Menolak ajakan makan bersama

1017 Words
“Ina, kamu ke ruangan saya sekarang.” Pinta Rian, yang rela jalan sendiri untuk menemui Ina daripada harus menelponnya. Rian menyapa sekilas Regina yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Kedua matanya terlihat fokus pada layar komputer di depannya. Regina mengangkat kepalanya. dengan wajah tampak kebingungan. Dia memutar matanya Melirik sekelilingnya. Tidak ada yang berani menatap ke arahnya. “Aku?” Tanya Ina bingung, dia mengerutkan wajahnya, sembari tangan menunjuk dirinya sendiri. Kedua mata itu mengerjap berkali-kali “Iya, kamu siapa lagi kalau bukan kamu.” Kesal Rian, meski sering sekali dia terlihat baik di luar. Tetapi di kantor dia sangat dingin. Wajahnya begutu kaku, bahkan menatap Ina lebih lama saja dia tidak mau. “Aku pikir orang lain, soalnya disini bukan hanya aku, ada Dilla dan yang lainya juga.” Jawab Ina santainya. Sudah hampir satu minggu bekerja. Ina merasa sudah terbiasa dengan sifat angkuh Rian. Dia merasa dirinya hanya menjalankan sebuah permainan. Dia memakai dua topeng dalam dirinya, saat di kantor dirinya memakai wajah yang angkuh dan tidak bisa ditebak sifatnya. Sementara jika di luar, dia masih seperti anak pada umumnya seusia dia. Rian masih berusia 22 tahun, dan berbeda dengan Regina yang sudah berusia 25 tahun, dia 3 tahun lebih muda dari Ina. Namun pemikirannya sangat dewasa saat bekerja. Bahkan dia sudah bisa mengembanhkan perusahaannya dengan pesat dengan usia nya yang masih sangat muda. Bahkan sebelumnya dia belum pernah berpengalaman sama sekali dengan perusahaan yang dipegang kakaknya. Rian sangat mahir mengendalikan semua pegawai di bawah kendali aturan yang sangat ketat dia buat. Dan, dia meminimalisir kerugian perusahaan. Bahkan dia selalu ngecek setiap detail bagian perincian keuangan perusahaan. Dia juga yang mengecek ke lapangan langsung jika ada masalah. Kerja kerasnya dan cara berpikir dia patut diacungi jempol. ”Memangnya ada masalah apa?’ Tanya Ina lagi, dia bangkit dari duduknya, seketika Ina Menguntupkan bibirnya kesal saat dia melihat Rian sudah berjalan menjauh dari tempat dia bekerja. Ina menoleh ke belakang. Menatap Dilla yang terus memperhatikannya tadi. “Dilla, apa kamu tahu kenapa Tuan Rian memanggil aku. Apa file yang kemari salah? Atau jangan –jangan masih ada yang kurang lagi. Terus nanti kalau di Tanya bagaimana. Aku belum beradaptasi dengan keuangan perusahaan ini. Masih butuh belajar lebih banyak lagi.” Jelas Ina mulai panik, dia terus menggerakkan tubuhnya, bingung harus berbuat apa lagi. Dilla tertawa kecil melihat tingkah Ina. Dia menggelengkan kepalanya sembari memegang perutnya yang terasa kaku saat dia tertawa. Dilla menyipitkan salah satu matanya, menatap aneh pada Dilla. “Apa yang terjadi padamu, lihatlah diri kamu sekarang. Kamu bahkan sudah menyerah lebih dulu. Ina.. Ina, lagian jangan takut untuk berada di ruangan Tuan Rian lagi." ucap Dilla menggoda, ia tersenyum tipis. Kedua matanya terlihat mulai menggoda wanita di depannya Wajah Regina tampak kebingungan. Dia melirik ke arah Dilla, dan Rain bergantian. "Gimana jika dia marah padaku?" Dilla memegang tangan Regina. Menarik lebih dekat dengannya. Sembari berbisik pelan di telinga Regina. "Jangan takut, sepertinya tuan Rian sekarang mulai tertarik dengan kamu. Sampai kamu diajak ke ruangannya hanya berdua. Ini hal yang sangat langka. Belum pernah terjadi sebelumnya." ucap Dilla, dia tersenyum tipis. Menepuk kedua bahu Regina. "Em.. Apa benar yang kamu tanyakan?" tanya Regina. "Memang