara perbincangan, menikmati hari libur dengan keributan khas adik-kakak, mengisi ruang keluarga sembari bercerita, sampai menikmati dinginnya Sabtu sore dengan teh manis hangat yang Mama siapkan.
Ayah menyematkan kolam kecil di taman samping ruang tamu. Kegemarannya memelihara ikan juga gemercik air menambah suasana menyenangkan dalam rumah ini. Sampai saat ini, semua yang menjadi saksi masa-masa indah itu masih ada. Mama tidak mengubah satu pun. Membiarkannya seperti dulu, saat kondisi keluarga masih baik-baik saja.
Justru membuat Allura terjebak dalam kehidupan di masa lalu yang saat ini hanyalah kenangan semata. Allura tidak mau berharap terlalu banyak untuk keutuhan keluarga Mama. Karena keputusan Mama dan Ayah sudah sampai pada batas final. Tidak akan ada yang kembali. Semua itu hanya kenangan. Yang perlahan menggoreskan luka, kian dalam, di hati si putri bungsu.
"Pak Tatang, bisa minta tolong?" teriak Adeo. Memanggil supir keluarga Allura yang belum menyadari kehadiran keduanya.
"Loh, Non Lura, Mas Adeo." Pak Tatang langsung berlari mendekat. Membukakan gerbang dan membantu Adeo mengangkat dua koper milik Allura. Sedikit keheranan karena hanya Allura yang membawa koper besar. Dua buah pula. Sedangkan Adeo hanya membawa tas punggung berukuran sedang. Tanpa tambahan lain.
"Perlu saya bantuin sampai dalam, Pak?" tanya Adeo setelah memberi beberapa lembar uang untuk pengemudi taksi.
"Oh nggak usah, Mas. Bapak saja. Mari Non, Mas, Bapak masuk duluan," pamit Pak Tatang yang diangguki oleh keduanya.
"Gue langsung balik aja. Bunda udah nanyain sejak tadi dan gue nggak mau terima risiko dengerin omelan."
Allura mengangguk paham. "Thanks, De."
"Minggu pagi datang aja. Ikut sarapan. Lo kangen masakan Bunda, 'kan?"
Allura kembali mengangguk. Lagi pula Allura pasti akan bosan menghabiskan hari Minggu bersama Mama.
Adeo berbalik. Berjalan menuju rumah tepat di samping rumah Allura. Ya, keduanya bertetangga dekat. Wajar jika Allura dan Adeo sudah sedekat itu. Sudah memahami satu sama lain. Dan yang jelas, tidak ada istilah sahabat jadi cinta di antara keduanya.
Keduanya bahkan sudah menumpas kalimat, tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan, karena salah satunya akan dikalahkan oleh perasaan. Pada kenyataannya, keduanya benar-benar menjalin yang namanya persahabatan sejak 18 tahun lalu.
Allura menyadari Adeo adalah teman yang setia. Selalu menemaninya, bukan hanya saat senangnya juga saat sedihnya. Allura juga menyadari Adeo memiliki wajah yang tampan. Tidak kalah dari Romeo yang dilabeli sebagai cinta pertama Allura. Nampak mempesona, apalagi kalau sedang berdiam diri dengan sebuah buku dan telinga disumpal earphone. Adeo juga sempat dijadikan idola para perempuan semasa sekolah menengah atas. Tapi anehnya, Allura tidak pernah memiliki rasa mendalam bernama cinta.
Mungkin karena Allura sudah tahu bagaimana sosok Adeo. Bermulut cerewet, menyebalkan, dan narsis akut. Belum lagi kebiasaan bermain games sampai larut, juga telinganya yang sering disumpal earphone membuat Adeo sering mengabaikan saat Allura bercerita panjang lebar. Satu poin minus dari diri Adeo. Yang tentu saja tidak akan membuat Allura menyukai sahabatnya itu. Jika saja Adeo diam dan cool seperti Romeo mungkin Allura akan berpikir dua kali untuk menyia-nyiakan Adeo yang selalu ada di sampingnya.
Lalu untuk Adeo, sudah jelas, bukan? Bahkan lelaki itu selalu mengatakan, "dih amit-amit, Ra. Gue juga nggak mau kali sama lo. Masih banyak perempuan waras di luar sana."
"Non Lura, mau langsung makan atau istirahat dulu?" tanya Mbak Sati. Asisten rumah tangga yang selalu mengisi kekosongan rumah ini.
"Istirahat dulu aja, Mbak. Aku belum lapar."
Mbak Sati mengangguk paham.
"Oh ya, Mbak. Bawain jus sama camilan ke kamar, ya."
"Baik, Non."
Allura langsung beranjak dari sana. Menuju kamarnya untuk beristirahat. Memang tidak begitu lelah. Karena perjalanan menggunakan pesawat tentu tidak membutuhkan waktu yang lama. Berbeda lagi jika menggunakan kereta yang akan menghabiskan berjam-jam lamanya.
Allura hanya tidak memiliki pilihan lain, selain memendam diri di kamar. Memang apa yang perlu Allura lakukan di rumah besar nan dingin ini? Tidak ada lagi Ayah yang akan bercerita panjang lebar di gazebo depan, tidak ada Mama yang akan membawakan teh hangat juga camilan, tidak ada dua kakaknya yang akan menemaninya bermain.
Inilah kenapa Allura selalu memiliki alasan untuk tidak pulang. Ia membenci suasana tidak menyenangkan ini. Ia membenci kesepian yang kian hari kian terasa, memenuhi hati, menggerogoti sisa perasaan bahagia yang tersimpan indah. Yang Allura harapkan akan selalu tersimpan rapi dalam sanubari.
Walau tidak mungkin terulang, walau ia tidak bisa memutar balik waktu, setidaknya ia memiliki kenangan indah dari masa lalu. Kebanggaan yang akan ia ceritakan pada anak-anaknya nanti, saat usianya sudah dewasa. Jika keluarga impian, yang diharapkan semua orang, pernah ia miliki utuh.
Helaan napas panjang. Allura meraih sebuah dress berwarna hitam yang menggantung di depan lemarinya. Ada heels dengan warna senada. Juga peralatan make up yang sudah tertata rapi di meja riasnya.
"Mbak, ini apa ya?" tanyanya begitu Mbak Sati hadir. Membawa nampan berisi jus melon dan beberapa camilan. Sesuai keinginan Allura.
"Oh, itu tadi Ibu yang siapin untuk Non Lura. Untuk acara nanti malam, Non."
Allura mengangguk. Membiarkan Mbak Sati undur diri. Tatapannya masih menyapu tiga benda itu. Air matanya menetes perlahan.
Bolehkah Allura merasa senang karena setelah sekian lama, Mama kembali meluangkan sedikit waktu untuknya? Walaupun pada kenyataan yang ada, Mama menyiapkan ini untuk kelancaran acara nanti malam. Agar Allura tidak mempermalukan Mama di hadapan calon besannya.
Miris. Hidup Allura memang semenyedihkan ini.
***