JANGAN PISAHKAN AKU

924 Words
"Heh! Buat apa kamu datang ke sini?!” bentak Gilang saat melihat mantan istrinya. Gilang hampir saja mendorong Fahira,tapi Amar dengan sigap menangkap pergelangan tangan anaknya itu. “Bapak yang menjemputnya tadi. Kamu dan Fahira memang sudah bercerai, tapi Fahira tetap ibu kandung Kamania. Dia berhak mengetahui bagaimana keadaan anaknya!” tegas Amar. Suasana begitu tegang. Tidak ada seorang pun yang berani bicara lagi. Gilang dan Hesti pun menjauh dan duduk di sudut ruangan. Sementara Fahira ditemani oleh Ammar dan bik Atun duduk tak jauh dari pintu ruang operasi.Sementara Endang mondar mandir dengan gelisah. "Ngapain bolak balik begitu, Bu? Bapak pusing lihat Ibu mondar mandir," tegur Amar. "Dokter kenapa lama sekali mengoperasi Kamania?” "Sabar! Kalau sudah selesai juga keluar," ujar Ammar tampak kesal. Hesti memang tampak lelah, dan itu tak luput dari perhatian Ammar. "Lebih baik, kamu bawa istrimu pulang dulu. Dia kan sedang hamil. Nanti kecapean, takut kenapa-kenapa lagi," kata Amar pada Gilang. "Tapi, Nia kan masih di dalam,” jawab Gilang. "Ada ibunya di sini , ada bapak dan juga ibu. Pulanglah kamu!” perintah Ammar dengan tegas. "Baiklah, kalau begitu Gilang dan Hesti pulang dulu. Nanti Gilang ke sini lagi, Bik Atun ikut pulang saja sama saya. Jadi, kalau saya pergi Hesti ada teman di rumah," kata Gilang. Bik Atun tampak melirik Ammar meminta persetujuan. Ammar pun mengangguk. "Pulanglah, Bik. Rumah tidak ada yang urus , kasihan juga anak- anak kos kalau butuh sesuatu." Bik Atun pun patuh. Ia segera beranjak mengikuti langkah Gilang dan Hesti untuk pulang ke rumah. Sementara itu Fahira hanya diam, matanya tertuju ke pintu ruang operasi. Ia mendengar tapi tak peduli dengan sekelilingnya lagi. Yang ada dalam pikirannya hanya Kamania putrinya. Tak lama kemudian , pintu ruang operasi terbuka,dokter pun keluar. Fahira pun langsung menghampiri, "Bagaimana kondisi anak saya dokter?" tanyanya cemas. "Sabar, Bu. Anak Ibu sudah melewati masa kritisnya. Tapi, dia belum sadar, karena masih dalam pengaruh bius. Tapi, sudah bisa dipindahkan ke kamar rawat. Nanti, jika sudah sadar, Ibu atau keluarga yang lain bisa menghubungi perawat atau dokter jaga, ya." “Syukurlah kalau begitu,terima kasih banyak,Dok," kata Fahira. *** Kamania sudah dipindahkan ke ruang rawat. Ammar memilih kamar VVIP utuk merawat cucu kesayangannya itu. Ia ingin Kamania merasa nyaman, juga keluarga yang menjaga tidak bercampur dengan keluarga pasien yang lain. "Kamu ngga kerja? Ngga takut dipecat? Ngapain terus di sini?" kata Endang dengan sinis. “Ibu bicara apa? Fahira itu ibu kandung Kamania, wajar jika dia ada di sini untuk menjaga anaknya," tegur Ammar dengan tegas. “Fahira sudah izin sama ceu Inayah , Bu. Ceu Inayah sudah tau kalau Nia kecelakaan. Jadi saya boleh menemani Nia sampai sehat," jawab Fahira sopan. Endang hanya mendengus sebal. Padahal selama Fahira menjadi menantunya, Fahira tidak pernah melawan atau berkata kasar. Namun entah mengapa Endang kurang suka kepada Fahira. Endang masih menganggap bahwa Fahira tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Tidak selevel dengan Gilang yang sarjana. Apa lagi mereka adalah pengusaha. Tetapi, sekarang ini ia juga tidak suka pada Hesti, karena menantunya itu sering kali melawan. Hal itu terkadang membuat Ammar pusing. "Sudahlah,Bu. Biarkan saja Fahira di sini." "Ibu nggak ngusir , Pak. Ibu,kan cuma tanya. Nanti kalau dia kena pecat gimana." "Insya Allah, tidak Bu. Ceu Inayah baik dan pengertian, Bu," jawab Fahira sambil tersenyum. "Baguslah kalau begitu," sahut Endang ketus yang langsung mendapat tatapan tajam dari suaminya. ** Sementara itu, Gilang dan Hesti tampak sedang bertengkar. Hesti kelihatan kesal pada Gilang. "Kamu itu, ngapain tadi pake ngamuk- ngamuk segala sama si Fahira?" "Ya iyalah, aku nggak suka kalau dia ketemu Nia," jawab Gilang "Loh, dia kan ibunya. Lagian ya, aku tu heran. Kalau dia mau ambil Nia ya biarin ajalah. Kamu kan udah mau punya anak juga dari aku. Ngapain sih, mesti ngotot begitu pertahanin anak kamu. Dia juga ngga pernah mau deket sama aku kok." "Ya kamulah yang harusnya berusaha untuk deketin Nia. Masa iya ngambil hati anak kecil aja nggak bisa kamu ini!" "Aku, kan, mesti jaga kesehatan juga. Lupa kalau aku lagi hamil anak kamu!" "Emang kamu ngapain aja ? Beres- beres ada bik Atun. Masak juga nggak pernah. Di rumah ini kamu tinggal menjaga Kamania. Dulu, si Fahira hamil Nia masih bisa kerja ini itu. Nggak pernah dia ngeluh. Kamu dikit- dikit ngeluh. Dikit- dikit manja." "Wajarlah, aku sama orang tuaku juga dimanja. Kamu harusnya sebagai suami lebih ngerti apa maunya aku!" "Egois kamu ini!" "Aku hanya bicara apa adanya. Inget ya , aku ngga mau balik ke Rumah Sakit. Aku mau istirahat. Kalau kamu mau balik ... balik aja sana! Sekalian juga kalau mau balik sama mantan istri kamu yang kampungan itu!" Gilang menggeram, hampir saja ia menampar istrinya itu kalau tidak ingat sedang hamil. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar kamar. Dilihatnya bik Atun sedang duduk merenung di meja makan. "Ngapain, Bik?" Tegur Gilang. Bik Atun tergopoh-gopoh berdiri. "Eh, maaf Den. Aden butuh sesuatu? Mau makan atau minum?" tanya Atun. "Buatin mie rebus aja, Bik. Saya lapar, habis makan saya mau ke kantor sebentar lalu kembali ke rumah sakit," jawab Gilang. "Baik Den, sabentar, ya." Bik Atun pun segera membuat mie seperti yang majikannya itu minta. “Bibi mikirin apa?” tanya Gilang lagi. Ia tau betul jika pembantunya itu pasti resah karena Kamania. “Saya merasa bersalah, Den. Kalau saja tadi saya tidak terlambat menjemput, neng Nia pasti tidak akan celaka,” kata bi Atun. Gilang menghela napas panjang, “Ibu bilang tadi, Bibi terlambat gara-gara ibu menyuruh bibi menunggu catatan belanja, kan? Tidak ada yang salah dan benar di sini, Bi. Tidak ada yang mau celaka, kok.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD