Lebih ceria dari biasanya

1762 Words
"Apa yang kamu katakan," tanya Ina, mengerutkan keningnya sangat dalam, dia memicingkan salah satu matanya. Seketika kedua matanya terpejam bersamaan sambil menghela napasnya. "Aku tidak tanya nama kamu." kata Ina. "Ya, sudah! Kamu pergi saja ke rumah sakit. Aku aku pulang. Aku yang tadinya ketakutan. Memberanikan dirinya untuk tetap mengejar kamu. Memastikan jika kamu tidak kenapa-napa." kesal Ina. "Emm.. Tapi, setelah melihat kamu sepertinya tenang saja. Oke, aku pergi!" lanjut Ina. Belum selesai Ina berbicara. Alvaro sudah berjalan menyeberang jalan meninggalkan Ina. Ina menarik kedua alisnya ke atas. Dia terdiam sejenak. Menoleh ke kanan dan kiri bergantian. Seketika kedua matanya melebar. Raut wajahnya berubah kebingungan. "Astaga.. Aku terus mengejar dia. Sampai aku lupa. Aku tidak tahu arah pulang. Gimana caranya aku pulang?" Ina terlihat kebingungan. Dia meraba sakunya. "Sepertinya aku harus menghubungi Vian." kata Ina. Merasa tidak tenang meninggalkan laki-laki itu berjalan sendiri ke rumah sakit. Ina kembali membalikkan badannya menatap ke arah rumah sakit. Ina menghela napasnya kesal. "Hah.. Hah.. Kamu Benar-benar membuat aku khawatir." Gerutu Ina. Tanpa pikir panjang lagi. Ina segera menyeberang jalan, menuju ke rumah sakit. Dia mengikuti Alvaro dari kejauhan. Memastikan jika laki-laki benar baik-baik saja. Dia pikir semua adalah salahnya yang menyeberang jalan sembarangan. Hampir satu jam, Alvaro bersama dengan dokter di dalam. Lukanya sudah di balut dengan perban. Dia berjalan keluar. "Gimana keadaan kamu?" tanya Ina, yang langsung saja memberikan pertanyaan pada Alvaro. Seketika membuat alvaro terkejut. Dia yang semula melangkah keluar, melangkah ke belakang. Alvaro berdesir pelan. "Kenapa kamu mengejutkanku." kesal Alvaro. Ina mengerucutkan bibirnya. Dia memasang wajah imutnya seperti anak kecil yang dimanja. "Maaf, lagian aku mau memastikan saja kamu baik-baik saja." "Bukanya kamu tahu jika aku baik-baik saja?" gerutu Alvaro. "Enggak! Aku nggak tau. Lagian darah kamu terus keluar." Ina mengerucutkan bibirnya. Alvaro menghela napasnya kesal. Dia menggelengkan kepalanya pelan. Kepalanya terasa pusing harus menghadapi Ina yang bawel padanya. "Sudah pergilah! Aku baik-baik saja sekarang." Alvaro melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Ina. "Eh. Bentar!" Ina berlari mengikuti Alvaro. Alvaro tetap saja berjalan tanpa memperhatikan Ina yang ada di belakangnya. Ina terus berjalan pelan di belakang Alvaro. Dengan santainya. Ina memegang terlihat begitu santainya berjalan di belakang. "Sampai kapan kamu mengikutiku?" tanya Alvaro tanpa menoleh ke belakang. "Em.. Sampai kamu pulang." Jawab Ina. "Apa benar kamu tertarik denganku?" "Tertarik?" Ina menarik sudut bibirnya. "Emm.. Sepertinya aku hanya tertarik dengan luka kamu. Tidak tertarik denganmu." "Kemarin kamu menangis di pantai. Sekadang aku melihat kamu terlihat sangat bahagia. Apa kamu suka berada di kota ini?" tanya Alvaro. Dia menghentikan langkahnya. Untuk kedua kalinya, Ina berjalan menabrak punggung Alvaro. Laki-laki itu melirik tajam. "Bisa tidak jangan terlalu dekat!" kata Alvaro. "Tidak! Tenang saja." Ina mengusap keningnya. Dia melangkah mundur. Lalu mengangkat kepalanya. Kembali berdiri tepat di samping Alvaro. "Ya, sudah pulangkan!" pinta Alvaro. "Tak lama, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan Alvaro. Seorang laki-laki membuka pintu mobil itu. Dia berjalan keluar, membukakan pintu mobil untuk Alvaro. "Maaf tuan harus menunggu lama. Apa tuan baik-baik saja." kata seorang laki-laki yang membungkukkan sedikit badannya di depan Alvaro. Sepertinya dia sopir Alvaro. Dari lagat dan pakaiannya dia bekerja dengan Alvaro. "Iya, lupakan saja. Aku baik-baik saja. Sekarang apa adikku di rumah?" tanya Alvaro memastikan. Dia melangkah masuk ke dalam mobil itu. Alvaro melirik sekilas ke arah Ina. Merasa kasihan dengan wanita yang sedari tadi sengaja mengikutinya. "Masuklah!" pinta Alvaro. "Apa tuan kenal dengan wanita itu?" tanya sang sopir. "Iya." jawab Alvaro. Regina mengerjapkan kedua matanya. "Aku?" tanya Regina sembari menunjuk dirinya sendiri. Kedua mata itu tidak berhenti berkedip. Dia tidak percaya laki-laki itu menunjuk ke arahnya. "Iya.. Memangnya di sampingmu ada orang lagi selain kamu." geram Alvaro. Dia menatap kedepan. Tanpa melirik sama sekali ke arah Ina. Ina menelan ludahnya. Dia melangkah ragu, dia takut jika laki-laki itu membawanya pergi. Bukanya pulang ke rumah malah di rekap di rumahnya. pikirannya mulai kotor. Dia teringat tentang drama yang pernah di dia lihat. "Mau sampai kapan kamu berdiri. Kamu mau tidak?" tanya Alvaro. "Kamu tidak menculikku, kan?" tanya Ina dengan sangat polosnya. "Aku sama sekali tidak tertarik ingin menculikmu. Aku sedang berbaik hati mengantarkan kamu pulang. Tapi itu jika kamu mau. Jika kamu tidak mau. Tetaplah berdiri di situ." pungkas Alvaro. Dia memutar matanya. Melihat dengan wajah juteknya. "Tapi, Rumah aku dekat dari sini. Aku bisa pulang sendiri." kata Ina mencoba mencari alasan. Wajah wanita itu tampak gugup. "Yakin?" "Hmm... " Ina terdiam. "Ya, udah pak. Jalan saja." ucap Alvaro pada sang sopir yang sudah mulai masuk lagi ke dalam mobilnya. Ina mengangkat kepalanya. Dia menatap lurus kedepan. Melihat mobil yang perlahan sudah berjalan. "Eh.. Tunggu!" teriak Ina. "Tunggu! Aku ikut!" kata Ina terus berlari mencoba mengejar mobil itu. "Pak, berhenti sebentar. Biarkan dia masuk." Sopir Alvaro dia mulai menghentikan mobilnya. Ina yang masih mengatur napasnya Kembali. Dia menarik dua sudut bibirnya tipis. Dengan wajah yang sangat tenang. Ina berlari kembali menghampiri mobil itu. Tanpa basa-basi lagi. Ina membuka pintu mobilnya. Melangkah masuk ke dalam, duduk di jok belakang mobil tepat di samping Alvaro. "Rumahmu sebelum mana?" tanya Alvaro jutek. "Aku gak punya rumah!" jawab Ina. "Jalan pak!" pinta Alvaro pada sang sopir. "Aku serius, tempat tinggal kamu dimana. Atau, kamu mau pulang ke rumahku?" Alvaro menggerakkan kepalanya pelan. Tepar di samping Ina. Kedua mata mereka saling bertemu. Suasana dalam mobil itu tampak canggung. Ina menelan ludahnya susah payah. Dia berusaha untuk tetap tenang. Meski dalam hati dirinya merasa sangat gugup berhadapan dengan laki-laki itu lagi. "Dimana teman tinggal kamu sekarang?" kata Alvaro, memelankan nada suaranya. Ina mulai tersadar dari lamunannya. Dia terlihat mulai salah tingkah di buatnya. "Eh.. Itu, eh.." Ina menatap ke luar melihat jalan yang ada di luar. Wanita itu masih saja belum ingat jalan pulang ke rumahnya "Eh. Itu dia, ya jalan di depan itu belok kiri." ucap Ina sangat antusias. Dia mulai teringat perlahan jalan pulang menuju ke kontrakannya. Perlahan mobil mulai belok ke kanan. Menuruti apa yang Ina katakan. "Setelah ke kemana. Ada pertigaan belok ke kanan lagi. Rumah aku dekat dengan supermarket. Udah, aku berhenti disitu. Lagian mobil mana bisa masuk nanti." jelas Ina. Dia mulai mengingat kembali semuanya. Mungkin tadi dia terlalu bingung. Hingga lupa jalan pulang. Tepat sampai depan supermarket. Seorang wanita dan laki-laki berdiri di sana seperti orang kebingungan. "Vian, Dilla." Mereka menggangguku. Sejak kapan mereka disana. Astaga! Jika mereka tahu aku di antar Alvaro. Pasti mereka akan salah paham. Gerutu Ina dalam hatinya "Sudah sampai." kata Alvaro. Ina melebarkan matanya. Saat mendengar suara berat, serak milik Alvaro. Tanpa berani menatap ke belakang Ina hanya bisa mengerutkan wajahnya. Menahan rasa canggung yang mulai merasuki dirinya. "Em.. Baiklah makasih." Ucap Ina, tanpa menatap Alvaro. Dia membuka pintu mobil, melangkahkan kakinya turun dari mobil. Kedua temannya menatap Ina dari jauh. Mereka tersenyum tipis melihat Ina yang sudah tampak bahagia dengan orang baru. "Lihatlah Ina, dia diantar siapa?" tanya Vian. Dilla mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat mobil yang terlihat sangat familiar itu. "Aku juga tidak tahu, tapi sepertinya mobil itu tidak asing." kata Dilla. "Hai.. Semua.." sapa Ina, Dia tampak begitu ceria malam ini. Seketika membuat Dilla dan Vian kebingungan. Mereka berdua saling menatap, dengan bibir sedikit terbuka. "Dari mana saja kamu?" tanya Vian. "Kamu tau tidak aku khawatir saat bangun tidur tidak melihat kamu di rumah. Sampai aku telfon Vian untuk bantu cari kamu." saut Dilla, memotong pembicaraan Vian dan Ina. Ina mengulurkan senyuman sumringah di wajahnya. "Hehe.. Maaf! Tadi aku hampir saja mati tertabrak. Terus aku ngejar laki-laki tadi. Karena aku merasa bersalah padanya. Lagian laki-aki tadi aneh. Sudah luka banyak darah. Dia meninggalkan mobilnya di ujung jalan sana." Ina menunjuk ke ujung jalan. Vian dan Dilla menatap lurus ke arah yang ditunjukkan oleh Ina. "Setelah dia hampir membran aku. Dia pergi ke rumah sakit sendiri. Aku menunggu dia Sampai dokter bilang jika dia tidak apa-apa, jadi aku merasa sedikit lega." kata Ina. Menjelaskan semuanya dengan detail. Dilla dan Vian mulai merasa aneh. Ina sudah mulai ceria kembali seperti biasanya. "Sudah, kita cerita di rumah saja." pinta Dilla. Mereka segera pulang lebih dulu. Sebelum melanjutkan ceritanya. Ina bahkan lebih sering tersenyum. Tidak seperti Ina yang tadi pagi masih sering melamun. ** Jarum jam menunjukan pukul 11 malam. Ina masih saja bercerita bersama dengan Dilla dan Vian. Sementara di lain sisi. Rian dan Alvaro saling berbicara di dalam ruang kerja Alvaro. Rian sengaja ingin menemui kakaknya. Karena memang Alvaro sudah memanggilnya dari tadi siang. Dan, dirinya baru saja datang. Saat mengetahui kabar kakaknya kecelakaan. Mereka mulai saling menatap serius. Alvaro duduk di kursi kerjanya. Sementara Rian duduk di depan. Jemari tangan Alvaro terus memainkan bikin dalam tanggapannya sedari tadi. "Kamu gak sakit?" tanya Rian. "Sudah biasa. Jangan pedulikan ini. Sekarang aku tanya tentang pekerjaan kamu." ucap Alvaro. Dia menyentuh lukanya, sembari tersenyum tipis. Lagian dia merasa tidak terlalu sakit. "Tanya apa?" jawab Rian. Alvaro mulai duduk tegap, meletakkan bolpoin hitam itu di atas meja. Alvaro menarik kursinya sedikit maju kedepan. Kedua tangan saling mencengkeram. Membentuk kepalan. Dia sengaja meletakkan di atas meja. Alvaro mulai memasang wajah seriusnya. "Biakan tugas kamu. Apa kamu bisa menghandle semuanya?" tanya Alvaro pada Rian. Rian tersenyum tipis. Dia bangkit dari duduknya. Dan, berjalan mendekati kakaknya "Tenang saja, kak. Aku pasti bisa melakukan semuanya. Apalagi menghadiri perusahaan besar. Aku yakin bisa." kata Rian penuh percaya diri. "Aku serahkan semua dibawa kuasa kamu. Hangat jangan salah gunakan kepercayaanku. Lakukan dengan baik. Jangan sampai aku marah padamu. Hanya karena satu hal Aku tidak suka dengan peraturan kamu yang super ketat. Kasihan para pegawai jika kamu main pecat. Kamu akan kehilangan pegawai yang berkualitas. Kamu mencari orang baru. Belum tentu bisa seperti pegawai lama. Kecuali jika pegawai lama itu korupsi yang perusahaan. Kamu boleh memecatnya. Tetapi, jika hanya karena masalah sepele pikirkan lagi. "Apa yang kamu katakan?" tanya Rian. "Aku hanya melakukan kedisiplinan. Jika hanya sebuah aturan tidak ada tindakan tidak ada yang takut. Dan, akan mengulanginya lagi dan lagi. Jika seperti ini Mereka pasti akan takut. Dan, jera melakukan tindak kesalahan. Dan, mereka juga jauh lebih teliti lagi dalam bekerja. Agar tidak ada kesalahan yang juga merugikan perusahaan ini. Sekarang siapa yang merugikan perusahaan dapat konsekuensinya dari ku. Aku masih aman memberikan tiga kesempatan. Tapi, jika tiga kesempatan itu sudah dilanggar. anak.e jalan keluar satu-satunya. Orang yang bertentangan keluar dari perusahaan ini." jelas Rian. Dia duduk di ujung meja. "Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" tanya Alvaro. "Karena aku punya pikiran dan prinsip yang berbeda dari kakak. Aku tidak mau sama dengan kakak. Perusahaan ini dan halim group juga tidak mudah di untuk dikelola. Kamu harus lebih hati-hati." "Baiklah! Aku tahu itu. Aku akan lebih hati-hati." "Apa kamu tadi sudah dapat pegawai baru?" tanya Alvaro. "Iya, dia cantik!" ucap Rian. "Siapa dia?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD