Malam ini Benz merasa di lema. Dia terduduk di kursi luar mansionnya, sesekali menyesap kopi dari dalam cangkir yang tertera di atas meja. Hatinya gundah, saat teringat kata-kata sang kakek tadi siang.
"Benz, Kakek mau bicara serius sama kamu." ucap kakek.
Benz menautkan kedua alisnya, rada takut kalau si kakek dalam mode waras kek gini.
"Iya, Kek. Ada apa?" Benz mendudukkan tubuhnya di samping sang kakek.
"Kamu sudah nikah hampir tiga bulan. Kapan kamu mau beri cicit buat Kakek?"
Deg!!
Suara Benz terasa tercekat di tenggorokan. Kenapa tiba-tiba kakek Tsugiono nanyain hal itu? Benz sama sekali nggak kepikiran tentang anak. Mengingat hubungan mereka cuma nikah bohongan. Walau sebenarnya pernikahan mereka sah di mata hukum dan agama. Tapi ... entahlah. Itu kesepakatan antara Maria sama Benz. Benz nggak ngira kalau bakal kek gini, dia pikir setelah nikah dapet warisan udah selesai. Ternyata masih ada masalah lagi yang datang menghampiri kehidupannya.
"Benz masih pengen kerja, Kek." alasannya.
"Kamu bisa berhenti dan ngurus perusahaan."
Benz terdiam, apa yang harus ia lakukan? Bagaimana ini?.
"Iya, Kek."
Kakek Tsugiono tersenyum dan menepuk pundak Benz.
"Kakek tunggu kabar baiknya."
Benz hanya mampu menunduk. Walaupun kakeknya terkadang rada-rada. Tapi kalau diliat secara seksama kasihan juga. Dia udah tua dan pengen punya cicit dari Benz. Benz nggak mau ngecewain kakek.
Benz mengusap rambutnya kasar. Dia pusing kalau inget kata-kata kakeknya. Gimana caranya dia buat bujuk Maria. Apa wanita itu mau menuruti kemauan kakeknya buat punya anak? Sebenarnya cukup simpel aja sih, mereka tinggal tabah perjanjian buat serius nikah beneran, udah. Tapi Benz nggak yakin, kalau Maria bakalan mau. Mengingat kejadian tempo hari tentang ke salah pahaman mereka.
Nggak terasa udah jam 23:00. Benz mutusin buat masuk ke kamarnya. Ngecek sang istri, udah tidur apa belum. Sekalian mau ngomongin tentang permintaan kakeknya.
Benz menaiki tangga menuju ke kamarnya. Samar-samar dia masih denger suara TV menyala. Masa Maria belum tidur?.
Tanpa permisi Benz langsung masuk ke dalam kamarnya, di sana dia lihat Maria lagi nonton film Korea.
"Benz." sapa Maria.
“Elo belum tidur? Boleh aku tidur di sini?"
Maria terdiam sejenak kemudian mengangguk dan menggeser tubuhnya. Benz tersenyum dan langsung naik ke ranjang, menyenderkan kepalanya di kepala ranjang samping istrinya.
"Tumben, kamu tidur di sini."
Benz menunduk, bingung merangkai kata buat bicara sama istrinya.
"Di luar dingin banget. Em, Mae--"
"Benz, ada yang gerak-gerak di bawah kaki gue." Maria memotong ucapan suaminya.
Benz memicingkan kedua matanya. Apaan sih, perasaan nggak ada apa-apa deh.
"Apa yang gerak-gerak, Mae?"
"Nggal tau, coba elo liat!"
Benz membuka selimut yang menutupi kaki Maria. Ngeliat apa yang terjadi katanya gerak-gerak di bawah sana. Sontak Benz memelototkan bola matanya.
"b******n!!" teriak Benz, mental dari tempat duduknya. Soalnya liat ada kecoa lagi jalan-jalan di bawah telapak kaki Maria. Tuh kecoa tampaknya juga kaget sama teriakan si Benz, kelihatan syok berhenti di tempat. Atau mungkin tuh kecoa kena serangan jantung mendadak.
"Ada apa Benz?"
"Kecoa!"
Maria ikut melotot tajam. "Kecoa?!!" Reflek meluk tubuh suaminya. Mereka sama-sama takut sama serangga. Nggak tau cara ngusir tuh hewan.
"Elo takut serangga?!" tanya Maria.
"Iya, Mae! Usir gih, Mae” Gue juga takut Benz!"
Benz celingukan nyari alat buat basmi itu hewan. Tuh kecoa nggak mau pergi dari atas kasur mereka, kek sengaja nantangin banget gitu.
Benz meraih raket nyamuk yang tergeletak di atas nakas. Pelan-pelan ia bergerak mau setrum tuh kecoa. Tiba-tiba aja tuh kecoa terbang, Benz kaget kembali meluk tubuh Maria.
"Maeee!!" teriak Benz.
"Benz! Elo cewek apa cowok sih, heran!"
Tiba-tiba aja tuh kecoa nempel di kening Benz. Maria syok, pelan-pelan dia lepasin pelukannya. Ngeraba raket nyamuk yang tergeletak di samping. Sedang Benz udah kaku sambil nutup erat kedua matanya. Rasa sentuhan kaki kecoa yang nempel di keningnya membuat pemuda itu mau pingsan.
Maria mengangkat raket nyamuk di tangan kanannya. Mengarahkan benda tersebut ke arah wajah Benz.
PLAKK!!"
Raket melayang di atas wajah Benz. Sontak membuat pemuda itu merasa berkunang-kunang. Ikut pingsan seperti nasip si kecoa.
"Yesss! Gue berhasil!" seru Maria, belum menyadari kalau suaminya ikut pingsan.
"Benz! Kecoa nya udah ma--"
Maria membolakan matanya. Dan menepuk wajah suaminya. "Benz, elo kenapa pingsan? Bangun Benz!" Maria panik.
Benz. Berlahan membuka kedua matanya. Sakit banget wajah dia, ampek ada bekas kotak-kotak kek daging abis dipanggang. Maria pen ketawa tapi kasian juga. Nggak tega liat wajah Benz yang kini terlihat hancur.
"Maafin gue, sakit banget, ya?"
"Nggak Mae, enak banget rasanya. Coba tabok lagi!"
Maria nggak bisa nahan ketawa, udah kesakitan masih aja ngelawak nih bocah.
"Gue ambilin obat, ya." Maria ingin beranjak dari tempat duduknya. Sebelum, tiba-tiba aja Benz narik pergelangan tangan Maria.
"Nggak usah Mae. Cukup tiupin aja."
Maria mengangguk, menangkup wajah Benz dengan kedua telapak tangannya. Mulai meniup wajah pemuda tersebut. Hingga tanpa sadar kedua iris mereka bertemu. Sama-sama terdiam, memandang sayu ke dalam pusara bola mata keduanya. Tanpa sadar mereka mendekatkan wajah keduanya. Hingga bibir mereka bertemu dan menyatu. Tak ada penolakan apapun, mereka terlampau menikmati penyatuan bibir mereka berdua. Memejamkan kedua mata masing-masing, menikmati hangat dan lembutnya bibir keduanya.
Hingga beberapa saat kemudian mereka melepaskan pagutan mereka. Memandang canggung, entah apa yang baru aja mereka lakukan. Sampai-sampai nggak sadar melakukan hal sedekat itu.
"Maafin gue." lirih Benz.
"Elo nggak salah."
Benz merasa bahagia, semoga aja ini awal mereka dekat. Setelahnya bisa mengutarakan keinginan kakeknya.
"Udah tengah malem, bobok yuk!" ajak Benz.
Maria tersenyum dan mengangguk. "Baiklah,"
Akhirnya mereka berdua bersembunyi di dalam selimut tebalnya. Benz memberanikan diri buat merengkuh tubuh istrinya.
"Gue kelonin, biar anget. Gue janji nggak bakal macem-macem." ucap Benz, sembari memejamkan kedua matanya.
Maria cuma bisa tersenyum. Ada gelanyar aneh dalam dirinya. Dia nggak berani bergerak. Takut nyenggol benda menonjol yang pas banget nempel sama pantatnya. Sekali dia gerak goyangin p****t bulatnya, ia yakin kalau benda itu langsung hidup.
Maria akhirnya memejamkan kedua matanya.
Keesokan paginya. Maria bangun dari tidur lelapnya. Ada yang aneh, tiba-tiba aja berasa ada yang basah gitu di bawah sana.
Maria memelototkan kedua bola matanya. Jangan-jangan Benz tadi malam melakukan sesuatu padanya. Buktinya bagian bawahnya basah.
"Benz!" teriak Maria.
Benz terkejut langsung saja duduk, nyawanya belum sepenuhnya gabung.
"Elo apain gue tadi malem?!!"
Berakhir mereka berdua berantem kek anak bocah padahal nggak terjadi apa-apa ama mereka berdua. Setelah lelah bertengkar, mereka tersenyum dan saling terdiam. Tiba-tiba saja Maria menoleh ke arah Benz dan tersenyum.
Benz makin nggak ngerti, apa mungkin Maria lagi ngigau? Batinnya bertanya-tanya. "Sekarang giliran elo, ceritakan tentang kehidupan elo. Pasti sangat mewah." ucap Maria, menolehkan kepalanya ke arah samping.
Benz tersenyum miris. Dia tidak ingin menceritakan perihal apa yang menimpa dirinya selama ini. Ia kesepian, hanya ada sang kakek yang selalu di berikan apa yang ia inginkan.
“Udah nggak usah di bahas, kapan-kapan aja ya ceritanya sekarang gue laper.” Benz melengos gitu aja pergi meninggalkan Maria yang kini hanya menatap sedih ke arah punggung Benz.