pernah aku salah mengatakan sesuatu?" Dilla, memegang kedua bahu Regina. Menatap kedua matanya. "Sekarang lupakan semua galau kamu, mari mulai kehidupan kamu. Dan, pastinya nanti juga akan ada kisah indah sendiri yang tidak bisa dilupakan juga." Jelas Dilla, memberikan semangat pada Regina. "Tapi.. " "Sudah, pergilah!" Dilla membalikkan badan Regina dan segera mendorong tubuhnya untuk segera pergi. Sebelum Rain datang lagi memanggil Regina. Regina dengan langkah ragu. Dia berjalan mendekati menuju ke ruangan Rian. Sampai tepat di depan ruangannya. Regina terdiam sejenak, dia menghela napasnya. Berusaha mengatur napasnya kembali. Setelah merasa tenang, Regina mengangkat tangannya. Kedua kalinya dia terlihat sangat gugup. Tok.. Tok.. Tok.. Suara ketukan pintu itu terdengar begitu nyaring sampai ke dalam ruangannya. "Masuklah!" pinta Rian. "Sekarang?" tanya Regina "Tahun depan." kesal Rian yang berada di dalam ruangan itu. Regina hanya bisa menghela napasnya. Dia memegang knp pintu, perlahan jemari tangan itu Menggenggamnya, memutarnya, lalu membuka pintunya. Reguna segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam. "Permisi" ucap Regina. Dia menundukkan sedikit kepalanya. Berjalan mendekati, berdiri tepat di depan Rian. "Oh, ya! Perkataan yang kemarin. Lumayan bagus juga jadi nanti kalau ada waktu antarkan itu. Berikan itu pada Alvaro pemilik perusahaan Axa." Regina mengerutkan keningnya. Dia mendengar nama yang sangat tidak asing di telinganya. Alvaro, aku mendengar nama itu di mana. Sepertinya tidak asing bagiku. "Kenapa kamu diam?" tanya Rian. "Siapa juga yang diam." gerutu Regina. "Kapan ini diberikan?" lanjutnya. "Besok, dia sekarang sedang meeting dengan client tidak bisa diganggu." kata Rian. "Oo.. Baiklah." ucap Regina. "Tapi, bolehkah saya pergi dulu." tanya Regina lagi. "Kamu besok berangkat, masuk ke ruanganku. Aku siapkan berkasnya. Dan, kamu berikan pada Alvaro." jelas Rian. Dia sesekali melirik ke arah Regina. Meski tidak terlihat sering menatapnya. Namun, dari tatapan mata Rain dia menunjukan jika dirinya sangat ingin dekat dengannya. "Iya, tuan muda." ucap Regina, menundukkan sedikit badannya. "Jika tidak ada lagi. Saya pergi sekarang." Reguna membalikkan badannya. "Bentar! Kamu mau kemana?" tanya Rain. "Mau kembali ke tempat dimana seharusnya aku bekerja sekarang." ucap Regina. "Kamu sedang apa?" tanya Rian. "Maaf, Pak, Eh.. Bukan Mas Rian.. Eh salah juga. Tuan maksudnya." Rain mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu panggil aku tuan?" tanya Rian kesal. "Memangnya kenapa?" tanya Regina. "Semua pegawai memanggil anda dengan sebutan itu. Aku tidak enak jika semua mengira aku disini sebagai pegawai kesayangan kamu." jelas Regina percaya diri. "Memang kenapa?" tanya Rian. "Nanti siang kamu makan dimana?" lanjutnya. "Mau makan sama temanku." "Aku traktir kamu makan kamu mau?" tanya Rian. "Tidak!" "Kenapa kamu menolaknya?" kesal Rian. "Saya bisa makan sendiri. Tidak perlu juga anda menawarkan saya makan bersama." Regina segera beranjak dari ruangan itu. Tanpa menunggu jawaban dari bibir Rian. Memangnya aku siapa? Kenapa dia mengajak aku malam Bersama. Apa sama wanita lain juga melakukan hal sama. Sepertinya aku juga menjadi korban darinya. Gerutu Regina. Dia tidak berhenti terus mengomel di hatinya. "Regina.. Gimana?" tanya Dilla, baru saja kembali. Dia sudah disodorkan pertanyaan. Sepertinya Dilla sudah bersiap akan mengintrogasiku sekarang. "Hmmm… Cerita gak ya." kesal Regina.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD