Selamat membaca
Setelah selesai makan-makan di restoran. Sebenarnya Agung dan Sekar sudah berencana untuk pergi jalan-jalan dan belanja ke pusat perbelanjaan bersama dengan Lisa dan Megan. Tapi karena saat itu raut wajah Megan terlihat pucat dan sayu. Jadi akhirnya Agung mengantar Megan pulang ke rumah lebih dulu untuk beristirahat.
"Makasih Om, Tante. Maaf, Megan nggak bisa ikut ke mall," tuturnya merasa tidak enak setelah mobil Agung tiba di depan gerbang rumah.
"Nggak apa-apa, nanti kalau kamu ikut belanja sama Mamanya Lisa ini, kamu malah pingsan diajak muter-muter terus," gurau Agung sambil melirik Sekar yang berada di sebelahnya.
Sekar memutar bola matanya malas.
"Anggap aja angin lewat ya, Meg," tukas Sekar tidak menggubris ucapan Agung yang terang-terangan menyindirnya jika ia bisa menghabiskan waktu seharian penuh hanya untuk jalan-jalan di mall.
Megan hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan Agung dan Sekar.
Lisa mendesah pelan.
"Padahal gue masih mau jalan-jalan sama lo, Gan," ungkapnya dengan raut wajah murung.
"Yaelah, kapan-kapan deh kita jalan berdua aja," pungkas Megan mencoba menghibur Lisa.
"Itu harus pokoknya," balas Lisa dengan wajah serius sambil mempertajam tatapannya kearah Megan agar tidak mengingkari janji.
Megan terkekeh. Kemudian setelah pamit, ia keluar dari mobil dan melambaikan tangan ketika mobil Agung akan melaju pergi meninggalkan halaman depan rumahnya. Kemudian setelah mobil Agung pergi, Megan baru membuka pintu gerbang dan berjalan menuju pintu utama.
Saat pintu utama sudah terbuka, Megan langsung disambut dengan tatapan tajam dari Prawira yang sedang duduk di sofa ruang tamu sambil menyilangkan kakinya dengan tablet di tangan.
"Dari mana aja kamu?" Tanya Prawira dengan nada mengintimidasi ketika melihat Megan melangkah masuk ke dalam rumah begitu saja dengan raut wajah yang sama sekali tidak merasa bersalah.
"Pak Karno bilang, kamu nggak ada di sekolah waktu dia mau jemput kamu," tambah Prawira dingin.
Bukannya menjawab pertanyaan Prawira, Megan justru tetap berjalan dan melewati ayahnya seakan ia tidak menganggap jika ayahnya berada di situ. Dan sikapnya yang acuh seperti itu berhasil membuat Prawira naik pitam.
"Megan!" panggil Prawira dengan nada membentak.
"Papa bicara sama kamu!"
Karena Megan sama sekali tidak menggubrisnya, akhirnya Prawira berdiri dan melangkah cepat menghampiri Megan, lalu menahan tangan putrinya agar berhenti.
"Begini sikap kamu kepada orang tua?! Hah!" bentak Prawira dengan nada tinggi.
Megan menghempaskan tangan Prawira kasar.
"Bukannya aku yang harusnya nanya itu sama, Papa?!" teriak Megan dengan nada yang tidak kalah tinggi dari Prawira.
Prawira tertegun. Ia tersentak kaget ketika melihat Megan berteriak di depan wajahnya. Pasalnya sebelumnya Megan tidak pernah bicara dengan nada tinggi seperti ini dengan siapapun. Ia tau betul sifat putrinya, Megan bukanlah sosok orang yang meledak-ledak seperti ini. Dia termasuk tipe orang yang tenang dalam segala kondisi dan pintar mengendalikan perasaannya.
Tapi kenapa sekarang Megan terlihat begitu marah?
Apa mungkin karena ia tidak datang ke acara wisudanya?
Sebenarnya setelah menghadiri acara perpisahan di TK tempat Aruna sekolah, di tengah acara ia sudah berencana untuk pergi menuju sekolah Megan. Tapi karena Aruna tidak mau ditinggal dan tetap ingin bersamanya, akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk pergi menghadiri acara wisuda Megan.
Karena Megan bukanlah anak yang manja dan tidak pernah protes atau pun merengek ketika keinginannya tidak dituruti, jadi ia rasa tidak akan terjadi masalah jika ia tidak datang. Ditambah lagi Megan sudah berusia 18 tahun dan semakin dewasa, tentu saja dia pasti akan mengerti. Tapi ternyata Megan mempermasalahkan tentang hal itu.
"Kamu kan tau kalau Papa sibuk. Seharusnya kamu bisa lebih mengerti keadaan Papa saat itu."
Megan terperangah dan tidak habis pikir ketika mendengar ucapan ayahnya yang justru menyalahkan dirinya.
"Kenapa harus selalu anak yang dituntut untuk mengerti perasaaan orang tua?! Lalu bagaimana dengan perasaaan kami sebagai anak yang merasa terluka dan kecewa dengan sikap orang tua yang egois?!" tanya Megan dengan nada sinis.
"Jaga cara bicara kamu! Papa nggak pernah ngajarin kamu bicara sarkasme seperti itu dengan orang tua," tukas Prawira tegas.
"Loh? Kenapa? Papa aja sekarang malah sering bentak aku," balas Megan santai.
"Sekarang kamu berani ngejawab ucapan Papa?!"
"Aku nggak pernah bilang aku takut," sahut Megan ringan.
"Megan! Jangan kurang ajar kamu! Papa besarin kamu bukan untuk jadi anak yang pembangkang!" teriak Prawira dengan wajah merah padam.
"Papa nggak suka kalau ucapan Papa dibantah! Ini rumah Papa, dan kamu harus mematuhi semua aturan yang udah Papa buat di rumah ini! Karena Papa nggak menerima seorang pemberontak!" tukasnya tajam dan penuh penekanan.
Megan hanya diam membisu sambil menatap kedua bola mata Prawira lurus.
"Kenapa aku sama sekali nggak punya hak untuk bicara?"
"Selama kamu masih tinggal di rumah Papa, kamu nggak boleh melawan ucapan Papa."
"Meskipun aku benar dan Papa salah?"
"Orang tua nggak akan pernah salah."
Megan tersenyum sinis.
"Itulah orang tua ... egois. Dan selalu menganggap dirinya paling benar," tuturnya dengan raut wajah dingin tanpa ekspresi. Kemudian Megan pergi meninggalkan Prawira yang hanya diam membatu ketika mendengar ucapannya yang menohok dan menusuk tepat di jantungnya.
Megan menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Kemudian ia berjalan ke arah meja belajarnya dan mengambil sebuah bingkai foto, lalu membantingnya dengan kasar ke lantai. Seketika pecahan kaca itu bertebaran dimana-mana dan hanya menyisakan bingkai yang sudah rusak dan foto tiga orang yang tersenyum bahagia ke arah kamera tanpa kaca pelindung.
Tubuh Megan terjatuh lemas di lantai dengan tatapan terluka. Kemudian ia menutup wajah dengan kedua tangan sambil menangis tertahan.
Di saat Megan berusaha untuk menenangkan dirinya, tiba-tiba sekelebat bayangan melintas di benaknya. Bayangan ketika ia melihat ayahnya tertawa bahagia bersama dengan seorang wanita dan anak kecil itu.
"Arghhh!" teriak Megan parau sambil menjambak rambutnya frustasi.
Kemudian ia terus memukul-mukul dadanya keras untuk menahan rasa sakit di hatinya yang semakin menusuk
Sebenarnya ia sama sekali tidak mempermasalahkan tentang kehadiran Prawira di acara wisudanya. Hanya saja, ia tidak bisa menerima alasan di balik perubahan sikap ayahnya beberapa tahun terakhir ini. Sekeras apa pun ia berusaha untuk mengontrol perasaannya. Tetap saja, ia tidak bisa menahan amarah dan menepis kekecewaan yang ia rasakan ketika mengetahui pengkhianatan ayahnya.
Kenapa ayahnya bisa melakukan hal menjijikan dan merendahkan seperti itu?
Sebenarnya apa arti pernikahan baginya? Kenapa semudah itu m*****i janji suci yang sudah dia ucapkan saat menikahi ibunya? Seakan kesetiaan ibunya tidak berharga dan tidak berati apa-apa untuknya.
TBC.